FAO: Harga Beras Dunia Capai Titik Tertinggi dan Perdagangannya Diperkirakan Turun
Harga beras dunia mencapai level tertinggi dalam 15 tahun terakhir pada Agustus 2023. Di sisi lain, FAO juga memperkirakan stok dan perdagangan beras dunia turun masing-masing 435.000 ton dan 600.000 ton pada 2023.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menyebutkan, harga beras dunia mencapai level tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Lembaga tersebut juga memperkirakan stok dan perdagangan beras dunia turun masing-masing 435.000 ton dan 600.000 ton pada 2023.
Hal itu mengemuka dalam dua laporan FAO terkait dengan Indeks Harga Pangan dan Pasokan-Permintaan Serealia per Agustus 2023 yang dirilis pada Jumat (8/9/2023) di Roma, Italia, waktu setempat. FAO menyebutkan, Indeks Harga Pangan pada Agustus 2023 sebesar 121,4 atau turun 2,1 persen secara bulan.
Penurunan indeks itu mencerminkan penurunan harga sejumlah komoditas, seperti susu, minyak nabati, daging, dan serealia yang termasuk gandum. Namun, di sisi lain, ada kenaikan harga beras dan gula.
FAO menyebutkan, Indeks Harga Beras pada Agustus naik 9,8 persen secara bulanan mencapai angka tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Harga beras pecah 5 persen, terutama yang berasal dari Vietnam, pada Agustus 2023 mencapai 624,25 dollar AS per ton atau Rp 9,57 juta per ton, melonjak 62,25 persen secara tahunan. Lima belas tahun lalu, tepatnya Mei 2008, harga beras itu pernah mencapai titik tertinggi, yakni 996 dollar AS per ton.
FAO menyebutkan, Indeks Harga Beras pada Agustus naik 9,8 persen secara bulanan mencapai angka tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Harga beras pecah 5 persen, terutama yang berasal dari Vietnam, pada Agustus 2023 mencapai 624,25 dollar AS per ton atau Rp 9,57 juta per ton, melonjak 62,25 persen secara tahunan.
Hal itu mencerminkan gangguan perdagangan yang terjadi setelah India melarang ekspor sejumlah beras jenis tertentu pada Juli 2023. Selain itu, kenaikan harga beras juga dipengaruhi sentimen negatif pasar terhadap berkurangnya pasokan beras lantaran kekeringan panjang akibat El Nino.
FAO memperkirakan stok beras dunia pada akhir tahun pemasaran 2023/2024 turun sebesar 435.000 ton. Kendati begitu, stok tersebut masih akan mencapai titik tertinggi sepanjang masa, yakni 198,1 juta ton atau naik 1,4 persen dibandingkan 2022/2023.
Hampir tiga perempat stok beras dunia 2023/2024 dikuasai China dan India. Adapun stok negara-negara selain China dan India diperkirakan akan turun ke level terendah dalam empat tahun terakhir menjadi 51,4 juta ton.
FAO juga memproyeksikan, perdagangan beras internasional pada 2023 dan 2024 turun masing-masing 600.000 ton dan 3 juta ton, terhitung sejak Juli 2023. Hal itu sebagian besar merupakan dampak dari peningkatan pembatasan ekspor beras yang dilakukan India, eksportir beras terbesar di dunia.
”Pelaku pasar beras khawatir terhadap ketersediaan beras secara musiman serta ketidakpastian durasi larangan ekspor beras India dan pembatasan akan diperluas ke jenis beras lain. Hal itu membuat mereka menahan stok, menegosiasi ulang kontrak, dan berhenti memberikan penawaran harga sehingga membatasi sebagian besar perdagangan pada volume kecil dan penjualan yang telah diselesaikan sebelumnya,” sebut FAO.
Hal itu membuat pelaku pasar beras menahan stok, menegosiasi ulang kontrak, dan berhenti memberikan penawaran harga sehingga membatasi sebagian besar perdagangan pada volume kecil dan penjualan yang telah diselesaikan sebelumnya.
Dalam laporannya itu, FAO juga berharap India segera melonggarkan larangan ekspor jenis beras tertentu serta memastikan durasi pembatasan itu. India juga diminta tidak memperluas larangan ke jenis-jenis beras yang lain.
Selain beras, FAO juga mencatat, Indeks Harga Gula pada Agustus 2023 mencapai 148,2 atau naik 1,3 persen secara bulanan. Kenaikan harga gula dunia itu terutama dipicu meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak El Nino terhadap prospek produksi global. Curah hujan di bawah rata-rata pada Agustus 2023 berdampak buruk pada pengembangan tanaman tebu dan produksi gula di India dan Thailand.
Namun, harga gula tersebut tidak terlalu melambung tinggi lantaran Brasil akan panen tebu dalam jumlah besar. Selain itu, pelemahan nilai tukar real Brasil terhadap dollar AS dan rendahnya harga etanol turut berkontribusi menahan kenaikan harga gula.
Peneliti Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah, Sabtu (9/9/2023), berpendapat, meskipun indeks harga pangan FAO turun, harga beras dan gula dunia naik cukup signifikan. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada Indonesia yang merupakan negara pengimpor beras dan gula.
Penyebab utama kenaikan harga beras dan gula dunia adalah kekeringan akibat El Nino. Namun, khusus beras, kenaikan harganya juga turut dipengaruhi larangan ekspor beras oleh India.
”Indonesia yang saat ini tengah membutuhkan tambahan cadangan beras pemerintah (CBP) melalui impor bakal terbebani kenaikan harga beras. Situasi ini juga akan memberikan dampak psikologis terhadap pelaku perberasan di Indonesia,” katanya.
Indonesia yang saat ini tengah membutuhkan tambahan cadangan beras pemerintah (CBP) melalui impor bakal terbebani kenaikan harga beras. Situasi ini juga akan memberikan dampak psikologis terhadap pelaku perberasan di Indonesia.
Sementara itu, lanjut Rusli, kenaikan harga gula dunia juga bakal berdampak terhadap industri makanan-minuman di Indonesia. Selama ini, kebutuhan gula mentah yang merupakan bahan baku gula rafinasi untuk industri tersebut sebagian besar dipenuhi melalui impor. Hal ini bisa memicu kenaikan produk makanan olahan dan berujung pada inflasi.
Hingga kini, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (NFA) dan Perum Bulog tengah berupaya tetap menambah CBP melalui impor setelah batal mengimpor beras dari India. NFA menargetkan CBP pemerintah pada awal 2024 minimal bisa mencapai 1,2 juta ton.
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi mengatakan, CBP di Bulog memang akan berkurang 640.000 ton dari 1,52 juta ton menjadi 880.000 ton. Namun, pemerintah akan menambah CBP itu sebanyak 650.000 ton.
”Dari jumlah itu, 400.000 ton akan didatangkan dari Vietnam dan Thailand. Sementara untuk 250.000 ton akan diimpor dari Kamboja. Untuk beras impor dari Kamboja, kami akan segera menjajaki dan membuat nota kesepahaman dengan pemerintah dan pelaku perberasan di sana,” ujarnya.
Adapun terkait dengan serapan di dalam negeri, lanjut Arief, tetap akan dilakukan pelan-pelan dan tidak secara masif. Pasalnya, jika Perum Bulog menyerap secara masif, harga akan naik lagi karena GKP di tingkat petani terbatas. NFA juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk terus mendorong peningkatan produksi beras (Kompas, 8/9/2023).