Sinyal Pelemahan Industri di Balik Turunnya Kinerja Impor
Lesunya permintaan global dan domestik membuat industri manufaktur mengerem produksi. Impor bahan baku dan penolong pun menurun selama berbulan-bulan. Kondisi ini perlu diantisipasi agar tidak berlanjut terlalu lama.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Lanskap Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (20/7/2023). Badan Pusat Statistik mengumumkan, neraca perdagangan Indonesia sepanjang semester I-2023 memang surplus sebesar 19,93 miliar dollar AS, namun kondisi itu sesungguhnya menurun 20,24 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.
JAKARTA, KOMPAS — Impor bahan baku dan penolong menurun selama delapan bulan terakhir, memberi sinyal pelemahan industri manufaktur di tengah lesunya pasar ekspor dan tersendatnya permintaan domestik. Jika terus berlanjut, kondisi ini bisa menekan produktivitas industri dan membawa ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja di sektor padat karya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, penurunan kinerja impor bahan baku dan penolong telah berlangsung selama setidaknya delapan bulan terakhir. Pada periode Januari-Agustus 2023, nilai impor bahan baku dan penolong mencapai 107,31 miliar dollar AS, turun 13,14 persen dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya (Januari-Agustus 2022), yakni 123,55 miliar dollar AS.
Impor bahan baku dan penolong pada Agustus 2023 juga melambat secara bulanan, yakni turun 4,13 persen dibandingkan pada Juli 2023 serta terkontraksi lebih dalam secara tahunan sebesar 20,39 persen dibandingkan dengan Agustus 2022. Secara kumulatif, penurunan impor bahan baku dan penolong itu terjadi berturut-turut sejak Februari 2023.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Senin (18/9/2023), menilai, turunnya impor bahan baku selama berbulan-bulan itu merupakan pertanda kegiatan produksi yang tertahan dan kinerja industri manufaktur sedang melesu.
Industri pengolahan dalam negeri masih sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari luar negeri. Ketika permintaan jatuh, produsen menahan produksinya, yang otomatis terlihat lewat tren penurunan impor bahan baku dan penolong.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Proses pembongkaran gula mentah yang didatangkan dari Thailand dengan menggunakan Kapal Pac Alcamar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (11/5/2023). Pada 2023, Indonesia akan mengimpor gula sebanyak 4,641 juta ton.
Menurut dia, kondisi itu banyak dipengaruhi oleh pasar ekspor yang saat ini sedang lesu akibat melemahnya perekonomian negara mitra dagang utama Indonesia, seperti China dan Amerika Serikat. ”Permintaan ekspor belum terlalu kuat sehingga produsen menahan produksi dan tidak membeli bahan baku dalam jumlah besar,” katanya.
Sementara itu, di saat pasar ekspor melambat, permintaan dalam negeri pun dinilai tidak cukup kuat untuk menopang produksi dan kinerja industri. Meski konsumsi rumah tangga dan permintaan domestik masih tumbuh positif, pertumbuhannya terhitung lambat.
Hal itu terlihat dari Indeks Penjualan Riil (IPR) oleh Bank Indonesia yang memperkirakan kinerja penjualan eceran pada Agustus 2023 hanya tumbuh tipis sebesar 0,5 persen secara bulanan. Sebelumnya, pada Juli 2023, IPR bahkan sempat terkontraksi 8,8 persen secara bulanan.
”Permintaan domestik kita memang tidak turun, masih lebih baik daripada kondisi global, tetapi naiknya lambat sekali. Istilahnya tersendat-sendat, mau dibilang terkontraksi tidak, dibilang meningkat juga lambat,” ujar Faisal.
Di sisi lain, ketika pasar ekspor melemah, industri pengolahan juga mendapat tekanan tambahan lewat banjir impor barang konsumsi. BPS mencatat, berbeda dari impor bahan baku yang menurun, pada Agustus 2023, impor barang konsumsi naik 15,47 persen secara tahunan, naik 2,19 persen secara bulanan, dan naik 7,66 persen secara kumulatif dari Januari-Agustus 2023.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas pekerja menjahit pakaian di GGS Fashion di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Pulogadung, Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, Kamis (3/11/2022). Usaha kecil dan menengah garmen di kawasan tersebut dalam tiga bulan terakhir ordernya mengalami penurunan.
