El Nino dan Kisah Sepiring Nasi Petani
El Nino membuka lembaran kisah para petani yang ”ngupoyo upo”. Banyak risiko yang dihadapi dan pengorbanan yang dialami para penjaga ketahanan pangan itu untuk menyajikan nasi bagi orang lain, bahkan di piring sendiri.
Banyak kisah yang terkandung dari sepiring nasi petani. Setiap butirnya mencerminkan berbagai pergulatan, seperti kepasrahan, kerja keras, ataupun keuletan petani menaklukkan tantangan. Lebih-lebih sewaktu musim kemarau panjang akibat dampak El Nino menerjang.
Hamparan lahan sawah terlihat kering dan gersang di Desa Wonokerso, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Kamis (14/9/2023) siang. Tanahnya tidak lagi gembur. Konturnyaterasa keras. Retakan tanah tampak kentara menyebar di berbagai area. Bekas panenan padi dari musim tanam (MT) II dibiarkan tetap menancap pada sawah tandus itu.
Dalam kondisi tersebut, sepasang petani sepuh, yaitu Wagiyo (67) dan Parni (62), sibuk membuat ”tulakan” atau jalan air guna mengaliri sawah mereka. Batu-batu ditata rapi oleh Parni di salah satu sudut sawah mereka. Sembari menunggu, Wagiyo mengaduk pelan-pelan campuran semen dan air di dalam gerobak sorong berwarna merah.
”Daripada di rumah tingak-tinguk (bengong) dan memikirkan yang susah-susah, lebih baik ke sawah. Airnya memang belum ada. Namun, saya ingin membuat ini (tulakan) biar nanti kalau sudah ada airnya bisa dialirkan ke sawah kami,” kata Wagiyo, seraya mengusap peluh dari dahinya yang keriput.
Di musim kemarau ini, Wagiyo tak punya pilihan selain membiarkan sawahnya bera atau tidak ditanami. Waduk Brambang yang jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari sawahnya sudah dangkal. Rerumputan dan tanah retak malah lebih banyak kelihatan ketimbang genangan air. Oleh karenanya, saluran irigasi juga tak lagi dialiri air waduk yang menjadi sumber utama pengairan sawah bagi petani di wilayah itu.
Opsi pengairan sebenarnya bisa dilakukan lewat pembuatan sumur bor berbasis pompa listrik. Kedalaman sumurnya diperkirakan mencapai 80-100 meter. Adapun biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 60 juta untuk memasang instalasi elektrifikasi pangan tersebut. Namun, Wagiyo sudah tidak punya modal lagi.
Hasil panen di sawahnya, seluas 3.000 meter persegi, hanya ditebas pedagang Rp 9 juta. Sementara itu, modal panen yang dikeluarkannya sekitar Rp 7 juta, antara lain untuk membayar pinjaman, membeli bibit dan pupuk, serta upah tenaga kerja.
Untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari saja, Wagiyo kesusahan, apalagi untuk membuat sumur bor berbasis pompa listrik. Miris rasanya.
Sebagai petani, Wagiyo juga harus membeli beras untuk kebutuhan makan sehari-hari. Sepiring nasi yang dimakan bukan lagi dari hasil gabah panenannya. Pun, ia tak bisa ikut merasakan tingginya harga gabah yang belakangan ini menyentuh Rp 7.000 per kilogram (kg) karena tak bisa menanam padi di masa kering.
”Stok gabah yang saya simpan juga sudah habis. Saya sekarang harus membeli beras. Harga beras juga naik dari Rp 10.000 per kg menjadi Rp 12.000 per kg. Ini hitungannya cukup mahal,” tuturnya.
Stok gabah yang saya simpan juga sudah habis. Saya sekarang harus membeli beras. Harga beras juga naik dari Rp 10.000 kg menjadi Rp 12.000 per kg.
Wagiyo berkeluh kesah mengenai kondisi petani yang kini serba sulit. Banyak masalah yang mengimpit. Harga pupuk tinggi, serangan hama, kekurangan air, sampai harga jual gabah yang kerap kali tak berpihak kepada petani. Kendati begitu, ia mengaku hanya bisa pasrah dan berikhtiar terus menanam sebaik-baiknya.
”Mula, petani niku kuru-kuru. Menapa mboten mesakakke? Gusti Allah niku adil. Kula tasih diparingi awak sehat lan tasih saged tani. Padahal, niki sampun sepuh (Makanya, petani itu kurus-kurus. Apa tidak kasihan? Tuhan itu adil. Saya masih diberi badan sehat dan masih bisa bertani meski sudah tua seperti ini),” kata Wagiyo.
Baca Juga: Terdampak Kekeringan di Jateng, Sebagian Tanaman Padi Puso dan Penggilingan Tutup
Wagiyo sadar kekeringan selalu menjadi masalah menahun. Ia berharap agar kelak ada bantuan sumur bor berbasis pompa listrik bagi petani. Namun, ia enggan jika bantuan itu hanya dirasakan olehnya. Ia ingin sumur yang kelak dibangun itu bisa mengairi sawah teman-temannya sesama petani.
”Misalkan kelak ada yang membuatkan, semoga sekalian besar saja. Jadi, bukan saya saja yang panen. Saya ingin semua petani bisa panen bareng-bareng,” kata Wagiyo.
