Utak-atik Garis Kemiskinan Menuju Target Nol Persen
Pemerintah menyadari perlunya mengevaluasi dan menaikkan standar garis kemiskinan. Namun, perubahan itu bisa berdampak pada pencapaian target penghapusan kemiskinan ekstrem nol persen tahun depan.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jalan menuju target menghapus kemiskinan ekstrem nol persen tahun depan masih berliku. Pemerintah diminta terlebih dulu mengkaji standar garis kemiskinan yang akurat dan relevan dengan kondisi riil masyarakat. Namun, utak-atik metodologi pengukuran kemiskinan tidak mudah karena bisa berimplikasi pada pencapaian target.
Tingkat kemiskinan ekstrem memang terus menurun dari tahun ke tahun. Pada Maret 2021, angka kemiskinan ekstrem adalah 2,14 persen atau 5,8 juta jiwa, turun menjadi 2,04 persen atau 5,59 juta jiwa pada Maret 2022, dan kembali menurun menjadi 1,12 persen pada Maret 2023.
Pada tahun 2024, pemerintah menargetkan angka kemiskinan ekstrem bisa dihapuskan sepenuhnya hingga nol persen. Desain Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 yang pembahasannya saat ini telah resmi dimulai oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pun diarahkan untuk mencapai target tersebut.
Alokasi anggaran terbesar pada RAPBN 2024, misalnya, diarahkan untuk perlindungan sosial sebesar Rp 493,5 triliun. Alokasi itu akan diarahkan untuk menyempurnakan perlindungan sosial sepanjang hayat dan adaptif, subsidi tepat sasaran dan berbasis target penerima, serta perbaikan basis data penerima lewat Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).
Dalam rapat pembahasan tingkat pertama RAPBN 2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (29/8/2023), Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mengatakan, pemerintah perlu terlebih dulu membuat landasan epistemologis untuk acuan garis kemiskinan yang akurat dalam membaca situasi ekonomi Indonesia terkini.
”Supaya target itu bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan sosial, bukan sekadar angka yang hebat di atas kertas saja,” kata Said dalam rapat kerja dengan jajaran Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Bank Indonesia.
Saat ini, Indonesia masih menggunakan pengukuran garis kemiskinan ekstrem berdasarkan standar paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) sebesar 1,9 dollar AS per kapita per hari atau Rp 28.969 per kapita per hari. Dengan standar yang berlaku tersebut, pemerintah telah menurunkan angka kemiskinan ekstrem menjadi 1,12 persen per Maret 2023.
Bank Dunia mengusulkan agar Indonesia bisa menaikkan standar tersebut sesuai ukuran terbaru, yaitu 2,15 dollar AS per kapita per hari atau Rp 32.781. Harapannya, dengan standar tersebut, pemetaan situasi kemiskinan ekstrem di Indonesia bisa lebih akurat dan sesuai dengan kondisi riil. Lebih banyak pula warga miskin yang bisa diangkat dari garis kemiskinan.
Bahkan, dalam kajian terbaru bertajuk ”Indonesia Poverty Assesment” yang dirilis pada 9 Mei 2023, Bank Dunia mengusulkan pembaruan standar PPP untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia sebesar 3,2 dollar AS per kapita per hari atau Rp 47.502 per kapita per hari.
Namun, implikasi dari penerapan standar PPP terbaru itu bisa memengaruhi kemungkinan dicapainya target kemiskinan ekstrem nol persen. ”Kalau kita memakai standar PPP 3,2 dollar AS per hari, tingkat kemiskinan ekstrem pasti akan melonjak naik sehingga target penghapusan kemiskinan ekstrem dipastikan tidak akan tercapai,” kata Said.
Sebelumnya, Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyatakan akan mengevaluasi standar pengukuran garis kemiskinan yang sudah diterapkan selama 25 tahun terakhir itu. Evaluasi terhadap metodologi pengukuran garis kemiskinan itu diharapkan selesai tahun ini sebelum berganti pemerintahan baru pada tahun 2024 (Kompas, 19/5/2023).
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas Maliki mengatakan, pemerintah saat ini memang masih mengkaji metodologi pengukuran garis kemiskinan. ”Kita masih merevisi garis kemiskinan kita, bagaimana metodologi pengukurannya supaya relatif lebih fair,” kata Maliki.
Ia mengatakan, pemerintah di bawah Sekretariat Wakil Presiden yang ditugasi menyusun strategi penghapusan kemiskinan ekstrem sudah bernegosiasi dengan Bank Dunia untuk tetap menggunakan standar PPP 1,9 dollar AS per kapita per hari seperti saat ini.
Sebab, untuk mencapai target penghapusan ekstrem nol persen tahun depan, akan lebih memungkinkan jika pemerintah tetap menggunakan standar PPP 1,9 dollar AS. ”Apalagi, sekarang ini masih ada anomali dan perlambatan ekonomi global, mungkin kalau sudah lebih smooth, ekonomi sudah membaik, bisa kita sesuaikan ke standar 2,15 dollar AS,” ujarnya.
Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah sudah sadar akan adanya kebutuhan untuk menaikkan standar garis kemiskinan. Sebab, akan sia-sia jika pemerintah mampu menghapus kemiskinan ekstrem pada tahun 2024, tetapi itu belum menggambarkan kondisi riil di masyarakat. Artinya, masih ada kelompok masyarakat tertentu yang sebenarnya termasuk miskin ekstrem, tetapi tidak masuk hitungan.
”Kalau kita mengikuti 1,9 dollar AS, kita memang bisa mencapai target. Tetapi, berarti kan pekerjaan rumah kita ke depan tetap tersisa banyak. Sepertinya Presiden sendiri juga sudah aware dengan masalah itu sehingga kita tetap akan mengkaji dan merevisi garis kemiskinan kita ke depan,” kata Maliki.