Tekan Polusi Udara, Kementerian ESDM Dorong Transportasi Hijau
Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dan motor listrik konversi diyakini bisa mengurangi polusi udara dan emisi gas rumah kaca. Kementerian ESDM mendorong pemakaian bahan bakar nabati serta kendaraan listrik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Suasana menjelang pelepasan ASEAN Green Transport Rally di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Minggu (20/8/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendorong transportasi hijau, seperti penggunaan bahan bakar nabati dan konversi dari sepeda motor bahan bakar minyak ke listrik. Hal itu diyakini dapat mengurangi emisi gas rumah kaca serta polusi udara, termasuk di Jabodetabek, yang belakangan menjadi sorotan.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan, campuran biodiesel sebesar 35 persen dengan solar (B35) di Indonesia merupakan solar dengan campuran bahan bakar nabati yang tertinggi di dunia. Sementara campuran bioetanol sebesar 5 persen dengan bensin (E5) sudah mulai diterapkan di beberapa stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Surabaya dan Jakarta.
”Sekarang banyak (dibahas) tentang polusi udara dan sebagian besar disumbang oleh transportasi. Jadi, (penggunaan bahan bakar nabati) ini penting untuk mengurangi emisi dan polusi,” ujar Yudo di sela-sela peluncuran ASEAN Green Transport Rally di Kementerian ESDM, Jakarta, Minggu (20/8/2023).
Yudo melepas konvoi delapan mobil yang mencakup mobil listrik, hibrida, dan berbahan bakar B40. Delapan mobil itu berangkat dari Jakarta menuju Bali yang sekaligus menjadi salah satu rangkaian Forum Bisnis Energi ASEAN (ASEAN Energy Business Forum/AEBF). Kegiatan itu digelar sejalan dengan pertemuan menteri-menteri energi negara-negara ASEAN (Ministers on Energy Meeting/AMEM) pada 24-25 Agustus 2023.
Berdasarkan ASEAN Energy Outlook ke-7 Tahun 2020-2050, transportasi merupakan salah satu sektor dengan konsumsi energi terbesar di Asia Tenggara, terutama produk bahan bakar fosil. Hal itu menjadi masalah karena ASEAN merupakan pengimpor bersih (net importer) minyak bumi, yakni sekitar 182 juta ton setara minyak (Mtoe) pada tahun 2020. Sementara pada 2050, permintaan energi diperkirakan meningkat 3 kali lipat.
”Banyak cara untuk mencapai NZE (emisi nol bersih pada tahun) 2060 atau lebih cepat, tetapi yang penting sesuai karakter Indonesia. Kita memiliki sumber daya sawit yang produksinya berlebih. Untuk listrik pun kita pelan-pelan menggeser ke energi hijau sesuai dengan target NZE 2060. Ke depan akan lebih banyak (pembangkit) energi surya,” kata Yudo.
Sementara itu, program konversi sepeda motor berbahan bakar minyak (BBM) ke listrik juga dipercepat, terlebih ada insentif Rp 7 juta per unit kendaraan dengan kuota 50.000 unit pada 2023 dan 150.000 unit pada 2024. Saat ditanya progres realisasi program tersebut, Yudo tak menjawab. Namun, ia meyakini kuota 50.000 unit konversi dapat tersalurkan hingga akhir 2023.
”Karena ini program besar, kami juga sedang menangani value chain (rantai nilai)-nya. Mudah-mudah cepat, tetapi (soal) target 50.000 unit, kami yakin tahun ini (terlaksana), dengan upaya-upaya percepatan. (Ini) masih awal dan kami masih akan menggenjot di paruh kedua (2023),” tambah Yudo.
Beberapa pekan terakhir, kualitas udara di wilayah Jabodetabek terdeteksi buruk. Sejumlah faktor penyebabnya, antara lain, kemarau panjang tiga bulan terakhir hingga aktivitas industri di Jabodetabek, terutama yang menggunakan batubara di sektor industri manufaktur. Pemerintah menyiapkan sejumlah langkah dalam jangka pendek, menengah, dan panjang untuk memperbaiki kualitas udara. (Kompas.id, 14/8/2023)
Kurangi impor
Direktur Eksekutif ASEAN Centre for Energy (ACE) Nuki Agya Utama menuturkan, ASEAN Energy Business Forum di Bali menjadi bagian dari interkonektivitas negara-negara di Asia Tenggara. Selain terkait ketenagalistrikan, interkonektivitas juga ditempuh melalui pengembangan bioenergi dan kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
”Kami harapkan, ke depan akan menjadi sebuah kebiasaan bagi Asia Tenggara dalam mengedepankan transportasi hijau. Ini untuk mengurangi impor, karena ASEAN merupakan kawasan net importer minyak. Apabila kita (Indonesia) mengurangi itu, pasti subsidi (BBM) berkurang yang berarti juga mengurangi beban APBN,” ujar Nuki.
Pelaksana Tugas Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kabul Wijayanto menuturkan, pihaknya terus mendukung pemanfaatan sawit sebagai bahan bakar nabati. Penggunaan biodiesel dari sawit juga merupakan bentuk hilirisasi industri yang didorong agar tercipta peningkatan nilai tambah di dalam negeri.
Stiker ASEAN Green Transport Rally terpasang pada kendaraan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Minggu (20/8/2023).
Selain itu, pemanfaatan bahan bakar nabati pun dinilai efektif dalam mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor minyak sawit mentah (CPO) serta pengurangan bahan bakar fosil. ”Kami terus mendukung penggunaan energi terbarukan, yang salah satunya dari sawit. Juga terkait dengan riset-risetnya,” ujar Kabul.