Waspadai Krisis Air Kala Kemarau Memuncak
Musim kemarau yang bersamaan dengan fenomena El Nino ditengarai menjadi penyebab utama kekeringan mulai Agustus ini.
Fenomena kekeringan di Indonesia mulai menghebat di bulan Agustus ini. Musim kemarau yang dikombinasikan dengan fenomena El Nino ditengarai menjadi penyebab utamanya. Upaya penanggulangan perlu diperkuat dengan langkah preventif untuk menghindari dampak krisis air yang berkepanjangan.
Sejumlah daerah di Indonesia dilanda kekeringan beberapa waktu belakangan ini. Masyarakat di daerah terdampak terancam mengalami krisis ketersediaan air bersih yang berkepanjangan. Selain itu, risiko kebakaran hutan dan lahan serta kelaparan berpotensi meningkat di daerah bersangkutan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, wilayah-wilayah yang rentan terhadap bencana kekeringan rata-rata berada di Indonesia bagian selatan. Daerah rawan tersebut meliputi seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, serta bagian selatan Sumatera, Kalimantan, Makassar, dan Papua. Curah hujan di daerah ini diperkirakan di bawah 50 milimeter per 10 hari (dasarian) selama sebulan ke depan.
Rendahnya curah hujan tersebut tak terlepas dari dimulainya puncak musim kemarau di sebagian besar daerah di Indonesia. Selain itu, terdapat fenomena iklim El Nino yang memicu cuaca panas ekstrem pada Agustus-Oktober 2023.
Baca juga : Kekeringan Ekstrem Landa Empat Kabupaten di NTT
El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal di kawasan Samudra Pasifik bagian tengah. Pemanasan ini dapat menimbulkan pertumbuhan awan di area tersebut. Efek sampingnya, curah hujan di wilayah Indonesia dan sekitarnya dapat menurun cukup signifikan.
Musim kemarau yang disertai El Nino itu dapat memicu bencana kekeringan di sejumlah daerah, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Di wilayah-wilayah ini sudah lebih dari dua bulan belakangan tidak turun hujan sama sekali. Prediksi curah hujannya tergolong sangat rendah, yakni berkisar 0-10 mm/dasarian.
Krisis air
Beberapa prediksi tersebut tampaknya sudah mulai menjadi kenyataan. Di NTT, misalnya, terdapat empat kabupaten yang telah dinyatakan mengalami kekeringan ekstrem dan 16 kabupaten lainnya berada dalam kondisi siaga kekeringan (Kompas.id, 4/8/2023). Kemudian, hingga Jumat (4/8/2023), setidaknya 114 desa di 18 kabupaten/kota di Jateng mulai mengalami krisis air bersih akibat kekeringan. Tiga daerah yang paling parah terdampak terletak di bagian timur provinsi ini, yakni Grobogan, Blora, dan Sragen (Kompas.id, 4/8/2023).
Data pemetaan bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, pada tahun ini setidaknya telah terjadi 45 kejadian bencana kekeringan hingga 2 Agustus 2023. Dari jumlah itu, 30 kejadian atau 66,7 persen terjadi pada Juli-Agustus. Jumlah ini jauh lebih tinggi daripada tiga tahun sebelumnya, yakni 43 kejadian pada 2022, sebanyak 15 kejadian pada 2021, dan 26 kejadian pada 2020.
Peningkatan intensitas tersebut perlu diwaspadai karena berpotensi masih terus bertambah. Bahkan, kekeringan ini kemungkinan akan berkepanjangan hingga tahun berikutnya. BNPB mencatat, Indonesia pernah mengalami rentetan bencana kekeringan pada medio 2003-2008. Sepanjang lima tahun itu, tercatat setidaknya terjadi 1.147 bencana kekeringan selama lima tahun atau rata-rata 191 kejadian per tahun.
Baca juga : El Nino hingga Awal 2024, Kekeringan dan Kebakaran Hutan Mengancam Jabar
Kekhawatiran utama dari kekeringan tersebut adalah terjadinya krisis ketersediaan air. Pasalnya, krisis air adalah awal dari timbulnya krisis-krisis lain. Efek langsung yang dirasakan masyarakat dari fenomena ini adalah hilangnya akses terhadap sumber air bersih. Alhasil, warga harus beralih menggunakan sumber lain yang sering kali terletak lebih jauh dari rumah serta tidak terjamin kebersihannya.
