Berkah Listrik Masuk Sawah
Sejak dua tahun terakhir, petani di Desa Sungai Durian, Kecamatan Martapura, Kabupaten OKU Timur, Sumsel, merasakan manfaat dari elektrifikasi pertanian di lahan sawah mereka. Ongkos produksi pun terkikis.
Tak hanya untuk penerangan di rumah, petani di Desa Sungai Durian, Kecamatan Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, merasakan manfaat dari elektrifikasi di sawah mereka. Produktivitas meningkat, ongkos produksi pun berhasil ditekan.
Muhammad Rois (46) terampil memasang selang ke pompa listrik yang dibawanya. Pompa itu merupakan salah satu bantuan yang diberikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) kepada Gabungan Kelompok Tani Veteran Jaya, tahun 2021, lewat program elektrifikasi pertanian.
Ia menghubungkan pompa dengan sumur bor yang berada di tengah sawah. Setelah semua terpasang sempurna, air dari sumur sedalam delapan meter pun mengalir deras mengairi sawah Rois yang luasnya hampir 1 hektar itu. Lahan pertanian Rois merupakan sawah tadah hujan yang sistem pengairannya mutlak mengandalkan air hujan.
Pada musim tanam pertama (rendengan) periode November-Februari, intensitas hujan relatif tinggi. Pengairan sawah pun masih terkendali. Masalah muncul ketika musim kemarau tiba. Rois harus memanfaatkan sumur bor untuk mengairi sawah. Namun, selama listrik belum masuk ke sawahnya, ia terpaksa menggunakan mesin pompa berbasis bahan bakar minyak (BBM) untuk menyedot air dari sumur.
Baca juga: Peternak Tak Lagi Dirundung Cemas
Hal yang paling memberatkan Rois adalah sulitnya mendapatkan BBM. Kalaupun ada, harganya terlalu mencekik. Untuk mengairi sawah selama 12 jam per hari, Rois harus membeli bensin sebanyak enam liter dengan biaya Rp 60.000-Rp 72.000 per hari. ”Semakin lama musim kemarau melanda, semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk mengairi sawah,” ujarnya, Jumat (16/6/2023).
Biasanya, ungkap Rois, musim kemarau terjadi pada masa tanam kedua (April-Juli). Namun, karena anomali cuaca, datangnya musim kemarau dan hujan sudah sulit diprediksi. Petani pun harus berpikir panjang untuk memulai masa tanam. Kalau salah mengambil keputusan, imbuhnya, hasil panen yang diperoleh akan sangat kecil atau bisa jadi merugi.
Mantan Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Veteran Jaya, Sutikto menuturkan, tidak hanya Rois, ratusan petani yang ada di desa itu juga menghadapi masalah yang sama. Ketika musim kemarau tiba, mereka harus berhitung apakah dana yang dikeluarkan sepadan dengan hasil yang diperoleh.
Jika menakar penggunaan pompa berbasis bensin di musim kemarau, biaya yang harus dikeluarkan petani untuk mengairi sawahnya berkisar Rp 5 juta-Rp 7 juta per musim tanam. Itu belum termasuk biaya lain-lain, seperti pembersihan sawah, pembelian pupuk, benih, dan pestisida yang bisa mencapai Rp 7 juta per musim tanam. ”Tentu ini akan sangat memberatkan petani,” ucap Sutikto.
Efisiensi operasional
Untuk mengatasi masalah itu, pada 2021, dengan didampingi penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan aparat desa setempat, kelompoknya yang beranggotakan 257 petani dengan lahan garapan 194 hektar mengajukan proposal untuk mendapat bantuan dari program elektrifikasi pertanian PLN. Kebetulan, saat itu sedang ada program Listrik Masuk Sawah.
Baca juga: Demi Umur Panjang Tambak Udang
Setahun berselang, permintaan itu disetujui. PLN memberikan bantuan jaringan instalasi listrik di 16 titik sumur bor dengan kapasitas 2.200 volt ampere (VA) di setiap titik tersambung. Bersamaan dengan itu, di setiap titik juga diberikan bantuan pompa listrik, penyemprot pupuk dan pestisida elektrik. Total bantuan yang diterima saat itu mencapai Rp 120 juta.
Hasilnya, sistem pengairan jauh lebih efisien dan hasil pertanian melonjak. Dulu, ketika mengairi sawah dengan pompa bensin, biaya yang dikeluarkan per hari mencapai Rp 60.000. Namun, saat memakai pompa listrik, hanya sekitar Rp 17.000 per hari.
