Prosedural pendanaan dan kepentingan negara donor dalam program JETP di Indonesia menjadi tantangan. Di dalam negeri, urusan birokrasi dan landasan hukum terkait program transisi energi juga perlu dibereskan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Operator sedang membersihkan debu yang berada di atas modul sel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Kamis (10/8/2023). Pembersihan debu merupakan bagian dari pemeliharaan PLTS agar bisa berfungsi dengan optimal.
Komitmen pendanaantransisi energi di Indonesia melalui program Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) sebagai bentuk kepercayaan negara-negara maju pada Indonesia. Namun, implementasinya penuh risiko dan tantangan, baik dari sisi Indonesia sebagai penerima dan pelaksana program maupun dari negara-negara pendonor.
JETP, dengan komitmen pendanaan senilai 20 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 300 triliun, mematok sejumlah target yang telah disepakati dalam pernyataan bersama (joint statement). Di antaranya ialah puncak emisi sebesar 290 juta ton karbondioksida dan 34 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer kelistrikan nasional pada tahun 2030.
Namun, sejumlah risiko dan tantangan mengintai, sebagaimana dalam laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics. Laporan itu diluncurkan dan diserahkan ke Sekretariat JETP pada awal Agustus 2023 serta diharapkan menjadi masukan demi terwujudnya program transisi energi yang berkeadilan.
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Novia Xu, dalam diskusi terkait tantangan dan risiko JETP, di Jakarta, Selasa (22/8/2023), mengatakan, struktur pasar kelistrikan di Indonesia menjadi salah satu tantangan utama. Berdasarkan aturan yang ada, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjadi pembeli dan penjual listrik tunggal di Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, untuk divestasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), misalnya, semua akan bergantung pada PLN. ”Itu bisa menjadi batasan implementasi pengembangan energi terbarukan. Misalnya, PLN mengatakan tak bisa menghitung nilai keekonomian energi terbarukan karena masih terikat kontrak dengan PLTU-PLTU yang ada,” kata Novia.
Tantangan berikutnya adalah surplus pasokan daya listrik pada jaringan Jawa-Bali dan Sumatera-Bangka. Hal itu tak lepas dari melesetnya pertumbuhan ekonomi jauh di atas realisasi serta elastisitas penjualan listrik terhadap ekonomi tidaklah 1 banding 1. Misalnya, pertumbuhan ekonomi 5 persen tak serta-merta permintaan listrik juga meningkat 5 persen.
Risiko dan tantangan JETP berikutnya yaitu terkait porsi dana hibah (grant) yang kecil. Dari angka yang sempat mengemuka, porsi dan hibah hanya 0,8 persen dari total komitmen, atau sekitar 160 juta dollar AS. ”Padahal, Indonesia sangat memerlukan hibah atau yang tidak akan masuk ke dalam beban APBN,” ucap Novia.
Selain itu, penyediaan dana di tiap-tiap negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) atau pendonor JETP bergantung pada mekanisme bantuan luar negeri mereka. Persetujuan politik di negara-negara tersebut berpengaruh terhadap kelancaran rencana pendanaan.
Landasan komitmen
Sejumlah tantangan lain dalam JETP di antaranya terkait tata kelola dalam pelaksanaan program itu serta diperlukannya landasan komitmen atas kemitraan itu. Saat ini, landasan terkait yaitu terbatas pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
”Kedudukan perpres tidak cukup kuat untuk mengawal implementasi JETP, terutama rentan pascapergantian pemerintahan,” ujar Novia.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjuk rasa dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Kamis (4/5/2023). Dalam aksi tersebut, Walhi memprotes peningkatan investasi dan pembangunan proyek-proyek gas di seluruh wilayah di Asia yang diperkirakan mencapai lebih dari 350 miliar dollar AS.
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri menambahkan, negara-negara maju memiliki kapasitas yang lebih baik. Maka, program kemitraan JETP pun merupakan manifestasi negara-negara maju tersebut terkait pengembangan energi terbarukan.
”Namun, kita bisa lihat ada banyak interest (kepentingan), baik dari negara-negara maju itu sendiri maupun dari negara penerima (termasuk Indonesia). Ini yang membuat tidak nyambung. Bahkan pada tingkat persiapan pun bisa menjadi masalah dalam menyinkronkan itu,” ucap Yose.
Sementara itu, dalam diskusi dan diseminasi temuan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Yayasan Indonesia Cerah terkait JETP, diketahui dari kerangka regulasi, masih ada celah terkait pelindungan pekerja. Padahal, kata just (adil) berada di depan dalam JETP. Oleh karena itu, rencana pengakhiran dini PLTU batubara serta pembangunan pembangkit energi terbarukan perlu benar-benar disertai mitigasi dampak pada tenaga kerja ataupun masyarakat di area tapak PLTU.
”Bicara JETP, maka just (adil) harus muncul karena itu berarti melindungi masyarakat terdampak. Jadi, tidak hanya berbicara aspek komersial atau investasinya,” ujar peneliti PSHK Giri Ahmad Taufik.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Produk catu daya untuk kendaraan listrik dalam pameran teknologi energi hijau Solartech Indonesia 2023 yang berlangsung di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023).
Adapun Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang sedianya diluncurkan ke publik pada 16 Agustus 2023, kemudian diundur. Sekretariat JETP menyerahkan draf ke Pemerintah Indonesia dan IPG untuk diulas terlebih dulu. Menurut rencana juga akan digelar konsultasi publik, sebelum diluncurkan menjelang akhir 2023.
Partisipasi publik
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, meminta pemerintah melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya dalam forum konsultasi CIPP JETP. Selain itu, agar lebih transparan sehingga program bersifat inklusif, berkeadilan, dan menguntungkan negara serta masyarakat.
”Kita tidak mau didikte oleh pihak luar terkait kebijakan ketahanan energi nasional kita. Sebab, energi hijau yang kita butuhkan adalah energi yang murah dan terjangkau masyarakat sehingga introduksi energi hijau tidak membebani mereka,” kata Mulyanto dalam keterangannya, Jumat (18/8/2023).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menuturkan, publik berkesempatan mengulas dokumen CIPP secara utuh. Selain itu, publik juga dapat memberikan masukan dan tanggapan untuk dipertimbangkan dalam revisi final dokumen CIPP.