Secara umum, tren angka kemiskinan pascapandemi terus menurun sejak Maret 2021. Meski demikian, tingkat ketimpangan per Maret 2023 justru meningkat cukup signifikan, menunjukkan pemulihan ekonomi yang tidak merata.
Oleh
AGNE THEODORA, AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kemiskinan nasional menurun menjadi 9,36 persen atau 25,9 juta orang per Maret 2023. Kendati menurun, kondisi itu belum kembali pulih ke level sebelum pandemi Covid-19. Tingkat ketimpangan atau rasio gini justru meningkat setelah beberapa waktu sebelumnya sempat menurun.
Data terbaru Profil Kemiskinan di Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (17/7//2023) menunjukkan, tingkat kemiskinan per Maret 2023 menurun dibandingkan dengan kondisi Maret 2022 dan September 2022.
Per Maret 2023, angka kemiskinan tercatat sebesar 9,36 persen dari total populasi Indonesia, atau 25,90 juta orang. Itu lebih rendah dari tingkat kemiskinan per September 2022 yang sebesar 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta orang, serta per Maret 2022 yang sebanyak 9,54 persen atau 26,16 juta orang.
Penurunan angka kemiskinan itu terjadi ketika garis kemiskinan meningkat 2,78 persen dibandingkan September 2022. Per Maret 2023, garis kemiskinan naik dari Rp 535.000 menjadi Rp 550.458. Peningkatan garis kemiskinan di wilayah perkotaan terpantau lebih tinggi dari wilayah perdesaan.
Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto mengatakan, perbaikan kondisi ekonomi masyarakat yang membaik pascapandemi, laju inflasi yang melandai, perkembangan harga pangan, dan penyaluran bantuan sosial (bansos) yang berlanjut, memengaruhi kondisi kemiskinan pada Maret 2023.
Laju inflasi pada periode September 2022-Maret 2023 tercatat sebesar 1,32 persen, lebih rendah dibandingkan inflasi pada Maret 2022-September 2022 yang sebesar 3,6 persen. Inflasi yang tinggi, khususnya karena didorong oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), memang sempat mendorong kenaikan angka kemiskinan per September 2022.
Secara umum, tren angka kemiskinan cenderung terus menurun sejak Maret 2021. Namun, kondisi itu belum kembali ”pulih” sepenuhnya. ”Memang kemiskinan terus mengalami penurunan, tetapi tingkat kemiskinan Maret 2023 ini belum pulih seperti masa sebelum pandemi,” kata Atqo dalam konferensi pers di Jakarta, Senin siang.
Sebelum pandemi, angka kemiskinan per September 2019 memang sempat menyentuh level terendah, yakni 9,22 persen atau 24,78 juta orang. Akibat pandemi, kemiskinan melonjak hingga menyentuh dua digit per September 2020, yakni 10,19 persen atau 27,55 juta orang.
Memang kemiskinan terus mengalami penurunan, tetapi kemiskinan Maret 2023 ini belum pulih seperti masa sebelum pandemi.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, persentase penduduk miskin di perkotaan tercatat lebih tinggi daripada perdesaan. BPS mencatat, tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 7,29 persen, sementara tingkat kemiskinan perdesaan sebesar 12,22 persen.
Kemiskinan di perdesaan pulih lebih cepat ketimbang perkotaan, bahkan sudah lebih rendah dari kondisi sebelum pandemi. Sebelumnya, per September 2019, angka kemiskinan di perdesaan tercatat sebesar 12,6 persen. Sementara kemiskinan di perkotaan 6,56 persen.
Berdasarkan wilayah, semua pulau mengalami penurunan angka kemiskinan per Maret 2023, kecuali Sulawesi yang kemiskinannya meningkat dari 10,06 persen menjadi 10,08 persen. ”Ini karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Sulawesi itu paling kecil. Padahal, konsumsi ini sangat berpengaruh pada kemiskinan,” kata Atqo.
Ketimpangan meningkat
Di sisi lain, meskipun kemiskinan menurun, ketimpangan justru meningkat. BPS mencatat, pada Maret 2023, gini ratio naik dari 0,381 pada September 2022 dan 0,384 pada Maret 2022 menjadi 0,388. Naiknya tingkat ketimpangan itu bahkan melebihi kondisi sebelum pandemi. Pada September 2019, gini ratio adalah 0,380.
Sebagai catatan, gini ratio digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat. Semakin tinggi koefisien gini, semakin tinggi pula ketimpangan di suatu wilayah.
Atqo mengatakan, gini ratio meningkat karena pemulihan ekonomi belum dirasakan secara merata oleh semua lapisan masyarakat. Pada periode September 2022-Maret 2023, ”kue” pertumbuhan ekonomi yang dirasakan 40 persen penduduk menengah-bawah lebih kecil porsinya dibandingkan kelompok masyarakat 20 persen teratas.
”Itu makanya ketimpangan naik, khususnya di perkotaan, karena pertumbuhan pengeluaran masyarakat menengah-bawah lebih lambat dari yang atas,” ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam kesempatan terpisah mengatakan, pemerintah akan terus mendorong pemulihan ekonomi untuk menekan angka kemiskinan dan ketimpangan.
”Kita punya target bahwa kemiskinan ekstrem tahun 2024 turun mendekati nol persen. Tentu kualitas sumber daya manusia (SDM) dan berbagai program akan kita dorong terus untuk mencapai target itu,” kata Airlangga.