Jangan sampai negara maju hanya mengalihkan beban tanggung jawab pengurangan emisi untuk mencegah krisis iklim kepada kita dan negara berkembang lain.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Realisasi komitmen pendanaan dari negara maju yang terbatas dan minimnya porsi hibah jadi salah satu ganjalan terbesar percepatan transisi energi di Indonesia.
Masalah pendanaan ini pula, antara lain, yang membuat pemerintah menunda peluncuran Dokumen Perencanaan dan Kebijakan Investasi Komprehensif Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (JETP). Menurut Wakil Ketua Sekretariat JETP Paul Butar-butar, pemerintah masih butuh waktu untuk menegosiasikan isi dokumen dan mematangkan berbagai aspek dalam program JETP, termasuk pendanaan (Kompas, 24/8/2023).
Di satu sisi, kita melihat dukungan setengah hati negara maju, yang pada KTT G-20 di Bali menjanjikan komitmen pendanaan 20 miliar dollar AS untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Faktanya, dari jumlah itu, hanya bagian sangat kecil yang berupa hibah, yakni sekitar 300 juta dollar AS.
Komponen terbesar tetap utang, yang jika tak hati-hati dikhawatirkan bisa jadi jebakan baru bagi negara berkembang. Hal ini yang membuat kalangan masyarakat sipil mendesak pemerintah lebih terbuka terkait komposisi pendanaan negara maju ini. Komitmen setengah hati negara maju ini memunculkan ketidakpastian baru terkait upaya percepatan pemensiunan pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kita.
Dalam kaitan Perjanjian Paris, Indonesia menyampaikan target kontribusi penurunan emisi (NDC) pada tahun 2030 sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional. Butuh 281 miliar dollar AS untuk mencapai target ini. Artinya, jika terealisasi sepenuhnya pun, komitmen dukungan negara maju di JETP tak sampai menutup 10 persen dari kebutuhan. PT PLN bahkan menyebut angka kebutuhan pembiayaan transisi energi yang lebih besar lagi, yaitu 500 miliar dollar AS.
Indonesia sangat berkepentingan target ini bisa dicapai, bukan hanya karena hal itu sudah jadi komitmen di COP, melainkan juga karena ketergantungan pada energi fosil selama ini sangat membebani keuangan negara. Subsidi BBM dan listrik yang harus dibayarkan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Kita tentu sangat mendukung upaya pemerintah menegosiasikan formula pendanaan transisi energi yang menguntungkan bagi kita. Jangan sampai negara maju hanya mengalihkan beban tanggung jawab pengurangan emisi untuk mencegah krisis iklim kepada kita dan negara berkembang lain.
Kalaupun utang, harus pinjaman konsesional dengan persyaratan yang tak memberatkan. Kita juga harus mampu memaksimalkan opsi pembiayaan lain, terutama perdagangan karbon. Jangan sampai peluang lewat hanya karena kita tidak siap, padahal potensi, mekanisme, dan pasarnya sudah ada.
Untuk memastikan kebijakan transisi ini mampu menjamin ketahanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi nasional dalam jangka panjang, regulasi dan ekosistem kebijakan juga harus mendukung. Demikian pula komitmen kuat dari semua pihak: pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dukungan dan keterlibatan aktif masyarakat dari bawah, termasuk dengan mendorong berbagai inisiatif pembangkit energi berbasis masyarakat, jadi kunci berhasilnya program ini.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO