Mengejar Target 7,5 Persen
Di saat krisis, sejalan dengan semangat mereformasi perlindungan sosial lewat Regsosek, prioritas utama seharusnya bukan sekadar memenuhi target angka di atas kertas, melainkan melindungi seluruh warga yang membutuhkan.
Optimisme pemerintah patut diacungi jempol. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan di ambang resesi global, pemerintah menargetkan menekan angka kemiskinan hingga 7,5 persen sampai 8,5 persen pada tahun depan dan menihilkan kemiskinan ekstrem pada tahun 2024.
Bisa dikatakan, itu target kemiskinan paling ambisius yang pernah disasar pemerintahan Presiden Joko Widodo. Semakin terkesan ambisius karena dipasang di tengah kondisi ekonomi dunia yang sedang tidak baik-baik saja, bahkan dibayangi awan gelap resesi.
Sebagai perbandingan, target tingkat kemiskinan terendah yang pernah dipasang Presiden Jokowi sebelum ini adalah 8,5 persen sampai 9,0 persen, seperti terlihat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Sementara, angka kemiskinan paling rendah yang berhasil dicapai sejauh ini adalah 9,22 persen atau 24,79 juta orang miskin pada September 2019.
Baca juga: Target Kurang Realistis, Butuh Kerja Lebih Keras untuk Tekan Kemiskinan
Angka kemiskinan saat ini masih jauh dari target. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2022, tingkat kemiskinan tercatat 9,54 persen atau sebanyak 26,16 juta orang miskin. Itu gambaran tujuh bulan lalu ketika inflasi tahunan masih 2,64 persen, Rusia baru beberapa hari menginvasi Ukraina, dan harga bahan bakar minyak bersubsidi belum dinaikkan.
Dalam waktu dekat, BPS akan mengumumkan angka kemiskinan per September 2022. Kondisi dalam tujuh bulan terakhir tentu sudah banyak berubah. Banyak pihak memprediksi kemiskinan pada akhir tahun ini akan kembali melambung seiring dengan inflasi tahunan yang pada September 2022 telah meningkat hingga 5,95 persen.
Kondisi tahun depan tidak kalah berat, bahkan lebih gelap. Berbagai lembaga internasional memprediksi, pada tahun 2023, perekonomian dunia akan menghadapi resesi. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), misalnya, telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun depan menjadi 2,2 persen dari proyeksi sebelumnya 2,8 persen.
Indonesia memang lebih aman ketimbang negara lain. Namun, imbas gejolak ekonomi dunia itu tidak terhindarkan. Efek domino dari kenaikan inflasi di tingkat produsen (cost-push inflation) serta imbas kebijakan pengetatan moneter telah membebani dunia usaha dan bisa melemahkan roda perekonomian domestik, yang seharusnya menjadi motor ketahanan ekonomi Indonesia.
Di tengah beban biaya produksi dan operasional yang semakin berat, pelaku usaha mulai mengetatkan ikat pinggang dan melakukan efisiensi. Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) belakangan mulai bermunculan, yang dapat berkontribusi pada meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan.
Di sisi lain, tingkat pendapatan (income) masyarakat masih stagnan dan termakan inflasi yang naik lebih tajam. Penurunan upah riil buruh dan nilai tukar petani (NTP) yang dicatat BPS menjadi indikator daya beli masyarakat yang semakin tergerus.
Ruang gerak
Pemerintah memang tidak hanya diam. Melalui pendataan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang mulai akan mulai berlaku tahun depan, pemerintah yakin mampu menekan kemiskinan sesuai target. Lewat Regsosek, kondisi sosial-ekonomi seluruh masyarakat akan dipetakan lebih akurat dan membuat penyaluran bantuan sosial lebih tepat sasaran.
Meski itu terobosan penting yang dibutuhkan di tengah problem klasik pendataan bansos, Regsosek baru satu instrumen. Untuk menurunkan kemiskinan secara drastis dan menghapus kemiskinan ekstrem, dibutuhkan langkah yang lebih luar biasa (extraordinary) dan jangka panjang di luar menambal daya beli masyarakat lewat perlindungan sosial.
