Penangkapan ikan terukur yang membuka kuota bagi pemodal dalam negeri dan asing masih terus menuai sorotan publik. Indonesia tengah menghadapi tantangan penangkapan ikan berlebih.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota bakal digulirkan mulai awal tahun 2024. Namun, kebijakan itu dinilai sejumlah kalangan memicu eksploitasi tangkapan ikan di tengah permasalahan penangkapan ikan berlebih.
Manager Human Right Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Miftahul Choir menyoroti arah kebijakan penangkapan ikan terukur. Penangkapan ikan terukur memberikan kuota tangkapan ikan bagi industri, termasuk penanaman modal asing. Sementara itu, Indonesia menghadapi tantangan persoalan penangkapan ikan berlebih yang ditandai produksi ikan menurun.
Selama periode 2014-2019, pemerintah pernah menggulirkan rangkaian kebijakan untuk menekan penangkapan ikan berlebih. Kebijakan itu di antaranya moratorium izin kapal buatan luar negeri, pelarangan alih muatan kapal (transshipment) di tengah laut, serta larangan kapal ikan berukuran di atas 150 gros ton (GT) untuk melaut di zona ekonomi eksklusif, serta melarang modal asing dalam usaha kapal penangkapan ikan melalui daftar negatif investasi. Kebijakan itu dinilai mendorong pemulihan sumber daya ikan dan menekan penangkapan berlebih.
Akan tetapi, kebijakan tersebut mulai dihapuskan sejak 2020, antara lain pencabutan moratorium dan larangan transshipment. Terkini adalah adanya kebijakan penangkapan ikan terukur yang membuka kuota lebih besar dan penanaman modal asing bagi industri kapal penangkapan ikan. Legitimasi itu dikhawatirkan hanya menguntungkan industri besar untuk mengakses sumber daya laut, tetapi menghambat upaya pemulihan sumber daya ikan.
”Kebijakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir terus mengarah pada eksploitasi sumber daya ikan. Siapa pihak yang akan bertanggung jawab terhadap penangkapan ikan berlebih?” ujar Miftahul dalam diskusi ”Posisi Nelayan Tradisional Indonesia Dalam Pusaran Regulasi Perikanan Nasional” secara hibrida, Senin (30/10/2023).
Menurut Miftahul, penangkapan ikan berlebih di Indonesia selama ini dipicu oleh aktivitas industri dan perusahaan kapal perikanan skala besar. Namun, industri-industri besar itu kini mendapatkan peluang untuk melakukan eksploitasi. Pemberian kuota tangkapan ikan berpotensi didominasi segelintir pemilik modal, perburuan rente, hingga konflik horizontal nelayan lokal dengan kapal-kapal industri besar.
”Penangkapan ikan terukur seharusnya berorientasi memulihkan laut dan bukan eksploitasi ikan serta kuota tangkapan lebih besar bagi industri,” ujarnya.
Penangkapan ikan terukur seharusnya berorientasi memulihkan laut. (Miftahul Choir)
Ia menambahkan, kebijakan penangkapan ikan terukur perlu transparan agar tidak merugikan nelayan lokal dan nelayan skala kecil. Keterlibatan publik dan akuntabilitas diperlukan dalam perumusan kebjakan.
Akademisi Universitas Pattimura, Saiful Gazali, mengemukakan, kebijakan penangkapan ikan terukur perlu diikuti dengan proses transformasi informasi ke nelayan tradisional, terutama nelayan di pelosok. Masih banyak nelayan belum memahami aturan yang dibuat pemerintah pusat meski sudah hampir diterapkan.
”Bagaimana (pemerintah) mau memberlakukan aturan kalau masyarakat di bawah tidak tahu?” ujarnya.
Digitalisasi yang diusung pemerintah dalam prosedur penangkapan ikan terukur harus becermin pada kondisi sejumlah daerah yang masih minim daya dukung listrik. Jarak dari sentra nelayan di pulau-pulau kecil ke provinsi terdekat juga sangat jauh untuk mengurus pendaftaran kapal ataupun perizinan. Dicontohkan, jarak tempuh laut dari Kepulauan Aru ke ibu kota Provinsi Maluku memakan waktu 2-3 hari.
Koordinator Kelembagaan dan Perlindungan Nelayan Kementerian Kelautan dan Perikanan Lili Widodo mengemukakan, gagasan besar terkait penangkapan ikan terukur adalah keberlanjutan sumber daya ikan dan mutu daya saing. Kapal-kapal perikanan yang sudah memiliki perizinan tangkap wajib mendaratkan ikan di pelabuhan pangkalan sesuai zona penangkapan.
”Ekonomi lokal bisa berjalan serta pemerataan atas pemanfaatan sumber daya ikan. Gagasan ini kita tuangkan dalam kebijakan penangkapan ikan terukur,” ujarnya.
Tahapan-tahapan penangkapan ikan terukur, antara lain, mencakup tata kelola pelabuhan pangkalan, basis data dan informasi, serta tata kelola kuota. Kuota tangkapan ikan diberikan dengan mempertimbangkan ketersediaan kuota. Kuota tangkapan berlaku untuk setahun musim tangkapan.
Ia menambahkan, kuota untuk kapal nelayan kecil dan tradisional berukuran 0-5 GT tidak diatur dan tidak dikenakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Nelayan kecil cukup mendaftarkan kapal ke pemerintah kabupaten/kota.
Adapun kuota tangkapan yang diatur oleh pemerintah pusat yakni untuk kapal-kapal penangkapan ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT) dan melaut hingga di atas 12 mil. Sedangkan kuota untuk kapal-kapal penangkapan ikan berukuran 5-30 GT dan melaut di bawah 12 mil diatur oleh gubernur.
”Nelayan kecil tidak dibatasi jalur penangkapan dan menangkap di seluruh Indonesia sampai laut lepas, boleh menangkap di mana saja sepanjang dia (nelayan) mampu,” ujar Lili.
Lili menambahkan, pengisian data hasil tangkapan ikan juga dilakukan secara elektronik melalui e-logbook. Hasil pengisian e-logbook masih akan diverifikasi melalui penimbangan di pelabuhan pangkalan. Saat ini terdapat 177 pelabuhan pangkalan perikanan untuk penerapan penangkapan ikan terukur.
Susah sinyal
Sekretaris Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Jakarta, Muhammad Bilahmar, mengemukakan, selama ini pengisian data hasil tangkapan dilakukan secara manual. Dengan aplikasi, pengisian logbook baru akan dikirimkan ketika kapal memasuki pelabuhan atau sudah dapat sinyal. Setelah itu, ikan hasil tangkapan ditimbang di pelabuhan dan selanjutnya dikenakan pungutan hasil perikanan.
Persoalannya, tidak seluruh pelabuhan perikanan memiliki infrastruktur memadai, baik sinyal maupun alat timbangan ikan elektronik. Padahal, pembayaran pungutan hasil perikanan yang terlambat akan dikenakan denda.
”Infrastruktur jaringan seluler minim, sinyal yang lemah dan belum merata, terutama di wilayah Indonesia timur, berpotensi menghambat pelaporan hasil tangkapan ikan. Agar sinyal merata, setiap pelabuhan perikanan seharusnya didukung BTS (stasiun pemancar jaringan seluler),” katanya.