Dibutuhkan kepemimpinan dan komitmen yang kuat untuk membawa Indonesia merespons dampak perubahan iklim lewat program transisi energi yang adil. Dukungan semua pihak juga penting.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA, ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Operator membersihkan debu yang berada di atas modul sel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya Gili Trawangan Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Kamis (10/8/2023) lalu. Pembersihan debu merupakan bagian dari pemeliharaan PLTS agar bisa berfungsi dengan optimal.
Di tengah suhu terik Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada Kamis (10/8/2023) sekitar pukul 12.00 Wita, Agus Ahyani (36) dan Basirun (25) keluar dari ruang kontrol dengan mengenakan alat pelindung diri lengkap. Masing-masing dari mereka juga membawa sapu bulu bertangkai panjang. Dengan alat itu, mereka menjangkau setiap sisi panel-panel surya untuk menghilangkan debu yang menempel.
Setelah memastikan satu panel sel surya bersih dari debu, mereka bergeser ke panel berikutnya dan mengulang hal serupa. Sesekali mereka beristirahat di gazebo kecil di sisi timur Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Gili Trawangan itu. Semakin siang, sinar matahari di salah satu pulau kecil di Lombok itu semakin terik dan menyengat.
Usai membersihkan panel sel surya, mereka tidak langsung bersantai, tetapi melanjutkan tugas. Ada yang ke ruang kontrol untuk mencatat beban dan lainnya, ada juga yang kembali berkeliling area panel surya yang banyaknya lebih dari 3.000 unit itu.
”Kami juga memeriksa apakah ada kerusakan pada panel surya. Jika ada, misalnya oksidasi atau berkarat, kami lepas dan solder ulang,” kata Mei Fadli (33), operator PLTS Gili Trawangan lainnya.
Saat para operator PLTS Gili Trawangan sibuk dengan panel surya, sekitar 35 kilometer timur laut dari Gili Trawangan, Zulkarnain (38) dan Samsul Hadi (24) berboncengan dengan sepeda motor menuju pintu pengambilan (intake) Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Santong di Lombok Utara.
Mereka harus melewati jalan tanah di sisi jalur air setiap hari untuk memeriksa kondisi pintu masuk air yang dibendung dari aliran Sungai Sidutan itu. Jika ada sampah, keduanya harus turun dan menyelam untuk membersihkan.
Setelah selesai, mereka tidak langsung ke pembangkit, melainkan ke head tank, sekitar 230 meter di atas pembangkit atau 1,7 kilometer dari intake. Di sana, mereka kembali menyingkirkan sampah-sampah yang tertahan di penyaring sebelum area penampungan terakhir itu. ”Sekarang sedang musim kemarau, jadi lebih banyak dedaunan. Kalau musim hujan, saat air besar, bisa sampai gelondongan yang harus dibersihkan,” kata Zulkarnain.
Sandya Herawan selaku Team Leader Pemeliharaan PLN Unit Pelaksana Pembangkit Lombok Tanjung (Lombok Utara) mengatakan, apa yang dilakukan operator di PLTS Gili Trawangan dan PLTMH Santong adalah bagian dari pemeliharaan rutin. Pemeliharaan berperan penting dalam menjaga umur pembangkit energi terbarukan itu bisa lebih panjang. Hal itu terbukti dari PLTS Gili Trawangan dan PLTMH Santong yang masih beroperasi hingga saat ini.
”Sudah 10 tahun lebih, tetapi performanya masih bagus. Sebab, ada PLTS di beberapa tempat di wilayah timur Indonesia sudah mengalami penurunan performa setelah beroperasi lima tahun,” ucap Sandya.
PLTS Gili Trawangan memiliki daya terpasang 600 kilowatt peak (kWp). Sementara PLTMH Santong yang beroperasi sejak 2014 memiliki daya terpasang 1.000 kilowatt (kW). PLTS Gili Trawangan dan PLTMH Santong adalah dua dari 18 pembangkit energi terbarukan di sistem kelistrikan Lombok dan Tambora (Sumbawa) yang terhubung dengan jaringan milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Manager PLN Unit Pelaksana Pembangkitan Lombok Anton Wibisono menambahkan, pengembangan pembangkit energi terbarukan tidak selamanya berjalan mulus. Menurut dia, ada tantangan dalam perjalanan mencapai target bauran energi terbarukan, misalnya intermitensi daya listrik atau keberlanjutan pasokan. ”PLTS, misalnya, tidak bisa mengatur kapan pasokan itu bisa terus berlanjut. Apalagi dalam satu tahun ada musim yang memengaruhi pancaran surya,” ujarnya.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Operator memeriksa inverter Pembangkit Listrik Tenaga Surya Gili Trawangan Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Kamis (10/8/2023) lalu.
Di lokasi PLTS berdiri, kata Sandya, juga terdapat tantangan yang lain. Di PLTS Gili Trawangan, misalnya, lokasi yang dekat pantai membuat komponen panel rentan oksidasi dan korosi. ”Gili juga daerah wisata. Di area sekitar PLTS, ada lahan milik perhotelan. Cukup susah untuk meminta agar pohon-pohon ditebang karena menutupi cahaya matahari ke modul atau panel surya,” ucapnya.
Selain itu, kerusakan panel surya juga kerap terjadi. Ada yang bisa diselesaikan langsung oleh operator, ada juga yang harus mendatangkan tim dari Lombok.
Sementara untuk PLTMH, debit air berkurang saat musim kemarau. Hal itu membuat beban mesin atau turbin berkurang. ”Seperti sekarang, musim kemarau. Debit air mulai surut sehingga daya yang bisa dibangkitkan turbin di PLTMH Santong turun hingga 50 persen,” kata Sandya.
Perlu dukungan
Anton mengatakan, PLN sangat concern mendukung pengembangan energi terbarukan di Tanah Air, termasuk di NTB. Namun, upaya mendukung target pemerintah mewujudkan nol emisi bersih pada 2060 atau lebih cepat tidak bisa dilakukan PLN sendirian. Unsur pemangku kepentingan lain, seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat, juga dibutuhkan kontribusinya.
Salah satu dukungan yang tengah digarap Pemerintah Provinsi NTB adalah menggandeng investor untuk berpartisipasi membangun pembangkit energi terbarukan di NTB. Niken Arumdati, Sekretaris Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral NTB, mengatakan, pihaknya tengah mendetailkan peta jalan pengembangan energi terbarukan di wilayah NTB.
”Peta jalan ini juga penting dalam rangka menarik minat investor dan lembaga donor,” ucapnya.
Indonesia boleh dibilang beruntung karena mendapat dukungan pendanaan program transisi energi bertajuk Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP). Dalam KTT G20 pada 2022 di Bali, sejumlah negara maju berkomitmen membantu pembiayaan program transisi energi senilai 20 miliar dollar AS.
Namun, dukungan tersebut tak serta-merta akan berjalan mulus. Masih ada tantangan ke depan yang butuh pemecahan. Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Novia Xu, dalam diskusi terkait tantangan dan risiko JETP di Jakarta, Selasa (22/8), mengatakan, ada perbedaan prioritas transisi energi Indonesia dengan negara-negara International Partners Group (IPG) atau donor JETP. Indonesia cenderung mengutamakan pembangunan transmisi energi andal, sedangkan IPG ingin mendukung penuh energi terbarukan variabel, seperti tenaga surya dan angin.
Risiko dan tantangan JETP berikutnya ialah terkait porsi dana hibah (grant) yang kecil. Dari angka yang sempat mengemuka, porsi dan hibah hanya 0,8 persen dari total komitmen atau hanya sekitar 160 juta dollar AS. ”Padahal, Indonesia sangat memerlukan hibah atau yang tidak masuk dalam beban APBN,” ujarnya.
Di balik semua tantangan yang ada tersebut, dibutuhkan figur kepemimpinan yang kuat dan komitmen tinggi untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Komitmen ini menyangkut kesungguhan dalam penyusunan kebijakan yang pro terhadap pembangunan hijau serta regulasi yang memudahkan dan menguntungkan semua pihak. Tanpa komitmen dan kepemimpinan yang kuat, program transisi energi sebagai bentuk respons terhadap perubahan iklim hanya akan menjadi program di atas kertas.