Sejumlah Masalah Hambat Daya Saing Perikanan Indonesia
Strategi dan inovasi perlu diterapkan untuk mendorong perikanan berkelanjutan yang berdaya saing. Sejumlah hambatan di sektor perikanan harus dibenahi.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya Indonesia untuk mendorong perikanan berkelanjutan dan berdaya saing, baik perikanan budidaya maupun tangkap, masih dihadang sejumlah persoalan. Hambatan itu mulai dari pencurian ikan, basis data dan pengawasan yang lemah, biaya produksi tinggi, hingga sinergi usaha hulu-hilir yang belum optimal.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Suherman mengemukakan, sumber daya laut Indonesia yang berlimpah telah mendorong maraknya pencurian dan penangkapan ikan ilegal. Sementara itu, pengawasan masih terbatas dan sumber daya manusia untuk pengawasan juga belum optimal.
”Dia (kapal pencuri ikan) tahu waktu-waktu tidur dan istirahat pengawas, serta mengetahui armada pengawas tidak mampu menembus ombak tinggi sehingga di saat itulah dia masuk,” kata Agus dalam Kongres Ikatan Sarjanan Perikanan Indonesia (Ispikani) ke-9 dan Seminar Nasional ”Strategi dan Inovasi untuk Mendukung Perikanan Berkelanjutan” secara hibrida, di Jakarta, Sabtu (16/9/2023).
Meski demikian, kata Agus, praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing) sebagian besar dilakukan oleh kapal-kapal di dalam negeri. Pelanggaran di antaranya terkait perizinan. Dari jumlah kapal motor berukuran 10-30 gros ton (GT) yakni 33.140 unit yang memperoleh izin provinsi, ditengarai 30 persen atau 11.000 unit di antaranya kapal berukuran di atas 30 GT yang seharusnya mengurus izin ke pemerintah pusat.
Selain itu, alih muatan kapal (transshipment) masih terjadi di tengah laut. Upaya mencegah pelanggaran memerlukan pembenahan tata kelola dan pendataan. Migrasi kapal perikanan dengan izin daerah untuk beralih ke izin pemerintah pusat memberikan kesempatan pelaku usaha untuk memperbaiki data dan izin usaha.
”Terkait tata kelola, masih banyak praktik IUU Fishing berasal dari pelaku domestik. Banyak kapal perikanan belum terdata. Ini terus kita benahi,” ujarnya.
Agus menambahkan, perizinan kapal perikanan akan terus dibenahi dengan proses yang semakin mudah. Penguatan pengawasan juga terus dilakukan melalui koordinasi Badan Keamanan Laut dengan seluruh instansi pengawasan untuk mencegah dan menangkap pelaku pencurian ikan.
Pemerataan investasi
Ketua Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (Ispikani) Sulawesi Tengah Hasanuddin Atjo menilai, tantangan daya saing Indonesia tidak lepas dari kondisi negara kepulauan yang minim konektivitas. Selama ini, hilirisasi produk perikanan terpusat di Jawa, sedangkan sentra produksi berada di luar Jawa. Biaya logistik yang tinggi melemahkan daya saing. Pembenahan tata kelola perikanan dinilai perlu ditunjang efisiensi biaya logistik, serta sinergi hulu-hilir produksi.
”Kita mahal di ongkos logistik. Diperlukan investasi yang lebih merata ke lima pulau besar di Indonesia,” ujar Hasanuddin.
Di sektor budidaya udang, Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara produsen, seperti Ekuador dan India, yang didominasi wilayah kontinental sehingga ongkos logistik lebih murah dan biaya produksi lebih efisien. Dibandingkan Indonesia, harga pokok produksi udang di Ekuador lebih murah 0,7 dollar AS per kilogram, sementara India lebih murah 0,5 dollar AS per kg, dan Vietnam lebih murah 0,3 dollar AS per kg.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP TB Haeru Rahayu menambahkan, KKP mengusung program kerja berlandaskan ekonomi biru dengan lima komoditas utama, yakni udang, lobster, kepiting, nila, dan rumput laut. Program kerja itu fokus dalam pemenuhan produksi, induk unggul, dan benih bermutu.
Ia menilai, ketimpangan daya saing komoditas udang Indonesia terhadap Ekuador, India, dan Vietnam, dipicu rata-rata produktivitas tambak udang di Indonesia yang masih rendah, yakni hanya 0,6 ton per hektar per siklus. Pemerintah sedang mendorong budidaya udang dengan teknologi intensif dengan produktivitas mencapai 40 ton per ha per siklus.
Penguatan hilirisasi perikanan, menurut Direktur PT Bumi Menara Internusa Aris Utama, perlu memastikan keberlanjutan sumber daya. Kelebihan yang dimiliki Indonesia adalah negara ini memiliki sumber daya besar. Potensi untuk mengejar ketertinggalan daya saing dengan negara-negara pesaing masih terbuka. Oleh karena itu, diperlukan orkestrasi hulu-hilir perikanan.
Di usaha budidaya udang, penerapan cara budidaya yang baik perlu terus didorong bagi petambak intensif berskala besar dan petambak tradisional. Selama ini, pemerintah dinilai cenderung lebih memperhatikan tambak intensif dan kurang perhatian terhadap petambak tradisional yang jumlahnya besar.
Menurut Aris, tidak seluruh tambak udang perlu diarahkan untuk intensifikasi. Tambak udang skala intensif dinilai cocok untuk petambak yang kaya modal tetapi miskin lahan. Adapun tambak tradisional diterapkan oleh petambak yang miskin modal tetapi kaya lahan.
”(Budidaya intensif dan tradisional) Perlu sama-sama didorong untuk berbudidaya dengan cara yang baik. Cari benih yang bagus, dan penyiapan lahan yang baik. Pengembangan tambak disesuaikan dengan kondisi masing-masing, tidak perlu semua (diarahkan) intensifikasi,” tutur Aris.
Sementara itu, Ketua Dewan Profesi dan Pakar Ispikani Luky Adrianto mengemukakan, Indonesia perlu fokus pada pengembangan komoditas unggulan. Peningkatan produktivitas dan daya saing perlu ditunjang riset yang memadai. Saat ini, ada kecenderungan negara kurang melakukan riset usaha dalam pengembangan usaha budidaya. Dicontohkan, budidaya lobster hingga kini masih tertinggal karena negara kurang sabar melakukan riset usaha yang membutuhkan waktu.