Tekanan tambahan itu akan sangat terasa bagi sejumlah industri yang selama ini bersaing sengit dengan serbuan barang impor untuk mengisi pasar dalam negeri, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menilai, penurunan impor bahan baku juga dipengaruhi oleh regulasi yang kurang mendukung kemudahan impor meski impor itu dibutuhkan pelaku usaha. ”Ada upaya dan kepentingan dari sisi pemerintah untuk mempertahankan restriksi impor karena berbagai pertimbangan,” ujarnya.
Menurut Shinta, turunnya impor bahan baku bukan serta-merta kinerja sektor manufaktur sedang menyusut, melainkan lebih berupa penyesuaian suplai dan produksi dengan kondisi permintaan pasar untuk menekan beban usaha.
Meski permintaan domestik masih terjaga, pemasukan dari pasar dalam negeri tidak bisa mengompensasi kenaikan beban impor, yang notabene harus dibayar dengan mata uang asing. ”Memang pertumbuhan permintaan ekspor manufaktur kita sangat lemah sehingga itu tidak bisa mendongkrak impor produktif, seperti impor bahan baku dan barang modal,” kata Shinta.
Pesimistis
Sinyal pelambatan industri pengolahan juga tampak lewat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Agustus 2023 yang mencapai poin 53,22, melambat 0,09 poin dibandingkan pada Juli 2023. Meski masih di zona ekspansi, jumlah pelaku usaha yang menyatakan kondisi usahanya menurun bertambah 1,7 persen, sedangkan yang menjawab kondisi usahanya meningkat hanya bertambah 0,8 persen.
Seiring dengan itu, tingkat pesimisme pelaku industri juga meningkat dari 8,72 persen menjadi 9,19 persen, dan tingkat optimisme menurun dari 66,21 persen menjadi 65,98 persen.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri mengatakan, secara umum, kepercayaan industri di berbagai subsektor sebenarnya masih stabil. Namun, perlambatan indeks kepercayaan industri itu perlu dipantau agar tidak berkelanjutan.
Kemenperin mencatat, beberapa subsektor yang mengalami penurunan indeks kepercayaan tertinggi adalah industri percetakan (-5,12), industri makanan (-4,42), peralatan listrik (-4,31), dan industri tekstil (-4,04). Penurunan itu masih didominasi oleh faktor lesunya pesanan domestik dan luar negeri.
”Tetapi, mayoritas masih optimistis, menyampaikan keyakinan bahwa kondisi pasar akan membaik dan kepercayaan pada kebijakan pemerintah. Selain itu, tingkat pesimisme pelaku usaha juga selalu terjaga di bawah 10 persen selama lima periode terakhir,” kata Febri dalam keterangannya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Mobil-mobil siap ekspor terparkir di Terminal Mobil Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (4/5/2023). Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan mobil pada kuartal I-2023 sebanyak 271.168 unit atau naik 13,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Diantisipasi
Faisal menilai, penurunan impor bahan baku dan perlambatan kinerja industri pengolahan itu perlu diantisipasi. Jika berlanjut hingga akhir tahun, produktivitas sektor manufaktur bisa tergerus dan itu akan berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Margin keuntungan industri yang terus menipis akibat produksi dan pesanan yang tertahan itu juga bisa berdampak pada efisiensi di bidang tenaga kerja, bahkan berpotensi mendorong terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) lain di sektor padat karya berorientasi ekspor.
”Industri harus mengalihkan pasar ekspor dan melakukan diversifikasi pasar. Pemerintah juga perlu memikirkan insentif bagi sektor padat karya yang sudah berdarah-darah, seperti industri TPT, agar biaya produksi mereka bisa berkurang dan menghindari gelombang PHK lagi di kemudian hari,” katanya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, penurunan kinerja ekspor tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga banyak negara akibat melemahnya aktivitas ekonomi global. Ke depan, kinerja ekspor-impor diperkirakan masih positif meski melambat seiring dengan perlambatan ekonomi dunia.
”Pemerintah akan terus mengambil langkah-langkah antisipatif dengan meningkatkan daya saing produk ekspor nasional, diversifikasi mitra dagang utama, dan mendorong keberlanjutan hilirisasi sumber daya alam,” kata Febrio.