”Quo Vadis” Kebijakan Perikanan Tangkap
Angka produksi perikanan tangkap selama ini sepertinya hanya angka asumsi semata untuk pelaporan kinerja kementerian, bukan angka riil karena tidak sinkron sama sekali dengan kapasitas penangkapan ikan nasional.
Enam tahun sudah berlalu sejak tulisan saya ”Paradoks Kebijakan Tuna” diterbitkan Kompas (3/12/2016). Namun, kondisi yang disoroti di tulisan itu sampai saat ini tak banyak berubah. Tak banyak perbaikan.
Pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas masih sangat minim, terutama di Samudra Pasifik, yang kuota bigeye tuna 5.889 ton masih belum dimanfaatkan secara optimal dan terancam diambil alih negara lain. Ironisnya, Indonesia justru mengimpor 5.300 ton bigeye tuna selama 2018-2021.
Jenis alat tangkap kapal Indonesia yang terdaftar di Samudra Pasifik—Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC)— purse seine pelagis besar dan pole and line masih tak sinkron untuk menangkap bigeye tuna.
Ukuran kapal penangkap ikan di laut lepas juga masih tetap kerdil, rata-rata di bawah 130 gros ton (GT). Padahal, beberapa peraturan kontraproduktif, seperti surat edaran Dirjen Perikanan Tangkap yang membatasi kapal maksimal 150 GT dan larangan transhipment, sudah dicabut dan dinyatakan tak berlaku lagi tahun 2020.
Langkah itu tak mampu mendorong investasi kapal penangkap ikan di laut lepas dengan ukuran yang memadai.
Baca juga : Penangkapan Ikan Terukur Dijadwalkan pada 2023
Pelaku usaha penangkapan ikan tuna yang pernah mengoperasikan kapal dengan ukuran sekitar 500 GT sudah kapok berinvestasi kembali karena trauma dengan kebijakan efek jera yang langsung mematikan usaha seketika, tetapi dampaknya menimbulkan ketidakpastian hukum karena tak ada perlindungan investasi.
Saran untuk mengisi kekosongan ZEEI oleh nelayan Indonesia sendiri diabaikan. Bahkan muncul kebijakan kontraproduktif yang baru, dengan menaikkan ratusan persen harga patokan ikan dan produktivitas demi ambisi meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) perikanan.
Di sisi lain, tarif pungutan hasil perikanan (PHP) yang diskriminatif dan menghambat usaha penangkapan ikan skala besar tetap dipertahankan. Tarif PHP untuk kapal di atas 60 GT yang dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan untuk kapal di bawah 60 GT akan mendorong lebih banyak lagi kapal yang berukuran mini.
Jumlah kapal penangkap ikan nasional yang tercatat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) per 7 November 2021 ada 46.533 unit. Ini terdiri atas tiga jenis perizinan: 12,87 persen izin pusat (kapal di atas 30 GT), 27,51 persen izin provinsi (10-30 GT) dan terpadat izin kabupaten/kota 59,62 persen (di bawah 10 GT).
Artinya, dari sisi jumlah unit kapal yang aktif, selama ini penangkapan ikan nasional terpadat ada di jalur I yang jangkauan wilayah penangkapan sampai dengan 4 mil. Wilayah terpadat kedua izin provinsi di jalur II, dengan jangkauan 4-12 mil. Jalur III di atas 12 mil, relatif tidak terlalu padat.
Artinya, kapal ikan Indonesia memang jago kandang, terbukti dari jalur penangkapan ikan nasional yang terpadat 82,49 persen ada di wilayah teritorial.
Produksi melampaui kuota
Kapasitas penangkapan ikan nasional dihitung dari jumlah GT nasional dikalikan dengan rata-rata ukuran kapal nasional. Total kapasitas penangkapan yang merupakan kemampuan produksi menangkap ikan nasional selama ini tak sampai 1 juta GT. Sangat jomplang dengan data produksi perikanan tangkap yang 7,4 juta ton.
Akibatnya, indeks produktivitas per GT yang lebih dari 700 persen sangat absurd. Sebaliknya, volume ekspor yang berasal dari perikanan tangkap sangat minim, 0,74 juta ton.
Stok ikan seharusnya sudah habis jika angka produksi melampaui angka potensi.
Jika dibandingkan data produksi perikanan tangkap laut tahun 2020 dengan kuota penangkapan ikan terukur di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP), telihat ada keanehan karena angka produksi melampaui jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sampai dengan 165 persen. Ini terjadi di WPP 571, 712, 713, dan 715. Bahkan, di WPP 712 dan 715 produksinya 109 persen melampaui angka estimasi potensi sumber daya ikannya.
Keanehan ini menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan penangkapan ikan terukur yang berbasis kuota (output control) dapat dilaksanakan dengan baik karena di beberapa WPP angka produksinya sudah melampaui angka JTB. Bahkan, ada yang melampaui angka estimasi potensi sumber daya ikan.
Stok ikan seharusnya sudah habis jika angka produksi melampaui angka potensi. Angka produksi perikanan tangkap selama ini sepertinya hanya angka asumsi semata untuk pelaporan kinerja kementerian, bukan angka riil karena tidak sinkron sama sekali dengan kapasitas penangkapan ikan nasional.
Tangkapan tuna dunia
Hasil tangkapan tuna Indonesia yang dilaporkan ke Regional Fisheries Management Organization (RFMO) selalu menduduki peringkat pertama dari sisi produksi (hasil tangkapan).
Samudra Pasifik merupakan area tangkapan tuna yang sangat penting bagi distant waterfishing nations/negara-negara yang memanfaatkan sumber daya di luar wilayah teritorial karena sekitar 68 persen hasil tangkapan tuna dunia dari Samudra Pasifik di bawah otoritas pengelolaan WCPFC.
Hasil tangkapan Indonesia di Samudra Pasifik selalu menduduki peringkat teratas dengan tingkat produktivitas fantastis 24.000 persen (240 kali lipat).
Cara menghitung produktivitas, membagi jumlah hasil tangkapan dengan jumlah kapasitas GT kapal. China, Jepang, dan Taiwan menduduki peringkat tiga besar dari sisi kapasitas penangkapan ikan tuna di Samudra Pasifik dengan indeks produktivitas di bawah 250 persen (2,5 kali lipat). Bahkan produktivitas kapal tuna China relatif rendah, yakni 0,17.
Ironisnya, dari sisi kapasitas penangkapan ikan, peringkat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, hanya peringkatke-26.
Ironisnya, dari sisi kapasitas penangkapan ikan, peringkat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, hanya peringkatke-26. Kalah jauh dibandingkan negara-negara small island development states (SIDs), seperti Vanuatu dan Mikronesia yang masuk 10 besar. Bahkan, ukuran kapal penangkap ikan milik Nauru dan Papua Niugini rata-rata di atas 1.200 GT, sepuluh kali lipat lebih besar dibanding rata-rata kapal Indonesia.
Di wilayah pengelolaan Indian Ocean Tuna Commission- Samudra Hindia, produksi (hasil tangkapan) tuna Indonesia menduduki peringkat pertama dengan produktivitas 844 persen (8,44 kali lipat). Jumlah kapal yang terdaftar 593 unit dengan ukuran rata-rata 106 GT, relatif mini dibandingkan Seychelles 711 GT.
Dari sisi kapasitas penangkapan ikan, Indonesia menduduki peringkat ke-8 di 2020.
Tak sinkron dengan produksinya yang peringkat pertama. Berdasarkan data terkini, awal November 2022 jumlah kapal aktif Indonesia di Samudra Hindia 617 unit, melampaui jumlah kapal yang terdaftar 593 unit. Jadi ada 24 unit kapal aktif saat ini yang belum authorized di IOTC, dan harus dilakukan sinkronisasi agar tak masuk kategori penangkapan ikan ilegal.
Indeks produktivitas kapal Indonesia di CCSBT relatif normal, relatif rendah, hanya 0,10. Hasil tangkapan Southern Bluefin Tuna (SBT) Indonesia peringkat ketiga setelah Jepang dan Australia. Dari sisi kapasitas penangkapan di CCSBT Indonesia peringkat lima dengan ukuran rata-rata kapal 83 GT, relatif mini dibandingkan Spanyol, Jepang, atau Taiwan.
Indeks produktivitas kapal penangkap ikan anggota CCSBT relatif rendah karena mayoritas menggunakan kapal rawai tuna, di samping sumber daya SBT yang jumlahnya lebih sedikit dan habitatnya lebih dalam dibandingkan jenis ikan tuna lain. Afrika Selatan menduduki peringkat pertama produktivitas, yakni 1,07, tertinggi di antara negara anggota CCSBT.
Bukan akibat BBM
Pada 28 Juli 2022, media massa memberitakan sekitar 2.000 kapal penangkap ikan menghentikan kegiatan operasi akibat kenaikan harga BBM. Namun, jika melihat fakta perkembangan jumlah surat izin penangkapan ikan (SIPI), pemilik kapal ikan ternyata sudah menghentikan kegiatan operasi penangkapan ikan jauh hari sebelum kenaikan harga BBM.
Jumlah SIPI aktif kapal di atas 30 GT yang awalnya terca- tat 5.108 (20/9/2021) merosot menjadi 3.235 (5/1/2022). Walaupun kemudian terjadi anomali jumlah SIPI yang tiba-tiba melonjak hampir dua kali lipat menjadi 6.213 (5/7/2022), lonjakan ini lebih disebabkan masuknya alat tangkap baru seperti jaring tarik ikan berkantong (eks kapal cantrang) yang sebelumnya tidak terdaftar.
Di sisi lain, jumlah surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) sejak akhir 2021 merosot drastis 87 persen, hingga hanya tersisa 53 per 22 September 2022.
Di sisi lain, jumlah surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) sejak akhir 2021 merosot drastis 87 persen, hingga hanya tersisa 53 per 22 September 2022. Ini juga indikator bahwa kapal pengangkut ikan terpaksa juga menghentikan operasinya karena jumlah ikan tak memadai, sehingga tidak layak operasi.
Namun, anomalinya, pada 7 November 2022 terjadi lonjakan jumlah SIKPI dalam waktu relatif singkat hingga 10 kali lipat menjadi 543. Ini menimbulkan tanda tanya besar. Kenaikan/penurunan jumlah SIPI dan SIKPI merupakan indikator penting untuk mengukur kapasitas penangkapan ikan dan kapal pengangkut ikan yang aktif, sekaligus mengendalikan pengelolaan sumber daya ikan.
Faktanya, penurunan jumlah SIPI dan SIKPI sudah terjadi sejak awal 2022, jauh hari sebelum kenaikan harga BBM. Karena itu, ini harus dicari penyebabnya. Ibarat dokter, KKP harus melakukan analisis mendalam penyebab sakitnya. Jangan hanya mengatasi gejala penyakit pasien (nelayan) dan salah deteksi sehingga justru membahayakan jiwa pasien.
Pembenahan data produksi harus segera dilakukan dan harus sesuai hasil tangkapan riil sehingga perlu diverifikasi lagi agar sinkron dengan kapasitas penangkapan ikan nasional.
Data produksi, yang berasal dari wilayah teritorial dan yang dilaporkan ke RFMO, harus masuk akal.
Kebanggaan atas angka produksi perikanan tangkap yang hanya tinggi di atas kertas akan percuma dan tidak akan berdampak positif bagi kemajuan sektor riil perikanan tangkap.
Konsep penangkapan ikan terukur dimaksudkan agar penangkapan ikan tak berlebih. Namun, jika itu mengesampingkan proses peningkatan kapasitas penangkapan, sebaiknya dikaji ulang karena akan sangat berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya ikan nasional.
Kebijakan pengelolaan sumber daya ikan harus diterapkan dengan prinsip kehati-hatian dan mengacu pada kapasitas penangkapan yang ada saat ini. Jika kapasitas penangkapan akan ditingkatkan, harus dibuat peta jalannya secara bertahap dan diawasi perkembangannya untuk menjaga keberlanjutan.
Kekosongan ZEEI dan minimnya pemanfaatan di laut lepas harus menjadi prioritas KKP. Calon investor penangkapan ikan di laut lepas membutuhkan kepastian hukum, juga faktor pendorong agar mau berinvestasi. Ukuran kapal penangkap ikan yang memadai dengan teknologi penangkapan ikan modern merupakan keniscayaan agar poros maritim dunia dapat diwujudkan.
Sudah saatnya pembuat kebijakan berbalik arah, jangan memunggungi Samudra Pasifik sebagai area utama tangkapan tuna dunia.
Indonesia sebagai negara dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia seharusnya malu dengan jumlah dan ukuran kapal Indonesia yang kalah jauh dari negara-negara kecil yang masuk kategori SIDs.
Sudah saatnya pembuat kebijakan berbalik arah, jangan memunggungi Samudra Pasifik sebagai area utama tangkapan tuna dunia. Untuk mewujudkannya, perlu terobosan kebijakan yang business friendly, termasuk dengan memformulasikan kembali secara proporsional tiga komponen PNBP perikanan agar pelaku usaha penangkapan ikan tergerak memanfaatkan laut lepas, terutama kuota bigeye tuna di Samudra Pasifik. Semoga.
Hendra SugandhiKetua Bidang Peternakan dan Perikanan Apindo