Minim Kesempatan di Desa, Kerja Informal di Jakarta Jadi Incaran
Minimnya kesempatan di desa dan tingkat pendidikan yang rendah membuat pemuda usia produktif menjadikan Jakarta sebagai tempat mencari pekerjaan. Diperlukan terobosan agar ada keseimbangan antara desa dan kota.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pemerintah DKI Jakarta menyebut setidaknya akan ada 40.000 pendatang baru yang masuk ke Ibu Kota setelah periode Idul Fitri 2023. Pekerjaan informal di perkotaan dianggap masih menjanjikan bagi warga yang meninggalkan kampung halamannya karena tidak terserap lapangan kerja di sana. Diperlukan terobosan untuk menghindari laju urbanisasi yang sangat cepat.
Di Jakarta, salah satu tempat tujuan para pendatang adalah di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Pemuda asal Compreng, Subang, Jawa Barat, Ghasim Maulana (19), adalah salah satunya. Ia tiba di Jakarta pada Senin (23/4/2023) untuk bekerja sebagai pemulung di sekitar kawasan pasar.
Keputusannya bekerja di Jakarta diambil karena penghidupan di desa tidak menyejahterakan, ditambah tingkat pendidikannya yang hanya lulus sekolah menengah pertama (SMP) membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan.
”Di desa pernah bekerja menggarap lahan orang, seperti padi atau mangga, tetapi penghasilan tidak pasti karena bergantung bagaimana panennya nanti dan juga belum tentu diajak yang punya lahan,” ucapnya ketika ditemui di lapak rongsokan di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (2/5/2023).
Hal senada diungkapkan Muhammad Siddiq (17) yang juga berasal dari Subang, Jawa Barat. Ia tiba di Jakarta lebih awal daripada Ghasim. Di usia yang masih muda, ia juga meninggalkan desanya untuk bekerja sebagai pemulung. Penghasilan sekitar Rp 100.000 per hari dianggap lebih menjanjikan ketimbang bekerja menggarap lahan pertanian milik orang lain di desa, yang sangat bergantung pada hasil panen dan musim.
Keduanya tinggal di bangunan semipermanen berukuran 2x3 yang berada di belakang lapak rongsokan tersebut. Pemilik lapak rongsokan mengizinkan mereka tinggal di sana tanpa harus membayar uang bulanan.
”Rezekinya di sini, yang harapannya bisa tinggal di sini, tidak apa-apa bersusah dulu di Jakarta sekarang,” ujarnya.
Berkaca pada aturan yang ada, keduanya tidak memenuhi aturan yang mewajibkan warga yang berpindah Jakarta untuk memiliki pekerjaan ataupun jaminan tempat tinggal, seperti yang tertera dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Budi Awaluddin menerangkan, mayoritas pendatang baru tidak memiliki pendidikan yang mumpuni. Pada 2022, dari total 27.478 pendatang baru, lulusan sekolah menengah atas sederajat ke bawah mencapai 80,18 persen. Masih tahun lalu, pendatang dengan potensi penghasilan rendah mencapai angka 12.541 orang atau 45,64 persen. Mereka banyak bekerja di bidang buruh kasar.
”Kita imbau mereka yang datang ke sini sudah punya keahlian dan keterampilan sehingga hidupnya di Jakarta bisa terjamin,” ujar Budi (Kompas, 27/4/2023).
Peneliti di Center for Indonesian Policy Studies, Mukhammad Faisol Amir, menerangkan, belum ada aturan yang melarang warga suatu daerah masuk ke daerah yang lainnya. Ia menyebut fenomena urbanisasi golongan pemuda produktif terjadi akibat generasi muda yang tumbuh di perdesaan cenderung ingin mengejar pekerjaan yang berpotensi memberikan banyak penghasilan secara cepat yang biasanya berasal di daerah perkotaan.
Hal itu dikarenakan kelompok muda tidak ingin menggeluti pekerjaan di bidang pertanian yang rata-rata digeluti orangtuanya dahulu karena minim kesempatan mengembangkan diri dan tidak memberi kesejahteraan dari sisi ekonomi.
Dengan bekal kemampuan yang minim dan tingkat pendidikan yang rendah, pekerjaan di sektor informal pun menjadi sasaran lapangan kerja bagi mereka yang pindah ke kota.
”Perlu ada adopsi teknologi pertanian agar desa memiliki keunggulan komparatif dibandingkan kota, mempercepat rantai distribusi pangan dan edukasi sehingga petani mendapatkan jaringan pasar yang lebih banyak dan penghasilan yang lebih besar,” ucapnya.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, ia menyebut proyeksi tingkat urbanisasi di empat provinsi di Pulau Jawa, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Daerah Istimewa Yogyakarta akan melebihi 80 persen pada 2035. Bahkan, sejak tahun 2010, tingkat urbanisasi di Jakarta sudah mencapai 100 persen atau mencapai batas tampung ketersediaan pekerjaan apabila dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Permasalahan urbanisasi perlu menjadi perhatian serius pemerintah.
Hal ini semakin mengkhawatirkan di tengah tren penggunaan teknologi dalam berbagai bidang pekerjaan. Pekerjaan di kota-kota besar seperti Jakarta akan semakin sedikit dengan adanya penggunaan teknologi otomatisasi pada industri yang membuat tenaga kerja manual, seperti pekerja di pabrik, semakin sedikit karena digantikan oleh mesin.