Evolusi Kebijakan Upah Minimum dari Rezim ke Rezim
Kebijakan upah minimum dinamis yang mengikuti rezim pemerintahan. Formula penghitungan upah minimum tidak konsisten.
Sehari sebelum penetapan dan pengumuman upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2024, Rabu (29/11/2023), kabar aksi mogok nasional sejumlah kelompok buruh/pekerja menuntut kenaikan UMK tahun 2024 telah menyebar. Pada hari-H, aksi itu sampai menimbulkan kemacetan.
Sebagai gambaran, pada Kamis (30/11/2023), sesuai informasi @PTJASAMARGA di media sosial X , pukul 14.00, Jasa Marga mengimbau pengguna jalan tol yang mengarah ke kawasan MM2100 Bekasi, Jawa Barat, untuk menggunakan jalur alternatif guna menghindari kemacetan.
Sehari sesudah pengumuman UMK 2024 yang diwarnai unjuk rasa besar-besaran di sejumlah kabupaten/kota itu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menggelar Naker Award 2023.
Ruas Tol Tambun Km 21 -Cibitung Km 23+400 dilaporkan padat. Aksi serupa pada hari yang sama juga terjadi di daerah lain yang menjadi kantong industri, seperti Surabaya (Jawa Timur) dan Semarang (Jawa Tengah).
Sehari sesudah pengumuman UMK 2024 yang diwarnai unjuk rasa besar-besaran di sejumlah kabupaten/kota itu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menggelar Naker Award 2023. Salah satu dari empat penghargaan adalah penghargaan Olimpiade Pengupahan Berbasis Produktivitas.
Polemik upah minimum hampir berulang setiap tahun. Direktur Eksekutif Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Syarif Arifin, Senin (4/12/2023), di Jakarta, mengatakan, di Indonesia, upah minimum sebenarnya merupakan satu dari kebijakan pengupahan. Kebijakan pengupahan meliputi semua jenis upah, seperti upah lembur dan pajak pengupahan.
Upah minimum hanyalah batas bawah dan jaring pengaman untuk membayar upah buruh. Namun, persoalannya, upah minimum dijadikan dasar perhitungan bagi jenis pengupahan lain, termasuk upah lembur dan perhitungan kompensasi pengakhiran hubungan kerja.
Polemik upah minimum hampir berulang setiap tahun.
Unjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum yang serempak terjadi di beberapa daerah dia duga karena ruang dialog di tempat kerja semakin sempit. Apalagi, status hubungan kerja cenderung dibuat semakin fleksibel sehingga buruh/pekerja semakin susah berserikat.
Dengan demikian, satu-satunya momen yang bisa digunakan untuk negosiasi pekerja/buruh adalah momen penetapan dan pengumuman upah minimum provinsi (UMP) dan UMK.
”Aksi unjuk rasa buruh/pekerja marak terjadi sejak 2003. Zaman Orde Baru tidak mungkin ada aksi demo resmi. Kalaupun ada, dalam dokumentasi kami, aksi terjadi pada 1996 yang didominasi oleh persoalan ketidakpatuhan pabrik menerapkan upah minimum. Setelah masuk rezim Reformasi, unjuk rasa mengenai pengupahan semakin besar,” ujar Syarif.
Diperkenalkan mulai 1956
Konsep dasar upah minimum diperkenalkan pada 1956. Kala itu, konsep dibuat bertujuan mengatasi kesenjangan upah, antara lain pada upah lajang, upah berkeluarga, dan upah single parent. Kebijakan pengupahan dikeluarkan pada 1980, sementara peraturan teknisnya dikeluarkan pada 1989.
Setelah rezim Orde Baru runtuh, dua tahun kemudian terdapat beberapa perubahan dalam kebijakan upah minimum. Dari upah minimum regional (UMR), UMR tingkat I dan UMR tingkat II, menjadi UMP dan UMK.
Masa peninjauan upah minimum juga diubah. Sejak 2000, kenaikan upah minimum ditetapkan setahun sekali oleh pemerintah daerah. Sebelumnya, kenaikan upah minimum ditetapkan dua tahun sekali oleh pemerintah pusat.
Selama masa pemerintahan Soeharto, serikat buruh hanya diwakili Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan pengusaha diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Selama masa pemerintahan Soeharto, serikat buruh hanya diwakili Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan pengusaha diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Perwakilan pemerintah mendominasi dewan pengupahan.
