Buruh dan Pengusaha Belum Sepakat soal Kenaikan Upah Minimum
Kalangan buruh, pengusaha, dan pemerintah daerah belum sepakat soal angka kenaikan upah minimum tahun 2023. Di DKI Jakarta, misalnya, sejumlah unsur dewan pengupahan mengusulkan besaran yang berbeda-beda.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menerbitkan peraturan baru tentang penetapan upah minimum tahun 2023. Kendati begitu, serikat pekerja dan pelaku usaha belum sepakat terkait besaran kenaikan upah yang diusulkan.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, mengatur kenaikan upah minimum 2023 maksimal 10 persen. Sesuai aturan itu, upah minimum provinsi (UMP) 2023 harus ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur paling lambat 28 November 2022, sementara upah minimum kabupaten/kota (UMK) paling lambat 7 Desember 2022.
Ketidaksepakatan penentuan kenaikan upah minimum antara lain tecermin dalam rapat Dewan Pengupahan DKI Jakarta yang digelar pada Selasa (21/11/2022). Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Rabu (22/11/2022) mengatakan, ada tiga usulan angka UMP yang berbeda antarunsur dewan pengupahan. Dewan itu terdiri dari unsur serikat pekerja atau buruh, pemerintah daerah, serta unsur pengusaha yang terdiri dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Menurut Said, Apindo DKI mengusulkan UMP naik 2,62 persen atau sekitar Rp 4,7 juta. Usulan Apindo mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan produk hukum turunan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Sementara Kadin DKI Jakarta menyetujui Permenaker No 18/2022 dan mengusulkan kenaikan upah sebesar 5,11 persen atau Rp 4,8 juta. Adapun Pemprov DKI Jakarta yang juga mengacu peraturan baru mengusulkan kenaikan upah sebesar 5,6 persen atau sekitar Rp 4,9 juta. Sementara serikat pekerja atau buruh mengusulkan kenaikan upah sebesar 10,55 persen atau sekitar Rp 5,1 juta.
"Sikap Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh adalah meminta Penjabat Gubernur DKI mengabulkan usulan serikat pekerja yaitu (UMP naik) 10,55 persen karena sangat realistis berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi," kata Said.
Said menjelaskan, berdasarkan penelitian Partai Buruh, inflasi Indonesia pada Januari hingga Desember 2022 diprediksi mencapai 6-7 persen. Kementerian Keuangan juga memprediksi inflasi Januari hingga Desember 2022 sebesar 6,5 persen. Selain itu, pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun nanti 2022 diperkirakan mencapai 4 hingga 5 persen. Hal inilah yang membuat serikat pekerja mengusulkan kenaikan UMP DKI sebesar 10,55 persen.
"Buruh menanggung beban kalau pakai usulan Kadin maupun usulan pemerintah yang 5,11 persen atau 5,6 persen. Kenaikan BBM (bahan bakar minyak) itu tidak tecermin di dalam kenaikan upah. Kalau usulan 10,55 persen, kenaikan harga BBM tecermin dalam kenaikan upah," kata Said.
Ia menambahkan, serikat buruh pada 28 November mendatang akan menggelar demo jika usulan mereka tidak dikabulkan. Aksi akan dilakukan di Jakarta dan dilanjutkan di seluruh Indonesia. "UMP DKI Jakarta tahun 2023 akan punya pengaruh ke (penetapan) UMK-UMK di kabupaten/kota lainnya, khususnya kota-kota industri seluruh Indonesia," kata Said.
Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, menilai penetapan upah minimum sebaiknya berdasarkan aturan lama, yakni PP 78/2015. Penetapan upah minimum harus dilihat berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
"Biasanya pertumbuhan ekonomi merujuk pada tahun sebelumnya di triwulan ketiga dan inflasi di bulan September. Jadi kalau dilihat dari dua variabel itu, maka idealnya pertumbuhan dari kenaikan upah minimum DKI tahun depan 10,6 persen," kata Bhima.
Jika mendapatkan upah di atas inflasi, maka daya beli masyarakat pun akan meningkat. Hal ini pun menguntungkan para pelaku usaha. Bhima menambahkan, jika pengusaha tidak sanggup membayar kenaikan upah minimum, selisihnya bisa ditutup dengan subsidi upah.
"Asalkan ada perjanjian pelaku usaha tidak melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) secara sepihak. Jadi bisa difasilitasi (subsidi), di situ fungsinya pemerintah," ujar Bhima.
Minta konsisten
Sementara itu, melalui keterangan tertulis, Ketua Umum Apindo, Hariyadi B. Sukamdani, berharappemerintah konsisten dalam mengimplementasikan PP 36/2021. Menurut dia, dengan adanya penetapan formulasi baru, maka sektor padat karya, usaha mikro kecil menengah (UMKM), dan pencari kerja akan dirugikan. Apindo menolak perubahan kebijakan terkait penghitungan upah minimum 2023.
"Jika ketentuan dalam PP No 36/2021 tentang Pengupahan tersebut diabaikan akan semakinmenekan aktivitas dunia usaha bersamaan dengan kelesuan ekonomi global pada tahun 2023," kata Hariyadi.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah melalui pernyataan resmi di akun Instagram @Kemnaker menjelaskan, sebelum ada PP No 36/2021 terjadi disparitas upah minimum di berbagai daerah. Situasi ini berdampak ke produktivitas dan kesejahteraan pekerja. Kehadiran PP No 36/2021 bertujuan mereduksi hal itu sehingga tercipta pemerataan dalam jangka menengah.
Akan tetapi, saat ini, dia melihat kondisi masyarakat belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Selain itu, masyarakat harus berhadapan dengan potensi ketidakpastian makroekonomi global.
”Struktur perekonomian nasional disumbang oleh konsumsi. Maka, kami menilai penting menjaga daya beli pekerja. Berangkat dari aspirasi yang berkembang, perhitungan upah minimum yang ada di PP No 36/2021 belum mampu menjawab situasi yang kini berkembang,” ujarnya, menjelaskan latar belakang dikeluarkannya penyesuaian formula perhitungan upah minimum tahun 2023 melalui Permenaker No 18/2022.
Ida menegaskan, dengan adanya penyesuaian formula perhitungan upah minimum tahun 2023, daya beli dan konsumsi warga bisa terjaga. Penyesuaian itu diharapkan sudah menjadi jalan tengah atas dinamika sosial ekonomi yang berkembang (Kompas.id, 21/11/2022).