Sebagai contoh, ribuan warga di Cirebon, Jawa Barat, dilaporkan terpaksa menggunakan air sungai untuk memenuhi kebutuhan mandi dan mencuci akibat kekeringan. Padahal, air sungai tersebut keruh dan tercemar berbagai jenis sampah, seperti plastik dan popok bekas (Kompas, 2/8/2023). Hal ini tentu saja dapat mengancam kesehatan dan keselamatan warga setempat.
Dampak lain yang harus diwaspadai dari krisis air itu adalah ancaman kelaparan. Sebabnya jelas, kurangnya suplai air bagi tanaman dapat mengakibatkan gagal panen. Berdasar data BMKG per Juli 2023, sejumlah daerah yang terdeteksi kekurangan air bagi tanaman adalah Jawa Barat dan Jawa Timur bagian utara, Jawa Tengah bagian timur, sebagian besar NTB, dan bagian selatan NTT.
Kondisi demikian dapat mengancam keamanan pasokan pangan bagi wilayah bersangkutan sehingga berpotensi terjadi bencana kelaparan. Hal semacam ini pernah terjadi pada Maret 2005 di Lembata, NTT. Waktu itu, setidaknya 22 desa dinyatakan berada dalam kondisi kelaparan.
Kompas
Di samping itu, terdapat pula dampak lain yang patut diwaspadai dengan adanya kekeringan tersebut, yakni risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hasil pemetaan BMKG per 8 Agustus 2023 menyatakan, sebagian besar wilayah Indonesia berada dalam zona merah atau sangat mudah terjadi kebakaran lahan.
Risiko itu dinilai dari kondisi humus permukaan, rerumputan, dedaunan, dan bahan ringan lain yang menutupi lantai hutan yang berada dalam kondisi sangat kering sehingga rawan terbakar. Daerah-daerah dengan risiko tinggi tersebut berada di Sumatera bagian timur dan selatan, pesisir utara Jawa, Kalimantan bagian selatan dan timur, Sumatera bagian selatan dan utara, pesisir utara Bali, seluruh NTB dan NTT, pesisir utara Maluku, dan bagian selatan Papua.
Pencegahan
Besarnya dampak bencana kekeringan tersebut patut menjadi perhatian pemerintah serta pihak-pihak lain yang terlibat. Sejauh ini, pemerintah telah melakukan upaya-upaya penanggulangan yang berpusat pada penyaluran air bersih ke sejumlah daerah yang membutuhkan.
Baca juga : Suhu Dunia Mendidih, Mengancam Kehidupan dan Produksi Pangan
Pemerintah juga sudah mulai berusaha menyiapkan pasokan cadangan pangan di daerah-daerah dengan risiko tinggi kekeringan dan cuaca ekstrem. Hal ini juga disertai dengan pendirian lumbung-lumbung pangan di daerah tersebut. Tak ketinggalan, posko karhutla turut didirikan di lokasi rawan untuk mengantisipasi kebakaran lahan akibat kekeringan.
Namun, tampaknya upaya penanggulangan ini perlu dibarengi dengan keseriusan dalam menggarap langkah-langkah pencegahan yang bersifat jangka panjang. Langkah ini dapat difokuskan pada penjagaan ketersediaan air. Sejumlah contoh yang telah terbukti efektif adalah dengan membudayakan hidup hemat air, membuat wadah penampung hujan, dan melakukan konservasi lingkungan di sekitar mata air. Selain itu juga dapat dilakukan cara preventif dengan menanam pohon, menghentikan alih fungsi lahan hutan, dan menjaga kebersihan sungai.
Oleh karena itu, upaya kolaborasi dari banyak pihak perlu terus ditingkatkan guna mengurangi dampak ancaman yang ditimbulkan oleh kekeringan. Upaya penanggulangan yang diperkuat dengan langkah preventif itu diharapkan dapat meminimalkan dampak kerusakan dari bencana kekeringan untuk masa kini dan masa yang akan datang. (LITBANG KOMPAS)