Dalam pelaksanaan Permenaker No 5/2023, diduga terdapat sejumlah pelanggaran, antara lain perusahaan memberlakukan aturan sepihak dan upah buruh dipotong hingga di bawah standar minimum.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah dugaan pelanggaran bermunculan ketika Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 diterapkan. Pelanggaran itu, antara lain, penerapan sepihak dan pemotongan upah hingga di bawah standar minimum. Di sisi lain, pemerintah mengakui bahwa saat ini kekurangan pengawas ketenagakerjaan.
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia Dian Septi Trisnanti mengatakan, salah satu perusahaan di Jakarta Utara memberlakukan sepihak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023. Per Juni 2023, upah para pekerja dipotong 25 persen dan hanya perlu bekerja empat hari per pekan.
”Ada sekitar 2.000 pekerja (di perusahaan tersebut) yang tersebar dalam empat serikat buruh. Dua serikat buruh sepakat dan dua lainnya tidak sepakat,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (4/6/2023).
Perundingan antara perusahaan dan serikat buruh, lanjut Dian, belum selesai. Namun, perusahaan secara sepihak memberlakukan pemotongan upah dan jam kerja bagi seluruh buruh. Mulai Juni 2023, sejumlah pekerja hanya menerima upah sebesar Rp 3,6 juta per bulan. Jumlah ini di bawah standar upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta yang sekitar Rp 4,9 juta per bulan.
Permenaker No 5/2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global mengizinkan perusahaan padat karya berorientasi ekspor untuk membayarkan upah paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima pekerja.
Aturan itu juga membolehkan perusahaan menyesuaikan waktu kerja kurang dari 7 jam per hari dan 40 jam per pekan untuk enam hari kerja dalam sepekan. Selain itu, ada pula opsi 8 jam per hari dan 40 jam per pekan untuk lima hari kerja dalam sepekan. Namun, aturan itu mengatur, penyesuaian upah dan waktu kerja, sebagaimana Permenaker No 5/2023, harus berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dan serikat pekerja/buruh.
Karena upah yang diterima buruh bisa di bawah standar minimum, Permenaker No 5/2023 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terkait upah minimum. Sebab, Pasal 88E Ayat 2 UU Cipta Kerja melarang perusahaan untuk membayar upah di bawah upah minimum.
Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Djoko Heriyono menyebutkan, sedikitnya 10 perusahaan memotong upah buruh yang berjumlah ribuan orang sebesar 25 persen. Pemotongan upah tersebut juga dianggap tidak lahir dari kesepakatan antara perusahaan dan serikat pekerja.
Dengan pemotongan upah 25 persen, kata Djoko, ribuan buruh itu dipastikan mendapatkan upah di bawah standar minimum. ”Buruh yang dipotong (upahnya) adalah pekerja yang berstatus operator dan hanya dibayar UMP,” ucapnya.
Menurut Djoko, penyelesaian polemik pemotongan upah merupakan ranah aparat penegak hukum, dalam konteks ini adalah pengawas ketenagakerjaan. Namun, mereka tidak bertindak tegas dan seolah tak peduli. Kini, pihaknya tengah mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan, termasuk mengadu pada perusahaan yang memotong upah sepihak.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal berpendapat, karena upah yang diterima buruh bisa di bawah standar minimum, Permenaker No 5/2023 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terkait upah minimum. Sebab, Pasal 88E Ayat 2 UU Cipta Kerja melarang perusahaan untuk membayar upah di bawah upah minimum.
”Tidak membayar upah minimum, sanksinya penjara 4 tahun. Karena itu, Permenaker No 5/2023 seolah menjilat ludah sendiri. Sebab, UU tidak membolehkan, tapi permenaker membolehkan,” ungkapnya.
Kesepakatan
Menurut Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit, penyesuaian upah buruh bisa diterapkan apabila mayoritas pekerja sepakat. Dalam demokrasi, tidak ada suara bulat 100 persen sehingga suara mayoritas dianggap dapat mewakili.
Selain itu, Permenaker No 5/2023 harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah PHK karena sepinya permintaan ekspor. Upah yang diterima oleh buruh, lanjut Anton, juga sesuai dengan waktu kerja mereka masing-masing sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
”Perusahaan yang menyesuaikan upah buruh juga harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan Permenaker No 5/2023. Salah satunya mampu membuktikan penurunan pesanan (permintaan ekspor) dari Amerika Serikat dan Eropa,” katanya.
Sementara itu, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor menyampaikan, pemerintah bisa mengintervensi apabila upah yang diterima buruh—setelah dipotong—lebih rendah dari standar minimum. Intervensi ini berupa pertemuan atau dialog tripartit antara serikat pekerja/buruh, perusahaan, dan pemerintah.
Kendati begitu, perusahaan dan serikat pekerja/buruh bisa menyepakati upah yang diterima karyawan di bawah standar minimum. Dalam hal ini, lanjut Afriansyah, buruh/pekerja harus sepakat dengan perusahaan. Artinya, jika ada pihak yang belum sepakat, perundingan masih berlangsung. ”Semua (baik buruh maupun perusahaan) harus sepakat,” ungkapnya.
Sementara itu, pelanggaran dalam perumusan kesepakatan dapat dilaporkan pada pengawas ketenagakerjaan. Walakin, kata Afriansyah, Kementerian Ketenagakerjaan saat ini masih kekurangan pengawas ketenagakerjaan. Jumlah perusahaan yang memberlakukan Permenaker No 5/2023 juga masih didata.