PPL Desa Sungai Durian Sri Handayani berujar, berkat elektrifikasi, pengairan di sawah milik petani bisa lebih stabil. Alhasil, mereka tidak lagi ragu menanam padi saat musim kemarau.
Dalam setahun, petani memiliki peluang melakukan tiga kali tanam. Untuk masa tanam pertama dan kedua, petani menanam padi. Di masa tanam ketiga (Agustus-Oktober), petani menanam jagung atau tanaman hortikultura lain, seperti cabai, bawang, kangkung, atau bayam. ”Karena sebenarnya, air dari sumur bor itu tidak pernah kering walau musim kemarau tiba. Tinggal biaya untuk menghidupkan pompa yang selama ini masih menjadi pertimbangan petani,” jelas Sri.
Baca juga: Kisah Terang ”Naga Karang” Pulau Timor
Produktivitas lahan pun meningkat cukup signifikan. Sebelum ada pompa listrik, produktivitas lahan sawah pada musim tanam kedua hanya 4 ton gabah kering panen (GKP) per hektar. Itu pun kerap gagal. Sekarang, produktivitas bisa mencapai 6 ton GKP per hektar.
Memang, itu lebih rendah dari musim tanam pertama, dengan air hujan mencukupi dan produktivitas bisa mencapai 8 ton GKP. ”Namun, program ini sudah sangat membantu petani. Setidaknya, tidak ada lagi lahan menganggur, pendapatan petani pun bertambah,” ucap Sri.
Manajer Komunikasi PT PLN Unit Induk Wilayah Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu (WS2JB) Sendy Rudianto menjelaskan, program elektrifikasi pertanian dapat menjadi terobosan untuk meningkatkan kemampuan produksi pangan, khususnya padi.
Di berbagai lokasi persawahan, lanjut Sendy, sering kali sudah tersedia jaringan listrik menuju permukiman atau perdesaan. Hal itu dapat dimanfaatkan untuk mendapat pasokan listrik di areal persawahan.
Dengan pola penyambungan listrik yang aman dan legal, petani bisa mendapat pasokan energi listrik untuk mengoperasikan pompa air, alat perontok padi, alat penyemprot pupuk dan insektisida, hingga alat pengusir hama yang berbasis elektrik.
Di Desa Sungai Durian, misalnya, sudah tersedia aliran listrik yang mengarah ke permukiman penduduk. Kapasitas trafo distribusi yang memasok listrik di desa itu juga masih cukup untuk menambah beberapa titik sambungan listrik.
”Dengan memasang kWh meter dalam panel khusus di luar ruangan, sambungan listrik telah siap membantu petani mengoperasikan peralatan pertaniannya,” kata Sendy.
Strategi intensifikasi
Menurut Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Ilfantria, elektrifikasi pertanian adalah salah satu bentuk intensifikasi lahan pertanian.
Apalagi, saat ini potensi lahan baku sawah Sumsel sangat besar, yakni 470.602 hektar, dengan 52.912 hektar di antaranya adalah sawah tadah hujan. ”Kalau bisa, elektrifikasi tidak hanya dilakukan di sawah tadah hujan, tetapi di semua lahan pertanian, terutama padi,” ungkapnya.
Ilfantria menyampaikan, jika memang elektrifikasi pertanian terbukti efektif, petani bisa mengajukan permintaan kepada pemprov. Ada bantuan gubernur yang memang fokus pada pembangunan infrastruktur, termasuk di sektor pertanian.
Gubernur Sumsel Herman Deru sudah berkomitmen untuk meningkatkan produksi pertanian di Sumsel dengan memperkuat sarana-prasarana pertanian. Sejauh ini, hasil pertanian di Sumsel masih sekitar 5,8 ton GKG per hektar. Angka ini masih di bawah produktivitas lahan di Jawa yang bisa mencapai 8 ton GKG per hektar.
Sumsel bertekad meningkatkan produksi beras dari 1,5 juta ton menjadi 2,3 juta ton pada 2023 dengan optimalisasi lahan rawa lebak dan pasang surut, serta beragam program pertanian lainnya. ”Kalau perlu kita harus berada di posisi keempat penghasil beras dan menggantikan Sulawesi Selatan,” tegas Herman.
Baca juga: