PNBP pascaproduksi dikenakan untuk volume ikan yang ditangkap pada setiap trip penangkapan. Sebelumnya, sistem PNBP pungutan hasil perikanan dipungut praproduksi.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pekerja PT Fajar Flores Flamboyan Fishing sedang memilah ikan berdasarkan kualitas dan ukurannya sebelum dimasukkan ke gudang pendingin di Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, Kamis (8/6/2023). Pada tahun 2022, produksi perikanan daerah tersebut sebesar 22.137,33 ton.
Peralihan skema pungutan hasil perikanan tangkap dari praproduksi menjadi pascaproduksi selama sembilan bulan terakhir memunculkan riak-riak persoalan. Kesiapan infrastruktur dan pengawasan menjadi sorotan.
Terhitung mulai Januari 2023, pemerintah memberlakukan penarikan pungutan hasil perikanan (PHP) pascaproduksi bagi kapal penangkap ikan yang memperoleh izin dari pemerintah pusat. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi itu dikenakan untuk setiap volume ikan yang ditangkap pada setiap trip penangkapan. Sebelumnya, sistem PNBP pungutan hasil perikanan dipungut praproduksi, yakni pelaku usaha wajib membayar PNBP di muka untuk setahun ke depan.
Menjelang sistem baru digulirkan, sempat muncul kegamangan akan kesiapan infrastruktur di pelabuhan pangkalan, seperti timbangan elektronik untuk menghitung volume ikan dari setiap kapal yang mendarat dan kesiapan petugas. Penyediaan timbangan elektronik yang belum merata di sejumlah daerah dikhawatirkan memicu antrean panjang kapal-kapal ikan yang mau masuk ke pelabuhan.
Terkait masalah itu, pemerintah membuat solusi dengan menerapkan sistem pelaporan mandiri (self assessment) hasil tangkapan ikan. Dengan sistem itu, nelayan atau pemilik kapal dapat menimbang sendiri hasil tangkapan di kapal untuk selanjutnya dilaporkan melalui sistem aplikasi.
Skema PNBP pascaproduksi menawarkan lebih banyak kemudahan dan keadilan bagi pelaku usaha. Sebab, pungutan hasil perikanan dibayarkan sesuai dengan hasil tangkapan yang didaratkan nelayan. Jika volume tangkapan sedikit, tarif pungutan juga sedikit, dan sebaliknya. Harga acuan ikan sebagai dasar pengenaan tarif PNBP pun telah direvisi dengan mempertimbangkan masukan dunia usaha.
Namun, kesiapan teknis dan infrastruktur menjadi hambatan. Per Agustus 2023, jumlah pelabuhan perikanan yang menjadi pelabuhan pangkalan PNBP pascaproduksi tercatat 171 pelabuhan dari total 686 pelabuhan yang ada. Sementara itu, total sumber daya manusia syahbandar di pelabuhan perikanan hanya 178 orang.
Persoalan mencuat karena laporan mandiri tangkapan ikan oleh nelayan atau pemilik kapal kerap tidak sesuai dengan data riil hasil tangkapan. Penyimpangan pelaporan data berpotensi menghambat transformasi tata kelola perikanan nasional, merugikan penerimaan negara, dan mengancam populasi ikan. Mekanisme pelaporan mandiri sepatutnya diikuti dengan verifikasi dan validasi laporan data hasil tangkapan kapal nelayan.
Penyimpangan pelaporan data berpotensi menghambat transformasi tata kelola perikanan nasional, merugikan penerimaan negara, dan mengancam populasi ikan.
Hingga pertengahan September 2023, modus pelanggaran untuk menghindari PNBP, antara lain, kapal mendaratkan ikan bukan di pelabuhan pangkalan yang ditetapkan, manipulasi laporan data hasil tangkapan ikan, serta manipulasi ukuran kapal. Masih banyak kapal ikan berukuran 30 gros ton (GT) belum mengurus migrasi perizinan dari izin pemda ke izin pemerintah pusat. Sebab, beralih izin ke pemerintah pusat berarti terkena pungutan PNBP.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, dari jumlah kapal motor berukuran 10-30 GT, sebanyak 33.140 unit yang memperoleh izin provinsi, ditengarai 30 persen atau 11.000 unit di antaranya merupakan kapal berukuran di atas 30 GT yang seharusnya mengurus izin ke pemerintah pusat.
Di tengah persoalan penerapan PNBP pascaproduksi, muncul tarik-menarik di kalangan pelaku usaha yang menghendaki PNBP praproduksi kembali diberlakukan meski dulu pelaksanaannya juga sempat diprotes karena memberatkan. Ibarat menghalau tikus di lumbung padi, yang dibutuhkan adalah menangkap tikusnya, bukan membakar lumbungnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Nelayan menurunkan ikan tuna hasil pancingannya di TPI Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, Kamis (8/6/2023).
Hasil diagnosis efektivitas tata kelola perikanan yang dirilis Ocean Solutions Indonesia menyebutkan, ada delapan aspek utama yang menghambat tata kelola perikanan di Indonesia. Kendala itu antara lain data dan informasi perikanan jauh dari memadai sehingga sulit dijadikan basis kebijakan strategis, aktor perikanan tidak solid antara lain karena kendala komunikasi dan ”trust” serta kesiapan infrastruktur dan sistem rantai dingin yang tidak memadai.
Hambatan lainnya, kebijakan kurang strategis yang ditandai proses konsultasi publik tidak ideal, program penangkapan ikan terukur tidak siap, dan tekanan PNBP yang kurang realistis. Selain itu, kapasitas dan tata kelola pekerja perikanan tidak memenuhi standar, praktik penangkapan ikan ilegal belum terkendali, serta kendala akses, pembiayaan, dan perlindungan aset.
Penerapan PNBP pascaproduksi yang merupakan bagian dari pembenahan tata kelola perikanan wajib ditopang penguatan infrastruktur pelabuhan dan pengawasan.
Penerapan PNBP pascaproduksi yang merupakan bagian dari pembenahan tata kelola perikanan wajib ditopang penguatan infrastruktur pelabuhan dan pengawasan. Nelayan juga perlu didampingi untuk mengelola perikanan lebih efisien. Buat apa skema baru digulirkan jika persoalan klasik tak mampu teratasi, kucing-kucingan pemilik kapal dengan aparat, dan pelanggaran yang melibatkan oknum aparat.
Polemik pungutan hasil perikanan hanya dapat diatasi dengan tata kelola yang solid. Ini dapat terwujud melalui pembenahan infrastruktur, sumber daya manusia, sistem pendataan yang transparan, pendampingan yang melekat, dan pengawasan yang akurat. Kita menantikan pembenahan tata kelola demi perikanan yang berkelanjutan.