Setelah Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terbit, institusi perumus upah minimum berganti dari dewan penelitian pengupahan nasional/daerah menjadi dewan pengupahan nasional, dewan pengupahan kabupaten, dan dewan pengupahan kota.
Komposisi unsur pemerintah, serikat pekerja/buruh, dan pengusaha menjadi imbang. Fungsi survei harga yang dulu hanya dilakukan oleh unsur pemerintah berubah menjadi melibatkan semua unsur di dewan pengupahan.
Perubahan selanjutnya terjadi pada jumlah dan nama komponen, dari 43 kebutuhan hidup minimum (KHM) menjadi 46 komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Variabel ini kemudian berubah lagi menjadi 60 komponen pada 2013. Akan tetapi, jumlah kalori yang menjadi acuan kebutuhan buruh tidak berubah, yaitu 3.000 kalori.
Jumlah kalori ini dirumuskan sesuai kebutuhan buruh lajang pada 1995. Ini berarti penambahan komponen kebutuhan hanya terjadi pada aspek fisik yang tidak berkaitan dengan asupan gizi buruh ataupun jumlah keluarga tanggungan buruh.
Baca juga : Penerapan Struktur dan Skala Upah Belum Optimal
Kemudian, dalam kurun waktu antara 2013 dan 2015, terjadi lagi perubahan drastis dalam kebijakan upah minimum, yakni dihilangkannya besaran kenaikan upah sektoral dan keharusan negosiasi sektoral untuk merumuskan upah sektoral. Lalu berturut-turut terjadi perubahan formula.
Ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang diperbarui dengan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Perubahan berlanjut melalui Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Dan terakhir adalah PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan yang merupakan revisi PP No 36/2021.
Prinsip berlanjut
Syarif menyebutkan, kendati kebijakan upah minimum beberapa kali berubah, ada sejumlah praktik yang tidak berubah yaitu menyangkut prinsip dasar pengupahan sejak 1980-an, seperti no work no pay, pelanggaran upah minimum sebagai tindak pidana, dan kesempatan pengusaha menangguhkan upah minimum.
Salah satu contoh penangguhan upah minimum terjadi pada 2013. Langkah ini diteguhkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar melalui Surat Edaran Nomor 248/Men/PHIJSK-PJS/XII/2012. Surat edaran ini ditujukan kepada 33 gubernur di seluruh Indonesia dan diterbitkan pada 17 Desember 2012.
Tujuannya adalah untuk mengantisipasi dampak kelangsungan usaha di industri padat karya tekstil, alas kaki, dan mainan akibat kenaikan upah minimum pada 2013. Kala itu beberapa daerah, terutama di Jabodetabek, mengalami kenaikan upah minimum sekitar 40 persen.
Baca juga : Kemnaker: Regulasi Diterbitkan untuk Cegah PHK Lebih Luas
Kalangan serikat pekerja/buruh mengalami kelelahan karena setiap tahun harus unjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum. Pada saat yang sama, setiap terjadi kenaikan upah minimum, hasil final upah minimum yang diterima diduga tidak mampu menyangga seluruh kebutuhan pekerja.
”Baik tahun 2000-an, 2010-an, maupun sekarang, upah minimum hanya bisa menyangga tiga perempat kebutuhan pekerja. Kami yang terlibat dalam Komite Hidup Layak menemukan, tahun ini, rata-rata pengeluaran keluarga buruh untuk makanan dan nonmakanan di empat jenis pekerjaan di empat provinsi sudah mendekati Rp 10 juta,” imbuh Syarif.
Survei menyasar 181 responden selama 18 September-18 Oktober 2023 di tiga kota dan delapan kabupaten di empat provinsi. Keempat provinsi itu adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Sulawesi Tengah. Responden berlatar belakang pekerja di sektor manufaktur, ojek daring, pertambangan, dan perkebunan.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, Indrasari Tjandraningsih, menceritakan, sebelum keluar PP No 78/2015, proses perumusan upah minimum memakai negosiasi dewan pengupahan tingkat kabupaten/kota. Kenaikan upah minimum bisa sangat politis, apalagi menjelang pemilihan umum.
Calon kepala daerah, misalnya, biasanya mengampanyekan janji kenaikan upah minimum dan ini dimanfaatkan oleh kelompok serikat buruh/pekerja. Negosiasi bukan semata-mata menyangkut KHL, tetapi mirip negosiasi jual-beli suara.