Kisah sepiring nasi petani juga dimiliki Warsih (72), warga Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Ia memanfaatkan lahandi pinggiran Waduk Kedungombo yang mengering untuk menanam padi. Pengairannya berasal dari air SungaiSerang yang hanya muncul ketika kemarau ekstrem. Dalam kondisi normal, lahan dan sungai tersebut tergenang air.
”Ini baru pertama kali tanam lagi setelah bertahun-tahun lalu. Saya nekat saja. Nanti panennya buat dimakan sendiri meskipun hanya sedikit. Yang penting cukup,” kata Warsih yang kerap mencari ikan di saat air waduk dalam kondisi normal.
Baca Juga: Kelas Bawah Tanggung Kenaikan Harga Beras Terbesar
”Ngupoyo upo”
Berbeda dengan kisah sepiring nasi Jelani (60), buruh tani Desa Tangkil, Kecamatan Susukan Cirebon, Jawa Barat, dan Ardi (40), petani Desa Plosokerep, Kecamatan Karangmalang, Sragen. Keduanya ngupoyo upo atau bekerja keras demi sebutir nasi. Jelani nekat menanam padi di tengah terbatasnya ketersediaan air, sedangkan Ardi mengeluarkan modal yang cukup besar agar sawahnya bisa ditanami padi tiga kali dalam setahun.
Jelani mengaku nekat menanam padi di MT III karena harga gabah kering panen (GKP) tinggi. Saat ini, harga GKP di tingkat petani mencapai Rp 7.000-Rp 7.600 per kg. Sebelumnya (pada MT I) harga GKP di kisaran Rp 5.000-Rp 5.500 per kg.
Petani nekat menanam padi di musim tanam III karena harga gabah kering panen tinggi. Saat ini, harga GKP di tingkat petani mencapai Rp 7.000-Rp 7.600 per kg.
Harga GKP yang tinggi tidak hanya menambah pendapatan petani pemilik lahan, tetapi juga buruh tani. Meskipun bagi hasil panenan tetap, yakni 5:1 dari total GKP, uang yang diterima dari penjualan GKP lebih tinggi.
Biasanya, petani di desa tersebut menanam kacang hijau atau jenis palawija lain pada MT III. Lantaran masih ada aliran air di saluran kecil desanya, Jelani memutuskan menanam padi. Ia memperkirakan air itu cukup untuk mengairi dua hektar sawah yang tengah digarapnya bersama sembilan buruh tani lain.
”Kalau tidak digunakan untuk kepentingan desa yang lain dan hujan mulai terjadi, saya kira air tersebut cukup untuk mengairi sawah hingga menjelang panen,” kata Jelani.
Baca Juga: Panen Masih Ada, Harga GKP Tembus Rp 7.000 Per Kilogram Lebih
Sementara itu, Ardi sudah memasang tiang dan kotak meteran listrik di areal sawahnya. Ia juga sudah memiliki sumur bor dan pompa listrik. Kini, ia tinggal memasang kabel dan meteran listrik setelah persetujuan pemasangan jaringan listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tbk keluar.
Ardi mengaku, paket lengkap pembangunan sumur pompa air beserta jaringan listrik itu sebesar Rp 50 juta-Rp 60 juta. Biaya itu cukup tinggi lantaran sumur bor yang dibuat harus sedalam 80-100 meter hingga keluar air. Untuk menekan biaya, ia tidak mengambil paket itu dan lebih memilih membangunnya secara bertahap. Dengan begitu, ia bisa menghemat sekitar Rp 5 juta-Rp 10 juta.
Ardi tertarik membuat sumur bor berbasis pompa air listrik agar bisa tanam dan panen padi tiga kali dalam setahun. Ia terinspirasi sejumlah petani lain di Sragen yang telah memasang sumur bor berbasis pompa air listrik.
Petani-petani tersebut berani mengeluarkan modal besar untuk ”menyulap” sawah yang tidak bisa ditanami padi setiap musim tanam III menjadi bisa ditanami. Mereka membuat sumur bor bertenaga pompa listrik untuk mengairi sawah, baik sawah tadah hujan maupun sawah dengan pasokan air irigasi terbatas.
Instalasi listrik itu terhubung dengan pompa air yang terintegrasi dengan sumur bor dan pipa atau selang air. Untuk mengairi sawah, petani tinggal memencet saklar yang berada tak jauh dari meteran atau yang dipasang di dinding rumah pompa.
Baca Juga: Berkah Listrik Masuk Sawah
Hal itu banyak ditemui di sejumlah daerah di Kabupaten Sragen. Beberapa di antaranya di Kecamatan Karangmalang, Sidoharjo, dan Gemolong. Di areal persawahan di sejumlah daerah tersebut terpasang instalasi listrik berupa tiang, kabel, dan meteran.
”Selama ini, saya hanya menanam dan memanen padi dua kali dalam setahun pada MT I dan MT II. Namun, dengan sumur itu, saya dapat menanam padi pada MT III,” kata Ardi.
Manfaat lainnya, lanjut Ardi, pengairan sawah menjadi lebih cepat dan merata. Dengan pompa diesel, pengairan membutuhkan waktu 3-4 hari. Namun, dengan pompa listrik, pengairan tersebut butuh beberapa jam saja.
El Nino membuka lembaran kisah para petani yang ngupoyo upo. Banyak risiko yang dihadapi dan pengorbanan yang dialami para penjaga ketahanan pangan tersebut untuk menyajikan nasi bagi orang lain, bahkan di piring sendiri.
Baca Juga: Tanaman Padi Puso, Petani Indramayu Tak Nikmati Kenaikan Harga Beras