Walhi: Jangan Korbankan Pihak Lain demi Tekan Polusi Udara
Hadirnya kendaraan listrik yang menggunakan nikel sebagai salah satu bahan baku utama baterainya itu melahirkan persoalan turunan di beberapa wilayah lain di Indonesia.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya dengan transisi percepatan penggunaan kendaraan listrik oleh masyarakat dinilai bukan merupakan solusi yang tepat. Hal ini disebabkan, tambang nikel yang digunakan untuk membuat baterai kendaraan listrik dapat merusak lingkungan, menciptakan konflik masyarakat, hingga menghilangkan ruang hidup masyarakat di sekitar pertambangan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk memimpin penanganan polusi udara Jakarta pada Senin (28/8/2023).
Luhut pun memiliki sejumlah cara dalam menangani isu polusi udara. Di antaranya mempercepat penggunaan kendaraan listrik, melakukan uji emisi kendaraan, pembuatan mist generator dan hujan buatan, hingga penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di tempat industri.
Akan tetapi, Ketua Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta Muhammad Aminullah, Minggu (3/9/2023), mengkritik sejumlah langkah yang akan dilakukan Luhut, seperti soal kendaraan listrik dan uji emisi.
Peralihan kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik dinilai tidak menyelesaikan persoalan pencemaran udara. Solusi ini hanya akan memindahkan sumber pencemar dari kendaraan bermotor dan menambah beban polusi udara dari fasilitas PLTU batubara.
Hadirnya kendaraan listrik yang menggunakan nikel sebagai salah satu bahan baku utamanya itu juga telah melahirkan persoalan turunan di beberapa wilayah lain di Indonesia. Persoalan tersebut meliputi kerusakan lingkungan, hilangnya ruang penghidupan masyarakat, serta konflik akibat merebaknya tambang nikel di beberapa daerah.
”Jangan sampai membersihkan udara di Jakarta dengan cara merusak lingkungan di wilayah lain. Jangan ambil solusi yang mengorbankan pihak lain. Apalagi yang tidak ada kaitannya dengan Jakarta,” kata Aminullah.
Pada beberapa wilayah, tambang nikel sudah melahirkan konflik bagi masyarakat, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Dari hulunya, pembuatan kendaraan listrik sudah merusak ekosistem dan merugikan masyarakat. Pemilihan solusi ini belum tentu bisa mengatasi polusi udara, tetapi sudah pasti merusak lingkungan.
Aminullah mengatakan, di Pesisir Bungku, Sulawesi Tengah, nelayan tradisional kehilangan pendapatan karena pendangkalan pesisir akibat tambang nikel. Adapun di Maluku Utara, masyarakat Desa Kawasi harus kehilangan sumber mata air dan mengalami pencemaran sungai akibat ekspansi tambang nikel.
”Nikel merupakan salah satu bahan baku utama dalam pembuatan kendaraan listrik. Dari hulunya, pembuatan kendaraan listrik sudah merusak ekosistem dan merugikan masyarakat. Pemilihan solusi ini belum tentu bisa mengatasi polusi udara, tetapi sudah pasti merusak lingkungan,” katanya.
Walhi mencatat, hingga tahun 2022, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan izin konsesi penambangan nikel seluas 1.037.435 hektar lahan. Dari total konsesi tersebut, 765.237 hektar konsesi berada dalam Kawasan hutan yang berpotensi mengalami deforestasi.
Menurut Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, Fanny Tri Jambore, ada berbagai cara yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk bisa menciptakan ekosistem kendaraan listrik tanpa merusak lingkungan. Salah satunya dengan tidak memberikan izin konsesi besar-besaran untuk pertambangan nikel.
Fanny melanjutkan, pemerintah seharusnya tidak memasukkan wilayah hutan dan kawasan pesisir ke dalam wilayah konsesi pertambangan agar tidak menimbulkan masalah baru, terutama keselamatan masyarakat sekitar. Ia mencatat sudah banyak masyarakat yang terdampak akibat adanya pertambangan nikel tersebut.
Terkait penanganan polusi udara, Luhut meminta semua pihak tidak saling menyalahkan. Dia mengatakan, upaya mengatasi polusi memerlukan waktu.
Solusi yang terlambat
Pemberlakuan tilang bagi kendaraan tak lolos uji emisi juga merupakan solusi penanganan polusi udara yang tengah digencarkan pemerintah.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai, uji emisi kendaraan yang digencarkan saat ini merupakan solusi yang terlambat. Padahal, masalah polusi udara sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Meski aturan uji emisi kendaraan bermotor sudah ada sejak dulu, pemerintah tidak cukup serius menerapkannya.
”Padahal, uji emisi sangat penting untuk mencegah polusi udara. Kendaraan yang tidak memenuhi standar emisi akan mengeluarkan polutan lebih banyak dan bisa berdampak buruk bagi kualitas udara,” katanya.
Meskipun begitu, Achmad juga mengatakan, kebijakan ini hanyalah solusi jangka pendek. Uji emisi kendaraan bukan solusi komprehensif untuk mengatasi polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.
Pemberlakuan tilang bagi kendaraan yang tidak lolos uji emisi memang cara yang baik untuk mendisiplinkan masyarakat. Namun, hal itu tidak akan memberi efek jera jika masyarakat tidak memiliki alternatif kendaraan lain.
Menurut Achmad, masih banyak masyarakat yang bergantung pada kendaraan pribadi untuk mobilitas sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain kurangnya alternatif transportasi publik yang memadai.
Hal serupa juga dikatakan Aminullah. Ia menilai, pemerintah sebaiknya menangani masalah kendaraan dari hulunya, yakni sistem transportasi publik yang bisa menjangkau semua orang. Pemerintah dinilai perlu menyediakan angkutan massal untuk mengantar masyarakat ke titik transit di titik yang belum tersedia layanan transportasi umum.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya menindak 66 kendaraan pada hari pertama pelaksanaan tilang uji emisi, Jumat (1/9/2023). Persentase untuk kendaraan yang terkena tilang uji emisi masing-masing 15 persen untuk sepeda motor dan mobil.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sebanyak 33 dari 248 mobil yang diperiksa dinyatakan tidak lulus uji emisi. Begitu halnya untuk sepeda motor, yakni sebanyak 33 dari 223 sepeda motor dinyatakan tidak lulus uji emisi.
Pelanggar bakal didenda maksimal Rp 250.000 untuk sepeda motor dan Rp 500.000 untuk mobil. Aturan itu merujuk pada Pasal 285 ayat 1 dan Pasal 286 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.