Target Ketersediaan Beras 2024 Dinilai Tidak Masuk Akal
Target pemerintah meningkatkan ketersediaan beras sebanyak 46,84 juta ton pada 2024 dinilai tidak masuk akal. Di sisi lain, El Nino akan menyebabkan musim tanam pertama mundur.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menggulirkan sejumlah target ketahanan pangan, terutama di bidang pertanian, pada 2024. Salah satunya adalah menargetkan ketersediaan beras sebanyak 46,84 juta ton. Target tersebut dinilai tidak masuk akal.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah mencantumkan target ketahanan pangan di bidang pertanian. Beberapa di antaranya adalah peningkatan ketersediaan beras nasional menjadi 46,84 juta ton, bawang merah 28.850 ton, bawang putih 524 ton, dan cabai 252.501 ton.
Pemerintah juga menargetkan food estate seluas 61.400 hektar terbangun di Kalimantan Tengah (Kalteng). Selain itu, produksi padi di Kalteng, Sumatera Selatan, dan Papua Selatan juga ditargetkan sebanyak 5,06 juta ton.
Produktivitas padi dan Indeks Pertanaman (IP) ditargetkan meningkat masing-masing 5,3 persen dan 5,0 persen per tahun. Selain itu, nilai tukar petani (NTP) juga ditargetkan meningkat di kisaran 105-108 dan nilai tambah per tenaga kerja pertanian bisa menjadi sebesar Rp 59,8 juta per orang per tahun.
Pemerintah menargetkan peningkatan ketersediaan beras nasional pada 2024 menjadi 46,84 juta ton, bawang merah 28.850 ton, bawang putih 524 ton, dan cabai 252.501 ton.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa, Rabu (23/8/2023), menilai, target ketersediaan beras sebanyak 46,84 juta ton pada 2024 tidak masuk akal. Hal itu disebabkan produksi beras pada 2015-2022 sudah stagnan dan cenderung turun 0,21 persen per tahun.
Produksi beras nasional rata-rata sebanyak 31 juta ton per tahun. Jika ditambah dengan surplus beras akhir tahun, stok yang ada di masyarakat, swasta, dan Perum Bulog, rata-rata ketersediaan beras nasional sekitar 35 juta ton.
”Apalagi tahun ini produksi beras bakal turun akibat dampak La Nina dan El Nino. Jadi, tidak mungkin jika dalam setahun, ketersediaan beras bisa langsung meningkat drastis menjadi 46,84 juta ton,” katanya ketika dihubungi dari Jakarta.
Dwi memperkirakan produksi beras tahun ini bakal turun 5 persen dibandingkan tahun lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi padi pada 2022 sebesar 54,75 juta ton atau setara 31,54 juta ton beras.
Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi padi sebesar 54,5 juta ton dan beras 34,19 juta ton. BPS memperkirakan, produksi beras pada Januari-September 2023 sebanyak 25,64 juta ton, turun dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar 26,17 juta ton.
Target ketersediaan beras sebanyak 46,84 juta ton pada 2024 tidak masuk akal.
Menurut Dwi, pengembangan food estate juga masih belum mampu menambah ketersediaan beras. Untuk menutup penurunan produksi tahun ini saja juga masih belum mampu, apalagi untuk mencapai target ketersediaan beras 46,84 juta ton pada tahun depan.
Target yang paling realistis pada tahun depan adalah NTP. Dwi optimistis NTP pada 2024 bisa di kisaran 105-108 asal pemerintah tetap menjaga harga gabah di tingkat petani seperti tahun ini.
"Selain itu, jangan sampai harga gabah petani tertekan gegara impor beras. Jika harga gabah turun di bawah harga pembelian pemerintah (HPP), pemerintah harus segera menyerapnya," ujarnya.
Sementara itu, sejumlah kalangan memperkirakan musim tanam (MT) I di sejumlah sentra produsen beras diperkirakan mundur karena dampak El Nino. Hal itu dapat memengaruhi ketersediaan beras di akhir tahun ini dan awal tahun depan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan El Nino di Indonesia akan berlangsung hingga Oktober 2023. Puncak kekeringan akan terjadi pada Agustus dan September 2023. Adapun musim hujan diperkirakan mulai terjadi pada November 2023 (Kompas, 22/8/2023).
Dwi Andreas yang juga Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) memperkirakan kekeringan akibat El Nino akan membuat MT I di sentra-sentra beras di Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah mundur pada November atau Desember 2023. Pemerintah perlu mengantisipasinya karena bakal berpengaruh pada stok beras awal tahun.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Demak Herry Sugiartono juga berpendapat senada. MT I di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, diperkirakan mundur karena musim kemarau bakal lebih panjang. Kendati pintu air Waduk Kedungombo bakal dibuka pada 15 September 2023, kemarau panjang bisa memperlambat laju air irigasi.
Sawah di daerah hulu irigasi waduk bisa tanam lebih dulu, yakni pada Oktober. Namun, sawah di daerah tengah dan hilir irigasi baru bisa tanam pada November dan Desember.
"MT I menjadi sangat tidak merata sehingga berpotensi memunculkan hama dan penyakit. Panen padi juga tidak bisa serentak sehingga bakal memengaruhi ketersediaan beras di akhir dan awal tahun," tuturnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Herry menambahkan agar MT I tidak mundur terlalu lama, pintu air Waduk Kedungombo bisa dibuka lebih awal, yakni pada akhir Agustus atau awal September 2023. Hal itu tentu saja dengan mempertimbangkan kecukupan air waduk untuk irigasi mengingat musim hujan diperkirakan baru terjadi mulai November 2023.
Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (NFA) menjamin ketersediaan beras hingga akhir tahun ini dan awal tahun depan. Stok beras di Bulog masih cukup, sedangkan produksi beras nasional pada akhir tahun diperkirakan masih surplus.
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menyatakan, stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog per 22 Agustus 2023 sebanyak 1,6 juta ton. Stok tersebut cukup untuk bantuan pangan 21,353 juta keluarga penerima manfaat (KPM) pada Oktober-Desember 2023 dan stabilisasi harga.
"CBP akan terus bertambah seiring penyerapan gabah atau beras yang terus dilakukan Bulog," ujar Arief.
Sementara dalam forum diskusi terarah bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Selasa (22/8/2023), Direktur Ketersediaan Pangan NFA Budi Waryanto mengatakan, merujuk pada prognosis ketersediaan pangan, neraca beras sampai akhir 2023 diproyeksikan surplus 7,6 juta ton. Hal itu mempertimbangkan estimasi realisasi produksi sesuai rencana dan impor beras sebesar 2,9 juta ton dapat terealisasi.