Warga Masih Hidup Miskin, Hilirisasi Sisakan Pekerjaan Rumah Besar
Hilirisasi nikel diakui belum cukup inklusif untuk menaikkan taraf hidup warga setempat. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan untuk menekan dampak negatif hilirisasi dan memaksimalkan manfaatnya.
Muara Sungai Roko-roko di wilayah Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, yang memerah akibat adanya penambangan terbuka sepert terlihat pada Rabu (31/5/2023). Penambangan nikel ini berkali-kali diprotes warga. Mulai dari persoalan lahan, hingga dianggap membuat mata air rusak dan berlumpur.
JAKARTA, KOMPAS – Ironi angka kemiskinan yang meningkat di wilayah sentra pengolahan nikel seperti Sulawesi dan Maluku menyisakan pekerjaan rumah besar. Pemerintah tetap akan mengandalkan hilirisasi untuk mendongkrak ekonomi, sembari memperbaiki strategi hilirisasi agar dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkualitas.
Naiknya angka kemiskinan di Sulawesi dan Maluku itu terekam dalam data Profil Kemiskinan di Indonesia Edisi Maret 2023 yang baru dirilis Badan Pusat Statistik awal pekan lalu. Kemiskinan tercatat naik di daerah penghasil dan pengolah nikel terbesar seperti Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Maluku Utara.
Ketimpangan ekonomi juga meningkat di sebagian daerah tersebut. Di Sultra, tingkat ketimpangan yang digambarkan lewat rasio gini per Maret 2023 adalah 0,371, naik 0,005 poin jika dibandingkan dengan rasio gini September 2022 sebesar 0,366. Hal serupa terlihat di Sulawesi Selatan, dengan rasio gini 0,377, naik dari 0,365.
Baca juga: Kemiskinan Naik di Sentra Pengolahan Nikel, Efek Ganda Hilirisasi Belum Optimal
Peningkatan kemiskinan tersebut kontras dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai daerah-daerah itu sejak tahun lalu. Sebagai contoh, ekonomi Sulteng pada tahun 2022 tumbuh dua digit sebesar 15,17 persen dan pada triwulan I-2023 sebesar 13,18 persen.
Sementara itu, ekonomi Sultra tumbuh 5,53 persen pada tahun 2022 dan 6,48 persen pada triwulan I-2023. Demikian pula, ekonomi Maluku Utara tumbuh 22,94 persen (2022) dan 16,5 persen (triwulan I-2023).
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan mengatakan, pemerintah menyadari ironi naiknya angka kemiskinan di Sulawesi dan Maluku. Namun, situasi global yang masih penuh ketidakpastian membuat upaya mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis hilirisasi cukup berat.
Kendati masih mencatat angka yang tinggi, pada triwulan I-2023, pertumbuhan ekonomi di mayoritas wilayah pusat hilirisasi nikel tersebut mulai melambat dibandingkan tahun lalu.
Ferry mengatakan, pemerintah berkomitmen mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas di daerah sentra pengolahan nikel serta meminimalkan efek negatif hilirisasi. Hilirisasi tetap dibutuhkan sebagai strategi andalan mendongkrak ekonomi.
“Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta penciptaan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, pemerintah akan terus menekankan pentingnya hilirisasi sebagai salah satu driver ekonomi wilayah,” katanya, Jumat (21/7/2023).
Sejauh ini, untuk menekan kemiskinan, berbagai skema perlindungan sosial tetap digencarkan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Kartu Sembako. Pemerintah juga berupaya menekan kantong kemiskinan dengan program pemberdayaan ekonomi, peningkatan produktivitas, dan meningkatkan akses warga terhadap layanan dasar seperti sanitasi.
Namun, menurut Ferry, pemerintah tidak bisa sendiri. Ia berharap, sektor swasta bisa lebih aktif mendukung upaya pengentasan kemiskinan lewat program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan melibatkan warga setempat dalam ekosistem rantai pasok dan pasar kerja yang inklusif.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Semakin Gemerlap, Kemiskinan di Sultra Justru Melonjak
Kerja sama inklusif
Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan pemerintah untuk membuat dampak multiplier dari hilirisasi lebih terasa bagi masyarakat setempat.
