Idealnya, penetapan upah tak hanya melihat situasi riil sekarang, tetapi juga kepentingan jangka lebih panjang, termasuk upah harus mencerminkan produktivitas pekerja.
Oleh
Redaksi
Β·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Buruh berunjuk rasa di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi di Jawa Barat, Selasa (29/11/2022). Mereka menuntut kenaikan upah minimum kota (UMK) 2023 sebesar 13 hingga 20 persen.
Seperti mengemuka hampir setiap tahun pada tahun-tahun sebelumnya, kisruh terjadi lagi mengiringi penetapan upah minimum tahun 2023 oleh pemerintah.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 pada 16 November lalu menetapkan upah minimum (UM) 2023 dengan kenaikan maksimal 10 persen. Lewat permenaker ini, gubernur di seluruh Indonesia paling lambat harus menetapkan UM provinsi 2023 masing-masing pada 28 November, disusul penetapan UM kabupaten/kota pada 7 Desember.
Penetapan kenaikan UM dilakukan dengan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu yang mencerminkan kontribusi tenaga kerja terhadap ekonomi.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Arsjad Rasjid memberikan sambutan dalam pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Business 20 (KTT B20) di Nusa Dua, Bali, 13 November 2022. KTT B20 merupakan forum dialog resmi di ajang G20 bagi komunitas bisnis global.
Namun, permenaker ini ditolak kalangan pengusaha, yang diwakili Kadin dan 10 asosiasi pengusaha, dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Alasan pengusaha, ketentuan permenaker akan memberatkan dunia usaha dan bisa menuntun pada gelombang PHK, di tengah situasi suram global 2023. Proses penetapan UM juga dinilai melanggar beberapa aturan perundangan di atasnya, serta tak melewati pembahasan dengan dewan pengupahan dan forum tripartit.
Semakin menambah kusut, sebagian serikat pekerja yang diwakili Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan akan menggelar aksi di beberapa daerah di seluruh Indonesia jika tuntutan kenaikan UM kabupaten/kota sebesar 10-13 persen tak dipenuhi.
Kisruh soal UM jamak terjadi setiap tahun. Namun, pelaku usaha, buruh, ataupun pemerintah tak boleh menafikan adanya kepentingan bersama untuk tetap menjaga kelangsungan dunia usaha, daya beli pekerja dan ketersediaan lapangan kerja, hubungan industrial yang kondusif, serta tetap berputarnya roda perekonomian nasional.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah (kiri) berbincang-bincang dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, 24 Februari 2022, di kompleks kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta.
Maka, tak ada pilihan lain, duduk bersama, take and give. Jangan memaksakan kehendak masing-masing. Kita memahami, UM adalah bentuk pelindungan negara pada pekerja sebagai jaring pengaman sosial agar terhindar dari eksploitasi.
Langkah Kemenaker menetapkan Permenaker No 18/2022 sudah tepat. Kondisi sosial ekonomi yang berubah tak memungkinkan PP No 36/2021 yang diberlakukan pada masa krisis pandemi dipertahankan sebagaimana diinginkan pengusaha. Kondisi riil itu termasuk inflasi karena kenaikan harga barang-barang. Namun, semestinya hal ini tetap dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait.
Sebaliknya, serikat pekerja juga tak bisa mematok tuntutan kenaikan UM yang tak masuk akal, tanpa melihat situasi riil dunia usaha. Di sini pentingnya pemerintah menjembatani kepentingan keduanya. Dari yang kita tangkap, kalangan pengusaha menyatakan akan mematuhi apa pun putusan MA. Namun, mereka berharap kebijakan kenaikan upah itu juga dibarengi dengan kebijakan insentif untuk pelaku usaha.
Masukan pengusaha agar kenaikan UM disesuaikan dengan kondisi sektoral perlu pula diakomodasi. Idealnya, penetapan upah tak hanya melihat situasi riil sekarang, tetapi juga kepentingan lebih jangka panjang, termasuk upah harus mencerminkan produktivitas pekerja. Perbaikan terhadap produktivitas pekerja harus terus dibenahi. Hal ini menjadi PR dan tanggung jawab bersama semua pemangku kepentingan.