Pekerja yang memanfaatkan platform digital cenderung memiliki penghasilan lebih besar dari upah minimum. Penerapannya di perdesaan, mungkin, bisa menjadi jalan mengurangi masalah kemiskinan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 20 juta atau seperlima dari pekerja Indonesia diperkirakan bergantung pada platform digital. Mereka diketahui memiliki penghasilan yang lebih tinggi ketimbang upah minimum. Lebih jauh, pemanfaatan platform digital diharapkan diimplementasikan dalam pengentasan orang dari kemiskinan, penurunan pengangguran, dan pengurangan ketimpangan.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran Hasil Studi Mata Pencaharian melalui Platform di Perdesaan di Jakarta, Selasa (25/7/2023). Studi tersebut dilakukan Digital Financial Services Innovation (DFS) Lab dan Riset Inovasi dan Edukasi (Rise) Indonesia yang berkolaborasi dengan Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI).
Adapun studi berfokus pada pekerja yang memanfaatkan platform digital untuk bekerja, berdagang, menyewa, atau berkreasi. Estimasi pekerja didapat olahan data sekunder global, nasional, dan perusahaan terkait.
Para pekerja yang menggantungkan kehidupannya pada platform digital itu contohnya pedagang di lokapasar, pengemudi ojek daring, pemilik hunian sementara, hingga gig (freelance). Penetrasi internet yang kian masif turut mendorong pengembangan ekonomi digital, terutama pada platform e-dagang atau lokapasar.
Founder sekaligus Director Rise Indonesia Caroline Mangowal mengatakan, mayoritas pekerja awalnya bergabung dengan platform sebagai upaya bertahan hidup. Namun, banyak dari mereka yang berakhir memanfaatkan platform sebagai sumber penghidupan jangka panjang.
”Para pekerja platform cenderung memiliki pendapatan yang lebih baik ketimbang upah minimum. Mereka juga lebih puas, nyaman, dan aman dalam pengalamannya hidup dari platform,” ujarnya saat memaparkan hasil studi.
Pemerintah terus mendorong pembangunan dan pertumbuhan yang berkualitas. Dalam hal ini, ada tiga pilar utama yang perlu diperjuangkan, yakni pengentasan orang dari kemiskinan, penurunan pengangguran, dan pengurangan ketimpangan.
Median atau nilai tengah dari pendapatan pekerja platform berkisar 1,95 dollar AS atau Rp 28.750 per jam (kurs rata-rata Mei-Juni 2022, 1 dollar AS setara Rp 14.744). Jumlah itu lebih tinggi ketimbang rata-rata pekerja formal di Karawang, Jawa Barat, wilayah dengan upah minimum tertinggi di Indonesia, dengan upah minimum Rp 24.648 per jam.
Meskipun demikian, para pekerja platform memiliki pendapatan per jam yang beragam. Pedagang dan pekerja gig, misalnya, memiliki pendapatan per jam dua hingga tiga kali lebih besar ketimbang pengemudi transportasi daring. Sebab, pengemudi transportasi daring rata-rata bekerja 56 jam per minggu, sedangkan pedagang lokapasar bekerja 25 jam per minggu dan pekerja gig bekerja 24 jam per minggu.
Sebanyak 70 persen pekerja platform yang menjadi responden merasakan peningkatan status sosial setelah bergabung dengan platform. Selain itu, 80 persen responden juga menyatakan finansial lebih aman ketika bergabung dengan platform.
Ekonomi desa
Partner DFS Lab Stephen Deng menuturkan, ekonomi digital mengubah cara masyarakat mencari nafkah. Tak hanya membuka ruang peralihan pekerjaan, platform digital juga menciptakan peluang mata pencarian baru bagi masyarakat. Kondisi ini juga berlaku sama apabila diterapkan pada masyarakat perdesaan.
”Masyarakat perdesaan yang sebelumnya tidak pernah bekerja dan berpendidikan rendah dapat terfasilitasi oleh platform digital,” ucapnya.
Hasil studi juga menunjukkan partisipasi platform memiliki hubungan positif dengan inklusi keuangan. Sebab, keragaman metode transaksi memaksa publik membuat akun keuangan, misalnya rekening bank, tabungan, dan asuransi. Dalam konteks ini, mereka menjadi mungkin menerima pendanaan finansial.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam tayangan video menuturkan, Indonesia tengah berada di garis terdepan transisi ekonomi digital. Hasil studi tersebut diharapkan dapat menjadi landasan penting dalam perumusan kebijakan guna mendukung pertumbuhan usaha kecil dan menengah, digitalisasi, serta inklusi keuangan di perdesaan.
Pelaksana Tugas Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan menambahkan, intervensi platform digital di perdesaan diharapkan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan yang masih mendominasi. Per Maret 2023, penduduk miskin di perkotaan hanya berkisar 7,29 persen, sedangkan perdesaan sebesar 12,22 persen.
”Pemerintah terus mendorong pembangunan dan pertumbuhan yang berkualitas. Dalam hal ini, ada tiga pilar utama yang perlu diperjuangkan, yakni pengentasan kemiskinan, penurunan pengangguran, dan pengurangan ketimpangan,” kata Ferry yang juga selaku Sekretaris DNKI.
Oleh karena itu, hasil studi diharapkan mampu membantu perumusan program pemerintah agar lebih tepat sasaran. Hal ini mengingat potensi pasar digital Indonesia mencapai Rp 1.700 triliun pada 2025. Apalagi, pemerintah juga menargetkan 30 juta usaha mikro, kecil, dan menengah untuk masuk dalam ekosistem digital.