Persoalannya, ruang manuver pemerintah kali ini lebih terbatas akibat kebutuhan untuk menormalisasi kebijakan fiskal dan menekan defisit APBN di bawah 3 persen, yakni 2,84 persen pada tahun depan. Pemerintah harus memangkas belanja lebih banyak dan jauh lebih selektif.
Sayangnya, belanja yang lebih selektif itu belum terlalu terlihat di postur APBN 2023. Ketika anggaran perlindungan sosial diturunkan menjadi Rp 479,1 triliun dari Rp 502,6 triliun pada tahun 2022, anggaran pembangunan infrastruktur justru dinaikkan dari Rp 363,8 triliun pada 2022 menjadi Rp 392 triliun.
Ikhtiar menekan kemiskinan juga semakin dipersulit dengan potensi meningkatnya garis kemiskinan seiring dengan tren kenaikan inflasi. Dalam laporan ”Reforms for Recovery: East Asia and Pacific Economic”, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dan kelas masyarakat berdasarkan standar paritas daya beli (purchasing power parities/PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja tahun 2017, menggantikan PPP 2011.
Berdasarkan standar itu, garis kemiskinan ekstrem naik dari 1,9 dollar AS per hari atau sekitar Rp 28.969 menjadi 2,15 dollar AS per hari atau Rp 32.781. Dampaknya, 13 juta warga kelas menengah-bawah di Indonesia turun kelas menjadi masyarakat miskin.
Baca juga: Waspadai Kemiskinan Lebih Dalam akibat Inflasi
Selama ini, BPS menerapkan penghitungan garis kemiskinan yang berbeda dari Bank Dunia. Garis kemiskinan BPS adalah representasi dari jumlah rupiah minimum untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan setara 2.100 kilokalori dan kebutuhan nonmakanan per kapita per bulan.
Revisi metode
Metode penghitungan garis kemiskinan ini beberapa kali diusulkan agar diubah menjadi lebih riil dan relevan. Salah satunya, dalam rekomendasi penelitian oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), BPS, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Bank Dunia bertajuk ”Pengukuran Garis Kemiskinan di Indonesia: Tinjauan Teoretis dan Usulan Perbaikan” pada Januari 2020.
Penelitian itu menilai, pemutakhiran metode pengukuran kemiskinan yang terakhir dilakukan pada 1998 perlu disesuaikan dengan pola konsumsi penduduk Indonesia yang telah berubah agar data yang dikumpulkan lebih faktual dan mencerminkan kebutuhan dasar penduduk–meski sebagai konsekuensinya, jumlah warga miskin bisa saja bertambah lebih banyak.
Kondisi ini mengingatkan pada salah satu episode di The West Wing, serial televisi yang menggambarkan dinamika kehidupan presiden Amerika Serikat dan stafnya di Gedung Putih. Diceritakan, Presiden AS Jed Bartlet yang berada di ujung masa jabatannya menghadapi dilema untuk merevisi standar garis kemiskinan sesuai rekomendasi badan statistik karena itu berarti akan membuat jumlah orang miskin di AS bertambah banyak.
Namun, ia akhirnya setuju merevisi standar garis kemiskinan agar instrumen perlindungan sosial bisa lebih luas melindungi masyarakat yang membutuhkan. Sebab, akan sulit untuk menolong warga menengah-bawah yang membutuhkan, jika mereka ”disembunyikan” melalui batasan definisi statistik dan matematis yang sudah tak relevan.
Merevisi standar garis kemiskinan punya banyak konsekuensi, termasuk secara politis. Di ujung masa jabatanya, sebagaimana dilema yang dihadapi Presiden Jed Bartlet, pemerintahan ini tentu ingin meninggalkan warisan yang baik, seperti berhasil menurunkan kemiskinan secara drastis dan melenyapkan kemiskinan ekstrem.
Namun, di tengah krisis, sejalan dengan semangat mereformasi sistem perlindungan sosial lewat Regsosek, prioritas utama pemerintah seharusnya bukan sekadar memenuhi target angka yang ciamik di atas kertas, melainkan melindungi seluruh warga yang membutuhkan tanpa terkecuali. Mengutip kata-kata dari serial The West Wing, ”it’s harder to help the underclass if you hide them”.