Kelompok pekerja memperkirakan standar upah minimum 2024 tidak cukup signifikan di tengah tingginya biaya hidup akibat dampak inflasi. Pekerjaan dengan upah layak sangat dibutuhkan oleh angkatan kerja.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan akan segera mengeluarkan regulasi terkait upah minimum. Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran kelompok pekerja adalah kenaikan upah minimum tahun 2024 tidak signifikan, sementara biaya kebutuhan hidup terus merangkak naik.
”Hasil pertumbuhan ekonomi (triwulan III-2023 oleh Badan Pusat Statistik) adalah salah satu variabel yang kami pakai dalam formula penyesuaian upah minimum. Kita tunggu saja. Dalam minggu ini ada kabar,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri saat ditanya kapan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan disahkan, Senin (6/11/2023), di Jakarta.
Sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2/2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU, formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Sebelumnya, UU Cipta Kerja tidak mengatur tentang variabel ”indeks tertentu” dalam penetapan upah minimum. Upah minimum sebelumnya ditentukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi serta mempertimbangkan variabel batas atas dan batas bawah upah minimum. Karena itu, PP No 36/2021 yang merupakan turunan UU Cipta Kerja terdahulu harus direvisi.
Dalam paparan Kemenaker mengenai Rancangan PP (RPP) tentang Perubahan Atas PP No 36/2021 disebutkan, bagi provinsi atau kabupaten/kota yang telah memiliki upah minimum tahun sebelumnya, maka penetapan upah minimum setiap tahunnya dilakukan lewat penjumlahan upah minimum tahun berjalan dengan nilai penyesuaian upah minimum.
Nilai penyesuaian upah minimum dihitung menggunakan formula penghitungan yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Indeks tertentu yang disimbolkan dengan alfa (α) merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota.
Simbol alfa merupakan variabel yang berada dalam rentang nilai 0,10 sampai dengan 0,30. Simbol alfa ini ditentukan nilainya oleh dewan pengupahan provinsi atau dewan pengupahan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja dan rata-rata/median upah. Selain pertimbangan dua faktor tersebut, dalam menentukan alfa dapat mempertimbangkan faktor lain yang relevan dengan kondisi ketenagakerjaan.
Jika nilai penyesuaian upah minimum lebih kecil dari nol, upah minimum yang akan ditetapkan sama dengan nilai upah minimum tahun berjalan. Namun, apabila pertumbuhan ekonomi bernilai negatif, dalam RPP itu disebutkan nilai upah minimum tahun berikutnya ditetapkan sama dengan besaran upah minimum pada tahun berjalan.
”Rata-rata besaran kenaikan upah minimum secara nasional belum bisa saya rilis karena masih menunggu data final dari BPS karena bukan cuma data/angka pertumbuhan ekonomi yang kami perlukan, tetapi juga data lain. Misalnya, data inflasi,” ujar Indah.
Pada Senin, BPS merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2023 tumbuh 4,94 persen. Capaian ini lebih rendah dibandingkan triwulan II-2023 yang sebesar 5,17 persen.
BPS juga merilis Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2023. Dalam Sakernas Agustus 2023, jumlah angkatan kerja sebanyak 147,71 juta orang atau naik 3,99 juta orang dibandingkan Agustus 2022. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) naik tipis 0,85 persen dibandingkan Agustus 2022. Sementara tingkat pengangguran terbuka Agustus 2023 adalah 5,32 persen, turun 0,54 persen dibandingkan Agustus 2022.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, saat dihubungi terpisah, menduga, dengan formula baru penghitungan upah minimum, kenaikan upah minimum tidak akan signifikan. Kenaikan tersebut bakal terimbas oleh inflasi riil di sektor pangan yang sudah mencapai lebih dari 5 persen.
”Kami khawatir akan terjadi penurunan upah riil. Kesejahteraan pekerja menurun. Pemerintah semestinya mengukur jeli inflasi berdasarkan 64 item kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja,” katanya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat menambahkan, jika formula penghitungan seperti itu jadi dilaksanakan oleh pemerintah, itu akan mengecewakan kelompok pekerja. Biaya kebutuhan hidup saat ini sudah dirasa sangat tinggi.
”Di mana-mana masyarakat sudah menjerit. Upah yang diterima sudah tidak sebanding dengan besarnya biaya hidup. Mencari pekerjaan juga semakin sulit,” ujar Mirah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, adanya faktor alfa dalam rumus perhitungan upah minimum artinya pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya diakomodasi sebagai penambah upah. Dia menduga, ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan penambahan keuntungan di beberapa perusahaan.
”Dalam paparan RPP tentang Perubahan Atas PP No 36/2021, formula penghitungan upah minimum masih memasukkan faktor inflasi. Sepanjang formula penghitungan diikuti, upah minimum setiap tahun masih naik. Namun, kenaikan upah riil tidak akan signifikan karena unsur penambah pertumbuhan ekonomi dikalikan faktor alfa,” ujarnya.
Menurut Faisal, masih ada faktor-faktor lain yang jadi penentu kesejahteraan pekerja. Sebagai contoh, kepesertaan pekerja dalam program jaminan sosial dan asuransi yang difasilitasi oleh perusahaan. Hanya saja, upah minimum selalu menjadi faktor krusial dalam kehidupan pekerja. Selama ini kerap terjadi kasus sejumlah perusahaan tidak menerapkan upah minimum sesuai ketentuan yang berlaku.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan, berpendapat, jika formula penghitungan upah minimum yang ada dalam paparan Kemenaker itu jadi diterapkan, nasib upah minimum akan memprihatinkan. Formula seperti itu hanya mengakomodasi faktor inflasi, sementara angka pertumbuhan ekonomi porsinya tidak signifikan.
”Pengangguran berpotensi naik. Solusi pemberian bantuan sosial kurang tepat sebab yang dibutuhkan angkatan kerja adalah mendapat kerja layak,” ujarnya.