Ia mengakui, hilirisasi saat ini masih belum cukup inklusif untuk menaikkan taraf hidup warga di sekitar lokasi pertambangan. "Kita sudah lihat potensi pertumbuhan ekonomi dari hilirisasi ini cukup tinggi. Tinggal bagaimana bisa lebih inklusif saja untuk menciptakan lapangan kerja untuk masyarakat lokal," katanya.
Selain melalui penciptaan lapangan kerja di pabrik-pabrik smelter, pemerintah juga mengupayakan kerja sama antara perusahaan dengan UMKM lokal untuk membentuk rantai pasok yang lebih inklusif. Praktik ini sedang diupayakan melalui pendampingan dari pemerintah daerah, meski sejauh ini hasilnya belum cukup optimal.
Pemerintah juga berupaya menekan dampak negatif dari hilirisasi, seperti mengharuskan perusahaan menjalankan praktik pengolahan limbah yang lebih bersih dan bertanggung jawab, agar tidak mencemari lingkungan dan mengganggu mata pencaharian utama warga sebagai nelayan dan petani. Ke depan, menurut Amalia, seluruh kawasan industri harus menjalankan proses produksi yang menerapkan prinsip ekonomi hijau dari hulu ke hilir.
"Entah itu lewat praktik usaha yang rendah emisi karbon, atau limbahnya diolah kembali, agar tidak ada lagi limbah yang dibuang ke lingkungan dan bisa membawa kesejahteraan bagi warga sekitar. Kita mau mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi hingga 6-7 persen, tetapi kita harus tegas bahwa pertumbuhan itu harus inklusif dan berkelanjutan," katanya.
Masih bermasalah
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Vivi Yulaswati menambahkan, salah satu kendala yang membuat hilirisasi nikel belum berdampak pada kesejahteraan warga adalah dampak pencemaran lingkungan dari pembuangan limbah ke laut yang mengganggu mata pencaharian utama warga di sektor perikanan dan kelautan.
Ia mengatakan, pada prinsipnya izin tambang diberikan dengan berbagai skenario mitigasi dan larangan. Namun, berbagai regulasi itu tidak selalu bisa ditegakkan di lapangan.
“Mitigasi tentu sudah ada dalam konteks regulasi sejak pemberian izin awal, tetapi problemnya itu penegakan di lapangan. Jadi memang benar ada dampaknya ke air laut, ikan, koral, yang akhirnya berimbas ke pendapatan nelayan. Kita sudah suarakan hal ini, tetapi memang ini satu hal yang sampai sekarang belum bisa kita atasi,” kata Vivi.
Baca juga: Kemiskinan Menurun, tetapi Ketimpangan Meningkat
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, praktik hilirisasi masih tercerabut dari prinsip sosial, lingkungan dan tata kelola (ESG) yang tertib. Seringkali, ESG hanya dijadikan sebatas formalitas atau untuk “membeli hati” warga.
“Aspek sosial sering diartikan untuk mengantisipasi supaya tidak ribut dengan warga karena lahan. Padahal, aspek sosial dalam ESG bukan soal menghindari konflik, tetapi bagaimana benar-benar menyejahterakan warga,” katanya.
Kelalaian dalam menegakkan prinsip ESG ini juga tampak dari dampak pencemaran lingkungan yang masih dihasilkan oleh praktik hilirisasi tambang, serta kesulitan pemerintah dalam mencegahnya.
“Oleh karena itu, kemiskinan memang tidak lepas dari tata kelola kawasan industri, karena perusahaan tidak betul-betul mengikuti pengolahan limbah yang benar sehingga itu mencemari lingkungan dan merusak mata pencaharian nelayan dan petani setempat,” katanya.
Peran aktif pemerintah pusat dibutuhkan untuk mengoptimalkan efek pengganda dari hilirisasi. Hal itu tidak bisa dilepas sepenuhnya ke pemerintah daerah, karena perizinan untuk investasi hilirisasi datang dari pemerintah pusat.
“Pemda juga banyak yang mengeluh, kenapa investasi masuk, PDRB melonjak, tapi kemiskinan naik. Ini butuh intervensi pemerintah, dan tidak cukup hanya pemda, tetapi pemerintah pusat,” katanya.