Peluang dan Tantangan Teknologi Digital di Pasar Kerja
Adopsi teknologi digital harus dilakukan. Namun, peningkatan kapasitas manusia tetap krusial karena berbagai kualitas manusia belum tergantikan oleh teknologi.
Kemajuan teknologi digital akan terus menimbulkan peluang dan tantangan bagi pasar tenaga kerja. Kesenjangan antara keterampilan pekerja dan kebutuhan bisnis berpotensi terus terjadi pada masa depan. Pemerintah dan perusahaan pun dituntut untuk memberikan kesempatan belajar dan pelatihan ulang keterampilan.
Berdasarkan laporan ”The Future of Jobs Report 2023” yang dirilis Forum Ekonomi Dunia, Senin (1/5/2023), mahadata menempati peringkat teratas pada jenis teknologi digital yang dipandang bisa menciptakan lapangan kerja. Sebanyak 65 persen dari 803 perusahaan yang disurvei mengharapkan pertumbuhan pekerjaan berkaitan dengan mahadata.
Pekerjaan analis dan ilmuwan data, spesialis mahadata, spesialis pembelajaran mesin kecerdasan buatan, dan profesional keamanan siber diperkirakan tumbuh rata-rata 30 persen pada 2027. Perdagangan secara elektronik atau e-dagang dipercaya akan menghasilkan keuntungan besar sehingga diperkirakan akan ada 2 juta peran baru yang dibutuhkan, antara lain spesialis e-dagang, spesialis transformasi digital, serta spesialis pemasaran dan strategi digital.
Sebanyak 65 persen dari 803 perusahaan yang disurvei mengharapkan pertumbuhan pekerjaan berkaitan dengan mahadata.
Pada saat bersamaan, peran yang diperkirakan paling cepat menurun karena dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital ialah juru tulis atau sekretaris, teller bank, kasir, dan petugas entri data.
Meski ekspektasi perpindahan pekerjaan fisik dan manual ke mesin telah menurun, semua sifat yang menjadi keunggulan komparatif manusia diperkirakan lebih dapat diotomatisasi pada masa depan. Kecerdasan buatan diharapkan terpakai oleh 75 persen perusahaan yang disurvei.
Perusahaan yang disurvei menggambarkan kesenjangan keterampilan dan ketidakmampuan untuk menarik bakat adalah hambatan utama bertransformasi. Enam dari 10 pekerja akan membutuhkan pelatihan sebelum tahun 2027, tetapi hanya setengah dari karyawan yang terlihat memiliki akses ke kesempatan pelatihan yang memadai saat ini.
”The Future of Jobs Report 2023” juga menyebutkan bahwa tren makroekonomi, seperti transisi hijau; standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG); dan lokalisasi rantai pasok, akan memengaruhi pertumbuhan lapangan kerja. Begitu pula tantangan inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan kekurangan pasokan.
”Bagi orang-orang di seluruh dunia, tiga tahun terakhir telah diisi dengan pergolakan dan ketidakpastian untuk kehidupan dan mata pencarian mereka karena terjadi pandemi Covid-19, perubahan geopolitik dan ekonomi, serta kemajuan pesat teknologi kecerdasan dan teknologi lainnya,” ujar Saadia Zahidi, Direktur Pelaksana Forum Ekonomi Dunia.
Menurut dia, ada jalan yang jelas ke depan untuk memastikan ketahanan pekerja. Pemerintah dan bisnis harus berinvestasi dalam mendukung peralihan ke pekerjaan masa depan melalui struktur pendidikan, keterampilan ulang, dan dukungan sosial yang dapat memastikan individu berada di jantung pekerjaan masa depan.
Pemerintah dan bisnis harus berinvestasi dalam mendukung peralihan ke pekerjaan masa depan melalui struktur pendidikan, keterampilan ulang, dan dukungan sosial yang dapat memastikan individu berada di jantung pekerjaan masa depan.
Laporan yang sama menunjukkan, empat dari lima perusahaan yang disurvei berencana untuk berinvestasi pada pelatihan dan pembelajaran di tempat kerja sekaligus otomasi proses dalam lima tahun mendatang. Dua pertiga perusahaan berharap melihat pengembalian investasi untuk pelatihan keterampilan dalam waktu setahun sejak investasi.
