Mekanisme PNBP itu masih rawan penyimpangan dalam pelaporan data dan kepatuhan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan skema pungutan hasil perikanan dari praproduksi menjadi pascaproduksi dinilai perlu ditopang kesiapan infrastruktur dan pengawasan memadai. Sejumlah celah pelanggaran masih berpotensi terjadi.
Terhitung mulai Januari 2023, pemerintah memberlakukan penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pungutan hasil perikanan (PHP) pascaproduksi bagi kapal penangkap ikan yang memperoleh izin dari pemerintah pusat. PNBP itu dikenakan untuk setiap volume ikan yang ditangkap pada setiap trip penangkapan ikan. Sebelumnya, sistem PNBP pungutan hasil perikanan dipungut praproduksi. PNBP praproduksi mewajibkan pelaku usaha membayar tarif PNBP di depan, untuk periode setahun ke depan.
Sekretaris Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Jakarta Muhammad Bilahmar, Kamis (14/9/2023), di Jakarta, mengemukakan, penerapan PNBP pascaproduksi berlaku sejak awal tahun ini. Namun, hasil tangkapan ikan nelayan sangat fluktuatif, bergantung cuaca dan musim tangkapan. Saat musim ikan, nelayan mendapat untung besar dan mampu membayar PNBP. Sebaliknya, sewaktu paceklik ikan, nelayan bisa merugi dan sulit membayar PNBP. Penerapan PNBP dinilai perlu ditopang dengan pendampingan terhadap nelayan untuk manajemen perikanan.
Nakhoda ataupun pemilik kapal dengan manajemen yang baik umumnya memiliki catatan buku kerja kapal, data musim tangkapan, dan pola migrasi ikan. Dengan demikian, pemilik kapal mampu memprediksi volume tangkapan dalam setahun, waktu yang baik untuk melaut, serta untung atau rugi dengan tarif PNBP yang dikenakan.
”Sewaktu pendapatan bagus, keuntungan melimpah bisa disisihkan untuk masa paceklik ikan. Saat hasil trip merosot dan merugi, ya jangan dulu melaut supaya tidak terbebani pungutan. Harus ada pendampingan nelayan untuk manajemen perikanan,” ujarnya.
Di sisi lain, Bilahmar menyoroti skema pelaporan mandiri hasil tangkapan oleh nelayan sebagai dasar pengenaan tarif PNBP pascaproduksi. Data elogbook yang dilaporkan selama ini lebih ke estimasi hasil produksi. Setelah mendarat, nelayan akan menimbang sendiri di kapal dan dilaporkan, untuk selanjutnya diverifikasi pihak pelabuhan. Skema pelaporan mandiri itu dinilai rawan penyimpangan data yang dilaporkan sehingga perlu mekanisme verifikasi data hasil tangkapan yang efektif.
”Verifikasi yang efektif diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran dalam pelaporan data hasil tangkapan hingga permainan oknum aparat. Kesiapan infrastruktur pelabuhan diperlukan agar PNBP perikanan disertai dengan validasi data yang dilaporkan setiap kapal,” ujarnya.
Penarikan pungutan hasil perikanan tersebut memberi kesempatan kepada pelaku usaha kapal perikanan melaporkan sendiri tangkapan ikannya. Meski demikian, praktik ”kucing-kucingan” masih dilakukan nelayan untuk menghindari pungutan PNBP pascaproduksi.
Sebelumnya, perseteruan terjadi antara nelayan dan Syahbandar Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Dufa-dufa (Kompas, 13/9/2022). Perseteruan itu dipicu nelayan Kapal Inka Mina 992 mendaratkan ikan di Pasar Dufa-dufa, bukan di PPI Dufa-Dufa seperti disyaratkan dalam surat izin penangkapan ikan Inka Mina 992. Akibatnya, syahbandar tidak menerbitkan surat persetujuan berlayar (SPB). Pelanggaran itu dilakukan untuk menghindari pembayaran PNBP pascaproduksi yang dirasa memberatkan karena hasil melaut tak cukup menutup ongkos operasional.
Kesiapan infrastruktur pelabuhan diperlukan agar PNBP perikanan disertai dengan validasi data yang dilaporkan setiap kapal. (Muhammad Bilahmar)
Keluhan serupa disampaikan Ketua Koperasi Santo Alvin Pratama, Hermanto, yang kapalnya berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate. Sebelum skema baru ini berlaku, kapal itu dibebani pembayaran PNBP Rp 35 juta. Namun, kini, jika tiap kapal melaut sepuluh kali dalam sebulan dan dipotong PNBP Rp 1 juta setiap melaut, dalam setahun total PNBP yang harus dibayarkan Rp 120 juta.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga pertengahan September 2023, di Maluku Utara tercatat 48 kapal perikanan yang dimiliki individu, koperasi, ataupun kelompok usaha bersama di pelabuhan pangkalan yang menerapkan PNBP pascaproduksi. Adapun Kapal Inka Mina 992 berukuran 37 GT tercatat telah melakukan 21 trip dengan besaran PNBP pascaproduksi Rp 12,2 juta. Sebelum skema baru, kapal itu tercatat membayar pungutan PNBP praproduksi Rp 33,93 juta per tahun.
Sementara, kapal Inka Mina 286 berukuran 33 GT yang dikelola Koperasi Perikanan Santo Alvin Pratama tercatat melakukan 22 trip dengan pungutan PNBP pascaproduksi sebesar Rp 16,87 juta. Sebelum skema baru, kapal itu membayar pungutan PNBP praproduksi Rp 30,26 juta per tahun.
Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate, Kamarudin, menilai, PNBP pascaproduksi berbanding lurus dengan hasil tangkapan nelayan, yakni semakin kecil hasil tangkapan, maka pungutan semakin kecil, dan sebaliknya. Kapal Inka Mina yang merupakan kapal bantuan dari pemerintah seharusnya mampu memberikan contoh kepatuhan terhadap aturan pemerintah terkait PNBP.
Tarif PNBP pascaproduksi juga sudah memperhitungkan ongkos produksi nelayan, dengan harga acuan ikan lebih rendah dibandingkan harga jual. Dicontohkan, harga jual cakalang Rp 20.000 per kg, tetapi harga acuan ikan dipatok Rp 9.500 per kg.
”Dengan metode PNBP pascaproduksi, pembayaran pungutan sesuai dengan hasil tangkapan nelayan. Namun, masih ada oknum-oknum yang bisa dikatakan malas membayar PNBP dan tidak mau mematuhi aturan,” kata Kamarudin.
Transisi
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Agus Suherman, mengemukakan, masa transisi pungutan PNBP praproduksi ke pascaproduksi sedang berlangsung. Masa transisi dan transformasi itu masih membutuhkan sosialisasi, verifikasi data, dan pengawasan guna menekan celah pelanggaran.
Ia menilai, penerapan PNBP pascaproduksi lebih adil dibandingkan praproduksi karena nelayan atau pelaku usaha perikanan tangkap membayar pungutan sesuai dengan jumlah tangkapan yang didaratkan pada pelabuhan pangkalan yang ditetapkan. Akibatnya, nelayan tidak terdesak untuk mengejar hasil tangkapan sebanyak-banyaknya demi menutup operasional dan biaya PNBP.
”Nelayan mendaratkan ikan baru bayar (PNBP) sesuai hasil tangkapan sehingga tidak perlu lagi mengejar-ngejar cari ikan. Lebih slow. Ini akan mendorong keberlanjutan sumber daya dan pengambilan ikan yang berkualitas,” ujar Agus.
Di sisi lain, Agus menambahkan, pelaporan data hasil tangkapan oleh nelayan kerap ditemukan tidak sesuai dengan data riil tangkapan. Terkait itu, pemerintah melakukan verifikasi data hasil tangkapan yang dilaporkan nelayan. Apabila ditemukan data yang tidak rasional ataupun ketidaksesuaian data yang dilaporkan dengan data riil hasil tangkapan, pemerintah akan mengajukan tambahan pembayaran kepada pemilik kapal tersebut.