Masyarakat mempertanyakan stasiun pengisian daya untuk kendaraan listrik yang masih bersumber dari batubara. Selain itu, kendaraan listrik tak mengurangi kemacetan di jalan raya.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
KOMPAS/LUKI AULIA
Seorang pengunjung membuka pintu dan mencoba merasakan interior mobil konsep Mitsubishi, ek X EV, yang ditampilkan dalam GIIAS 2023 di Tangerang, Banten, Rabu (16/8/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Berdasar studi Center of Economic and Law Studies atau Celios tentang program pengembangan kendaraan listrik di Indonesia, sebagian publik masih mempertanyakan efektivitas program ini. Selain masih belum mampu mengatasi kemacetan di jalan raya, kendaraan listrik tak optimal mengurangi emisi selama sumber energi primernya adalah pembangkit listrik tenaga uap yang membakar batubara.
Dalam penelitian Celios melalui media monitoring pada periode 1 November 2022 sampai 1 Mei 2023, ditemukan bahwa mayoritas berita daring memberitakan perubahan iklim dan subsidi kendaraan listrik. Dari 2.271 berita yang dipublikasikan lima portal media daring, isu yang paling banyak diangkat adalah tentang mobil listrik dan kendaraan listrik dengan porsi masing-masing 24 persen dan 22 persen.
”Yang menjadi perbincangan dalam narasi itu (di media daring dan media sosial), sebagian masyarakat masih skeptis. Misalnya, buat apa beli mobil listrik jika menambah kemacetan,” ujar Direktur Celios Bhima Yudhistira dalam diskusi publik ”Menuju Transisi Energi: Pesan Rakyat untuk Presiden Masa Depan” yang diselenggarakan secara daring, Selasa (5/9/2023).
Selain itu, imbuh Bhima, masyarakat mempertanyakan stasiun pengisian daya untuk kendaraan listrik yang masih bersumber dari batubara. Ada pula laporan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat terkait praktik kotor dalam pengolahan nikel (bahan baku baterai kendaraan listrik) yang ternyata berdampak buruk bagi lingkungan.
”Jadi, masyarakat memang perlu diedukasi bahwa menggunakan kendaraan listrik bisa jadi bukan sebuah transisi yang permanen atau diharapkan. Justru (berpotensi) menambah masalah baru dan mungkin solusinya malah transportasi publik,” kata Bhima.
Masyarakat masih menganggap skema pembelian kendaraan listrik belum efektif. Selain itu, salah satu yang jadi sorotan utamanya adalah sumber energi untuk kendaraan listrik yang ternyata masih disokong batubara.
Peneliti Institute for Policy Development, Rizki Ardinanta, dalam acara yang sama, menambahkan, respons terhadap berita tentang kendaraan listrik masih berupa kritik. Masyarakat masih menganggap skema pembelian kendaraan listrik belum efektif. Selain itu, salah satu yang jadi sorotan utamanya adalah sumber energi untuk kendaraan listrik yang ternyata masih disokong batubara.
Daya beli
Menurut data Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli), penjualan sepeda motor listrik pada 2019-2022 sebanyak 30.837 unit. Untuk mobil listrik, data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan, penjualan kendaraan listrik dalam negeri sebanyak 6.958 unit pada Januari hingga Juli 2023.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara berpendapat, daya beli masyarakat Indonesia untuk membeli mobil masih berkisar Rp 200 juta-300 juta. Mobil listrik dengan harga di atas harga tersebut dinilai masih memberatkan mereka. Dari data Gaikindo pula, tak sampai 1 persen masyarakat Indonesia yang mampu membeli mobil dengan harga di atas Rp 500 juta.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pengemudi taksi Blue Bird mengisi daya taksi listrik di stasiun pengisian kendaraan listrik umum di garasi Blue Bird, Mampang, Jakarta Selatan, Senin (23/7/2023). Saat ini, Blue Bird mengoperasikan 180 taksi listrik yang merupakan komitmen perusahaan tersebut untuk turut mengurangi emisi karbon.
”Ini teknologi baru, masyarakat juga masih bertanya-tanya. Pembeli kendaraan listrik saat ini rata-rata keuangannya longgar, memang punya uang. Mereka bukan first time buyer, jadi punya 2-3 mobil lain,” ucap Kukuh.
Dari data Gaikindo pula, tak sampai 1 persen masyarakat Indonesia yang mampu membeli mobil dengan harga di atas Rp 500 juta.
Proses transisi dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik, imbuhnya, berkaitan dengan perilaku serta daya beli masyarakat. Ia berharap pemerintah tak memaksakan masyarakat untuk membeli mobil listrik. Sebaiknya masyarakat dibiarkan bergerak secara alamiah untuk bertransisi. Jangan sampai banyak biaya yang sudah digelontorkan untuk subsidi kendaraan listrik, tetapi ternyata program transisi energi belum terlalu berhasil.
”Jadi, biarkan saja masyarakat serta pihak pabrik untuk kampanye sendiri. Ada persaingan pasar sendiri. Jadi, enggak usah pemerintah mengeluarkan duit, (karena) kalau masyarakat senang, pasti dibeli,” ujarnya.