Tumpang tindih klasifikasi jenis usaha antarkementerian hingga masalah perizinan masih menjadi momok investasi usaha perikanan. Investasi perikanan hingga kini masih minim.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investasi di sektor kelautan dan perikanan dinilai masih minim. Dampaknya, target pemerintah untuk mendongkrak ekspor perikanan dikhawatirkan sulit tercapai. Pelaku usaha mengeluhkan hambatan regulasi dan perizinan.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, selama triwulan I (Januari-Maret) 2022, realisasi investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) di bidang usaha perikanan hanya menempati peringkat ke-22, dengan nilai investasi Rp 140,1 miliar untuk 268 proyek, sedangkan penanaman modal asing (PMA) menempati urutan ke-23 atau terbawah dengan nilai investasi 1,2 juta dollar AS untuk 67 proyek.
Ketua Umum Asosiasi Produsen, Pengolahan, dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo mengemukakan, pengembangan industri perikanan masih terganjal hambatan iklim investasi, yakni persoalan regulasi dan perizinan yang berbelit serta denda atau sanksi administratif yang dinilai memberatkan.
Perizinan usaha dinilai masih tumpang tindih meski Presiden Joko Widodo telah mendorong penyederhanaan perizinan. Proses penyederhanaan perizinan untuk tambak udang, dari 22 perizinan menjadi 3 perizinan, hingga kini jalan di tempat. Aturan yang berubah juga memberikan ketidakpastian bagi dunia usaha. Pihaknya berharap lintas kementerian dan lembaga bisa bersinergi untuk mendorong kemudahan iklim investasi di sektor perikanan.
”Permasalahan utama adalah penyederhanaan perizinan yang tidak mudah. Muncul kesan, hambatan perizinan ini akibat ego sektoral lintas kementerian,” kata Budhy saat dihubungi, Selasa (26/7/2022).
Di samping itu, pelaku usaha merasa terbebani dengan denda atau sanksi administratif yang besar terkait pelanggaran. Sementara pendampingan untuk pelaku usaha masih cenderung minim. Kendala ini menurunkan minat investasi. Padahal, untuk bisa mendorong ekspor perikanan, diperlukan kecukupan bahan baku yang perlu ditopang oleh peningkatan investasi di sektor hulu (produksi).
Dicontohkan, denda untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terkait pelanggaran kegiatan usaha pembenihan dan pembesaran ikan yang tidak memenuhi standar mencapai 7,5 persen dari modal usaha. Pihaknya berharap ketentuan PNBP itu dapat ditinjau ulang.
”Aturan ini akan membuat investor takut berinvestasi di perikanan. Selain PNBP besar, ancaman dendanya sangat menakutkan,” tambah Budhy.
PNBP sektor perikanan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Alan F Koropitan sebelumnya menyoroti sektor perikanan Indonesia yang hingga kini belum bisa menembus 10 besar eksportir perikanan dunia. Ia menilai, seluruh pemangku kepentingan sektor perikanan perlu fokus dan bersinergi agar Indonesia mampu mencetak sejarah baru masuk dalam 10 besar pengekspor ikan dunia.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2022, Indonesia menduduki peringkat ke-2 dunia sebagai produsen perikanan budidaya (akuakultur) dan peringkat ke-2 sebagai produsen perikanan tangkap untuk tahun 2020 setelah China. Meski demikian, Indonesia belum pernah masuk dalam 10 besar eksportir perikanan dunia.
Menurut Alan, dalam periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo tahun 2019-2024, terdapat 100 janji Presiden yang termasuk dalam program prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dari 100 janji tersebut, enam terkait sektor kelautan dan perikanan, di antaranya pengembangan industri prioritas nasional, seperti industri kelautan/maritim untuk menciptakan nilai tambah dan menyerap lapangan kerja, serta mendorong investasi infrastruktur pendukungnya.
Selain itu, pengembangan pangan laut yang berkelanjutan, termasuk perlindungan nelayan untuk kemudahan akses bahan bakar minyak serta perlindungan pembudidaya ikan guna menopang produksi perikanan. ”Ujung-ujungnya kita menginginkan peningkatan ekspor. Ini membutuhkan kerja bersama,” ujarnya dalam ”Forum Hukum Tahun 2022: Dukungan Regulasi dalam Mencapai Program Prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan”.
Alan menambahkan, masih terdapat irisan 29 klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang tumpang tindih antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan kementerian lain. Tumpang tindih itu memerlukan eskalasi penyelesaian di tingkat menteri.
Hal senada dikemukakan Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Elen Setiadi. Masih ada tumpang tindih dengan sektor lain untuk KBLI yang hingga kini belum tuntas. Bahkan, ada beberapa tumpang tindih persyaratan antarkementerian/lembaga walaupun berada dalam satu KBLI.
”Diperlukan keputusan penyelesaian di tingkat kementerian,” ujarnya.
Elen menambahkan, realisasi investasi kelautan dan perikanan masih rendah. Diperlukan evaluasi untuk mendorong industri perikanan yang punya potensi ekonomi agar lebih meningkat. Persoalan kemudahan perizinan memerlukan sinergi pusat dan daerah.
”Ini perlu menjadi evaluasi, industri kelautan dan perikanan yang punya potensi untuk berkembang agar potensinya ditangkap lebih tinggi sehingga meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan lapangan kerja,” katanya.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Nunuy Nur Afiah berpendapat, perizinan berusaha masih terkendala biaya besar, lamanya waktu proses penerbitan izin, dan birokrasi berbelit. Setelah dua tahun terdisrupsi akibat pandemi Covid-19, perlu upaya mendorong proses investasi.
”Perlu simplifikasi agar proses penerbitan izin tidak memakan waktu lama sehingga harapannya bisa menarik tenaga kerja yang terdampak Covid-19,” ujarnya.