Rugi Triliunan Rupiah, Pemerintah Akan Atur Regulasi Makanan Terbuang
Kerugian Indonesia akibat makanan terbuang (”food loss and waste”) setara dengan 4-5 persen produk domestik bruto Indonesia per tahun. Jika dimanfaatkan maksimal, makanan itu bisa dikonsumsi 29-47 persen populasi negara.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menyusun regulasi untuk mencegah makanan terbuang, baik sebelum maupun setelah diolah. Kerugian ekonomi akibat fenomena ini mencapai triliunan rupiah per tahun. Indonesia dapat berkaca pada negara lain dalam menyusun dan menerapkan regulasi tersebut.
Laporan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut, kehilangan dan pemborosan makanan (food loss and waste/FLW)mengakibatkan kerugian ekonomi pada tiap tahap rantai pasok makanan. Dalam rentang 2000-2019, FLW mencapai 23 juta-48 juta ton per tahun. Kerugian ekonominya sebesar Rp 213 triliun-Rp 551 triliun per tahun atau 4-5 persen produk domestik bruto Indonesia per tahun.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan, besaran tumpukan FLW setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun. Padahal, makanan-makanan itu, jika dapat dimaksimalkan penggunaannya, berpotensi dikonsumsi 61 juta-125 juta orang atau 29-47 persen populasi Indonesia.
”Dalam hal ini, pemerintah, kemudian Dewan Perwakilan Rakyat menginisiasi (masalah) ini perlu diregulasi,” ujar Arief dalam seminar ”Komitmen dan Aksi Bersama Transformasi Sistem Pangan melalui Upaya Pencegahan Food Wastedi Indonesia” di Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Utusan Khusus Presiden Bidang Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Muhamad Mardiono menilai perlu gerakan masif untuk menghentikan perilaku masyarakat yang kerap membuang sampah makanan. Alhasil, ia mendukung Badan Pangan Nasional mendorong adanya regulasi agar masyarakat memahami pentingnya mengonsumsi makanan secukupnya.
”Kita dorong jadi produk undang-undang agar nanti pergerakan-pergerakan (anti-FLW) ini disadari masyarakat semua. Tentu tiap aturan yang ada punishment-nya akan meningkatkan kesadaran masyarakat,” kata Mardiono.
Peraturan ini masih dalam tahap pembahasan yang diharapkan bisa tuntas akhir tahun ini.
Menurut anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Endang S Thohari, regulasi yang mengatur kehilangan dan pemborosan makanan harus ada. Menurut rencana, UU tersebut akan diturunkan berupa peraturan presiden, kemudian menjadi peraturan Badan Pangan Nasional.
”(Rancangan regulasi) baru akan diajukan dan harus bersama-sama dengan pemerintah karena kalau sendirian (hanya DPR), berisiko kurang ada komunikasi yang baik terkait peraturan-peraturan yang akan dicetuskan nanti,” kata Endang.
Kehilangan makanan (food loss) terjadi pada rantai produksi, mulai dari ladang hingga masuk ke tingkat grosir. Selanjutnya, pemborosan makanan (food waste) ada di tahap akhir, yakni retail dan konsumsi, baik pada layanan makanan maupun rumah tangga.
Kerugian ekonominya sebesar Rp 213 triliun-Rp 551 triliun per tahun atau 4-5 persen produk domestik bruto Indonesia per tahun.
Menanggapi hal ini, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mendukung pemerintah untuk mengatur regulasi soal FLW. Sebab, banyak pihak membutuhkan landasan hukum yang dapat melindungi mereka dalam usahanya menekan makanan-makanan terbuang ini.
”Regulasi juga melindungi pelaku supaya ketika ada sesuatu, kejadian yang tak dikehendaki, mereka dilindungi regulasi. Jadi, soal perlindungan itu penting,” ujarnya.
Dalam konteks ini, pelaku mengarah pada semua pihak yang terlibat dalam rantai terjadinya FLW. Mereka adalah penyedia pangan surplus, seperti retail dan supermarket, kelompok penerima, serta penghubung (hub) di antara keduanya.
Selama ini, Khudori menambahkan, konsentrasi semua pihak masih pada tahap produksi. Namun, bagaimana produksi itu diolah sehingga tak menjadi sampah belum tersentuh. Kementerian Pertanian belum membahas persoalan ini karena lebih banyak bergerak di hulu, sementara makanan terbuang lebih banyak terjadi di hilir.
Oleh karena itu, regulasi mengenai FLW diharapkan dapat mengubah perilaku semua pihak. Kolaborasi antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat dibutuhkan. Pemerintah perlu mengomunikasikan terus-menerus mengenai FLW dan dampaknya secara luas agar publik sadar dan teredukasi.
”Pejabat-pejabat harus ngomong berulang-ulang agar publik tahu urgensinya. Penting agar ada lembaga yang memimpin dan bisa mengoordinasi sehingga bisa menyusun agenda-setting yang bisa dikomunikasikan semua pihak,” tutur Khudori yang juga anggota Komite Pendayagunaan Pertanian.
Berkaca pada negara lain
Regulasi untuk mengatasi FLW telah dilakukan sejumlah negara. Beberapa di antaranya berada di kawasan Eropa dan Asia.
Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) untuk Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal, menyebut sejumlah contoh baik penerapan regulasi FLW. Indonesia dapat melihat Korea Selatan dan China sebagai percontohan.
Berdasarkan jurnal bertajuk ”The Status of The Global Food Waste Mitigation Policies: Experience and Inspiration for China” yang ditulis Shen, et al (2023), beberapa kebijakan terkait pemborosan makanan berimplikasi pada sejumlah aspek, seperti perubahan iklim, energi, agrikultur, dan kesuburan tanah. Regulasi yang diatur matang dapat menjadi ”senjata” efektif untuk menekan sampah makanan rumah tangga.
Pembagian makanan dan bank makanan menjadi solusi lainnya. Banyak negara menggunakan insentif ekonomi untuk bank makanan, termasuk insentif pajak dan subsidi. Selain itu, upaya mengurangi sampah makanan butuh partisipasi dari berbagai pihak. Bentuk konkretnya berupa kampanye dan memasukkan isu FLW dalam kurikulum pendidikan. Kesadaran ini perlu dibentuk menjadi budaya agar dapat berjalan efektif.
Khudori mengatakan, insentif memang diperlukan sebagai pendorong pihak ketiga atau swasta untuk terlibat menekan FLW.