Tiga Solusi Antisipasi Darurat Stok dan Harga Beras Diusulkan
Bulog diharapkan dapat merealisasikan sisa kuota impor beras untuk menambah CBP. Di sisi lain, pemerintah dapat menerapkan ”panen air” di lahan kering, misalnya dengan membuat embung kecil beralaskan terpal plastik.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Jepri (60-an) hanya bisa pasrah menyaksikan tanaman padinya puso akibat kekurangan air di kawasan Dangdang, Tangerang, Banten, Jumat (8/9/2023). Kekeringan akibat El Nino menyebabkan sawah seluas 4.000 meter persegi yang digarapnya terancam gagal panen.
JAKARTA, KOMPAS — ”Bola panas” kenaikan harga beras terus bergulir. Pemerintah perlu meredamnya agar darurat beras nasional tidak terjadi. Setidaknya ada tiga solusi yang dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga stabilitas stok dan harga beras.
Berdasarkan Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional, per Kamis (21/9/2023), harga rata-rata nasional beras medium di tingkat eceran Rp 12.980 per kilogram (kg). Sejak Januari 2023, harganya telah naik 10,04 persen, sedangkan secara tahunan telah melonjak 16,07 persen. Harga tersebut juga jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium berdasarkan zonasi, yakni Rp 10.900-Rp 11.800 per kg.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin, Kamis (21/9/2023), mengatakan, harga beras pada tahun ini naik sangat tinggi karena dampak El Nino. Kenaikan harga beras diperkirakan akan sedikit mereda pada Oktober 2023 karena ada sisa panen padi musim gadu atau musim tanam II.
Merujuk data Kementerian Pertanian, masih ada panenan pada Oktober dan November 2023. Produksi gabah kering giling pada Oktober 2023 diperkirakan sebanyak 3,82 juta ton dan pada November 2023 sebanyak 2,88 juta ton.
Namun, lanjut Bustanul, yang perlu diperhatikan dalam kondisi itu adalah Bulog lebih baik tetap merealisasikan sisa kuota impor beras. Jangan sampai Bulog memaksakan diri menyerap beras dari dalam negeri saat musim panen gadu.
”Jika stok di tingkat petani habis karena sebagian besar diserap Bulog, harga gabah dan beras bisa melonjak tinggi lagi,” ujarnya dalam Diskusi Publik ”Waspada Bola Panas Harga Beras” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara daring di Jakarta.
Jika stok di tingkat petani habis karena sebagian besar diserap Bulog, harga gabah dan beras bisa melonjak tinggi lagi.
Untuk menjaga stabilitas stok dan harga pangan, terutama beras, baik saat ini maupun ke depan, Bustanul yang juga ekonom senior Indef mengusulkan tiga solusi. Pertama, tingkatkan kerja sama antardaerah untuk mengendalikan inflasi. Selain melanjutkan operasi pasar dan bantuan beras bagi keluarga tidak mampu, kerja sama antara daerah surplus beras dan defisit beras perlu dioptimalkan.
Pemerintah melalui Bulog di daerah juga diharapkan melakukan contract farming atau pertanian kontrak dengan petani setempat agar hasil panenan bisa diserap untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan bantuan benih dan pupuk kepada para petani.
Kedua, menyubsidi ongkos angkut rantai nilai pangan, terutama beras. Subsidi ini bisa diberikan kepada petani dan offtaker atau penyerap hasil panen petani yang telah memiliki kerja sama kontrak pertanian dalam jangka waktu tertentu.
Ketiga, menggulirkan program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa di antaranya, pengembangan benih padi yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim ekstrem dan padi lahan rawa, serta menerapkan sistem irigasi kocor.
”Selain itu, pemerintah juga dapat menerapkan ’panen air’ di lahan kering. Hal itu dapat dilakukan dengan membuat embung-embung kecil beralaskan terpal plastik, merehabilitasi sarana penampung air di sungai-sungai, dan mengelola sisa sumber air,” kata Bustanul.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef Rusli Abdullah berpendapat, keuntungan atau margin kotor terbesar atas kenaikan harga beras yang saat ini terjadi dinikmati pedagang besar. Selain itu, konsumen kelas bawah yang mayoritas membeli beras di pasar tradisional juga menanggung kenaikan harga beras terbesar karena kenaikan harga beras di pasar tradisional lebih tinggi dibandingkan di pasar ritel modern.
Hal itu tecermin dari pergerakan harga dan perbedaan harga di tingkat petani atau produsen, pedagang besar, pasar tradisional, dan pasar modern pada 2 Januari-20 September 2023. Dalam periode tersebut, kenaikan harga di tingkat produsen sebesar 7,58 persen, pedagang besar 12,7 persen, pasar tradisional 12,65 persen, dan pasar ritel modern 8,82 persen.
Dalam periode perbandingan yang sama, perbedaan harga beras antara produsen dan pedagang besar meningkat dari Rp 1.200 per kg menjadi 1.900 per kg. Adapun perbedaan harga beras antara pedagang besar dengan pasar tradisional dan pasar tradisional dengan pasar ritel modern lebih kecil.
”Perbedaan harga antara pedagang besar-pasar tradisional naik dari Rp 900 per kg menjadi Rp 1.000 per kg, sedangkan antara pasar tradisional-ritel modern justru turun dari Rp 950 per kg menjadi Rp 550 per kg,” katanya.
Keuntungan atau margin kotor terbesar atas kenaikan harga beras yang saat ini terjadi dinikmati pedagang besar.
Warga tersenyum saat menerima bantuan sosial beras di Kantor Pos Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (19/9/2023). Beras bantuan seberat 10 kilogram tersebut dirasakan sangat membantu warga di tengah harga beras yang tinggi.
Tambahan impor
Sementara itu, Perum Bulog siap melaksanakan penugasan Presiden Joko Widodo untuk mengimpor beras 1 juta ton beras dari China. Impor beras itu dalam rangka menambah CBP dan pemberian bantuan beras bagi keluarga berpenghasilan rendah pada Januari, Februari, dan Maret 2024.
Per awal September 2023, stok beras Bulog sebanyak 1,52 juta ton. Beras itu akan berkurang sebanyak 640.000 ton untuk program bantuan pangan 21,37 juta keluarga berpenghasilan rendah pada September, Oktober, November 2023. Bulog juga menggelontorkan 4.500 ton beras ke Pasar Induk Beras Cipinang untuk menstabilkan harga beras.
Kendati stok itu bakal berkurang menjadi sekitar 800.000 ton, Bulog menargetkan memiliki CBP sebanyak 1,2 juta ton pada awal 2024. Tambahan stok itu berasal dari sisa kuota impor beras sebesar 400.000 ton.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menuturkan, impor beras dari China akan dilakukan jika sudah resmi ada penugasan. Tambahan beras impor itu diperlukan untuk menambah CBP karena diperkirakan panenan padi pada Januari-Maret 2024 masih sedikit dan hanya terjadi di sejumlah daerah.
Padahal, pemerintah juga berencana menggulirkan bantuan beras bagi keluarga berpenghasilan rendah pada Januari, Februari, dan Maret 2024. Selain itu, stok dipersiapkan pula untuk menjaga stabilitas harga beras saat Ramadhan-Lebaran pada April 2024.
”Kalau nanti ada penugasan dari Presiden, Bulog akan mengimpor beras dari China sebanyak 1 juta ton. Presiden telah bertemu dengan Pemerintah China dan memastikan negara tersebut siap mengekspor beras ke Indonesia,” tuturnya di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (20/9/2023).