”Situasi seperti itu merisaukan bagi pengusaha karena bisa memengaruhi kesan eksternal (investor negara lain) terhadap Indonesia. Mungkin karena itulah, akhirnya formula penghitungan upah minimum disusun oleh pemerintah pusat,” ujarnya.
Baca juga : Dugaan Pelanggaran Pemotongan Upah Buruh Bermunculan
Sayangnya, Indrasari menilai, sikap pemerintah terhadap formula penghitungan upah minimum tidak konsisten. Ini tecermin dari perubahan formula yang ditetapkan pemerintah pusat mulai dari PP No 78/2015 sampai PP No 51/2023. Persoalannya lagi, perumusan formula terkesan kurang transparan. Pada akhirnya, pengusaha-serikat pekerja/buruh selalu berpolemik setiap tahun.
Hal yang dikhawatirkan adalah potensi biaya tenaga kerja yang turun. Dan ini secara tidak langsung didukung oleh pemerintah. Namun, pemerintah mengeluarkan program jaminan sosial ketenagakerjaan dan jaminan kehilangan pekerjaan.
”Desakan (serikat buruh/pekerja) klasik agar struktur skala upah ditegakkan oleh pemerintah. Cuma, saya mengkritisi, apakah benar perusahaan yang punya struktur organisasi atau manajemen tidak memiliki struktur skala upah. Padahal, adanya struktur skala upah mempermudah menerka biaya tenaga kerja,” tambah Indrasari.
Instrumen internasional
Senior Program Officer International Labour Organization (ILO) Lusiani Julia menjelaskan beberapa instrumen ILO mengenai masalah pengupahan. Sebagai contoh, Konvensi 26 Tahun 1928 mengenai penciptaan mekanisme upah minimum.
Pada dasarnya konvensi ini menyatakan bahwa setiap negara anggota bebas untuk memutuskan bentuk dan sifat mekanisme penetapan upah minimum selama berkonsultasi dengan perwakilan pengusaha dan pekerja.
Ada pula Konvensi 131 dan Rekomendasi 135 Tahun 1970 mengenai penetapan upah minimum dengan rujukan khusus terhadap negara-negara berkembang yang bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan dan memberikan perlindungan sosial yang cukup.
Pengaturan upah minimum pertama kali dilakukan di Selandia Baru, kemudian diikuti oleh Australia dan Inggris. Penetapan upah minimum di Eropa awalnya dimaksudkan untuk melindungi pekerja rumahan.
Upah minimum di Amerika pertama kali dimaksudkan untuk melindungi pekerja anak dan perempuan. Awal percobaan penetapan upah minimum di negara berkembang juga terbatas pada pekerja tertentu yang dinilai rentan.
Menurut Lusiani, Pemerintah Indonesia baru mulai memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan kebijakan upah minimum pada akhir 1980-an. Langkah ini terutama disebabkan adanya tekanan dari dunia internasional sehubungan dengan isu-isu tentang pelanggaran standar ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia.
Pada masa itu, sebuah organisasi perdagangan Amerika Serikat (AFL-CIO) dan beberapa aktivis hak asasi manusia mengajukan keberatan terhadap sebuah perusahaan multinasional AS yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan itu diduga memberikan upah yang sangat rendah dengan kondisi lingkungan kerja di bawah standar.
”Sebagai hasilnya, Pemerintah Indonesia pada waktu itu dipaksa untuk memberikan perhatian lebih terhadap kebijakan upah minimumnya dengan menaikkan upah minimum sampai dengan tiga kali lipat dalam nilai nominalnya atau dua kali lipat dalam nilai riil,” ujarnya.
Baca juga : Upah Minimum Disalahgunakan untuk Buruh Bermasa Kerja Lebih dari Setahun
Menurut dia, upah minimum masih menjadi kunci dari masalah hubungan industrial di Indonesia. Banyak pengusaha ataupun kalangan buruh/pekerja tidak puas terhadap pengupahan karena rendahnya tingkat upah, kegagalan pengusaha membayar upah secara penuh dan tepat waktu, kurangnya kejelasan mengenai definisi upah, serta buruknya sistem pelaksanaan.
Upah minimum kemudian menjadi sistem pengupahan standar tanpa menghiraukan faktor produktivitas, keahlian, dan kapasitas pekerja/buruh. ”ILO mengusulkan perlunya data yang lebih tepercaya dan penggunaan faktor-faktor lain sebagai tambahan dari kebutuhan pekerja, seperti inflasi dan tingkat ekonomi yang berbeda,” ucap Lusiani.