Pengembalian investasi itu baik dalam bentuk peningkatan mobilitas lintas peran, peningkatan kepuasan pekerja, maupun peningkatan produktivitas pekerja. Sebanyak 45 persen perusahaan yang disurvei menyatakan, pendanaan pemerintah untuk pelatihan keterampilan akan membantu memenuhi kebutuhan pekerja terampil.
Baca juga : Kecerdasan Buatan Mulai Menelan Korban
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Minggu (7/5/2023), di Jakarta, berpendapat, Indonesia perlu memiliki data kondisi suplai dan kebutuhan keterampilan tenaga kerja. Data ini sebenarnya bisa diperoleh asalkan pemerintah menegakkan ketentuan wajib lapor ketenagakerjaan, termasuk lapor pekerja alih daya dan lapor pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
”Jadi, Pemerintah Indonesia tidak semata-mata mengacu pada data proyeksi internasional. Bisa jadi kondisi yang dialami oleh Indonesia belum tentu sama,” ujarnya.
Timboel sepakat bahwa perubahan lapangan pekerjaan membutuhkan dukungan pendanaan pelatihan dan pembelajaran keterampilan yang serius dari pemerintah. Saat ini, pemerintah telah memiliki Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Pelaksanaan perpres ini perlu dikawal.
Indonesia perlu memiliki data kondisi suplai dan kebutuhan keterampilan tenaga kerja. Data ini sebenarnya bisa diperoleh asalkan pemerintah menegakkan ketentuan wajib lapor ketenagakerjaan.
Latah
Founder dan Managing Director Headhunter Indonesia Haryo Suryosumarto berpendapat, mengadopsi kecerdasan buatan dalam operasionalisasi perusahaan adalah sebuah keniscayaan sebagai bagian dari upaya mengikuti perkembangan teknologi yang semakin canggih. Akan tetapi, para pengambil kebijakan di berbagai perusahaan harus mempertimbangkan kehati-hatian, bijaksana, dan bertanggung jawab.
Kadang, perusahaan mengadopsi teknologi kecerdasan buatan karena latah, tetapi melupakan bahwa modal paling berharga di perusahaan ialah manusia yang bekerja di dalamnya.
Manusia memiliki berbagai kualitas yang sampai hari ini belum bisa digantikan oleh teknologi, seperti kreativitas, inovasi, kecerdasan emosional, pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan etika, dan juga kemampuan beradaptasi pada berbagai situasi yang tidak menentu.
”Departemen sumber daya manusia di setiap perusahaan perlu berinvestasi ekstra dalam penyusunan program pembelajaran dan pengembangan yang sistematis dan berkelanjutan. Jadi, investasi kecerdasan buatan mungkin memang penting untuk dilakukan, tetapi investasi pada manusianya itu jauh lebih penting,” kata Haryo.
Baca juga : AI dan Kecemasan soal Masa Depan Pekerjaan
Analis Indonesia Labor Institute Rekson Silaban memandang, selain mengawal pelatihan keterampilan yang bersifat masif bagi pekerja, pemerintah perlu memastikan agar sistem jaminan sosial mencakup semua jenis pekerja. Negara tidak boleh mengurangi perannya sebagai pengawas ketenagakerjaan.
Pemerintah juga perlu membuat regulasi baru bagi pasar tenaga kerja dan dampak teknologi kecerdasan buatan sebab regulasi yang ada belum mengakomodasi hal tersebut.
Sekretaris Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Surya Lukita Warman menyampaikan, dalam platform pasar kerja yang dimiliki Kemenaker terlihat bahwa keahlian yang dominan dibutuhkan dalam kebanyakan lowongan kerja masih berkutat pada mengoperasikan Microsoft Word dan operator.
”Kadang, masyarakat menerima informasi profesi yang sedang trending dan viral. Akan tetapi, kadang hal yang viral itu belum tentu diikuti permintaan yang banyak. Masih banyak low skill dibutuhkan,” ujar Surya saat menjadi pembicara diskusi Forum Merdeka Barat 9 yang bertajuk ”UU Ciptaker Dorong Perlindungan Kerja Buruh”, Selasa (2/5/2023), di Jakarta.
Dia mengatakan, pemerintah telah menyediakan aneka program pelatihan vokasi yang bertujuan mendukung pembaruan keterampilan pekerja. Sebagai contoh, program Kartu Prakerja dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Kedua program ini telah terintegrasi dengan lembaga pelatihan yang terkurasi. Pekerja yang mengikuti program memperoleh sertifikasi kompetensi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi.