Kemiskinan Naik di Sentra Pengolahan Nikel, Efek Ganda Hilirisasi Belum Optimal
Naiknya angka kemiskinan di sentra pengolahan nikel itu kontras dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai wilayah-wilayah itu akibat hilirisasi. Efek multiplier dari hilirisasi belum cukup optimal.
Pemandangan kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel milik grup Harita Nickel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (8/4/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kendati berstatus wilayah pusat pengolahan nikel dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kemiskinan di Sulawesi dan Maluku naik ketika wilayah lain di Indonesia menurun. Hilirisasi tambang yang gencar dijalankan selama tiga tahun terakhir belum berhasil mengerek kesejahteraan warga setempat. Efek ganda hilirisasi masih belum optimal.
Data Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik awal pekan ini menunjukkan, persentase penduduk miskin di Sulawesi mencapai 10,08 persen dari total populasinya atau sebanyak 2,04 juta orang. Sulawesi mencatat tingkat kemiskinan tertinggi ketiga nasional setelah Maluku dan Papua (19,68 persen) serta Bali dan Nusa Tenggara (13,29 persen).
Berdasarkan kelompok pulau, Sulawesi adalah satu-satunya wilayah yang mengalami peningkatan kemiskinan per Maret 2023, yaitu naik 0,02 persen poin dari 10,06 persen pada September 2022.
Baca juga: Pemulihan Tidak Merata, Ketimpangan Semakin Tajam
BPS mencatat, pada periode yang sama, kemiskinan di kelompok pulau lain menurun, yaitu Bali dan Nusa Tenggara (turun 0,17 persen poin), Sumatera (turun 0,20 persen poin), Kalimantan (turun 0,23 persen poin), Jawa (turun 0,24 persen poin), serta Maluku dan Papua (turun 0,42 persen poin). Tak hanya itu, kemiskinan nasional juga turun dari 9,57 persen menjadi 9,36 persen.
Secara lebih detail, kemiskinan tercatat naik paling tinggi di sentra penghasil dan pengolah nikel terbesar di Sulawesi, yaitu Sulawesi Tenggara yang angka kemiskinannya naik 0,16 persen poin dari 11,27 persen pada September 2022 menjadi 11,43 persen pada Maret 2023.
Peningkatan angka kemiskinan tertinggi kedua ada di Sulawesi Tengah, yang naik 0,11 persen poin dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen. Sulawesi Selatan, yang juga wilayah penghasil nikel, mengalami kenaikan angka kemiskinan 0,04 persen poin dari 8,66 persen menjadi 8,70 persen.
Kemiskinan juga terpantau naik di wilayah penghasil dan pengolah nikel lainnya, seperti Maluku Utara. Per Maret 2023, kemiskinan di Maluku Utara naik 0,09 persen poin dari 6,37 persen pada September 2022 menjadi 6,46 persen.
Naiknya angka kemiskinan itu kontras dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai wilayah-wilayah tersebut setelah hilirisasi nikel.
Naiknya angka kemiskinan itu kontras dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai wilayah-wilayah tersebut setelah hilirisasi nikel. Ekonomi Sulteng pada tahun 2022 tumbuh dua digit sebesar 15,17 persen dan pada triwulan I-2023 sebesar 13,18 persen.
Sementara, ekonomi Sultra tumbuh 5,53 persen pada tahun 2022 dan pada triwulan I-2023 tumbuh 6,48 persen. Demikian pula, ekonomi Maluku Utara tumbuh 22,94 persen pada 2022 dan 16,5 persen pada triwulan I-2023.
Tidak inklusif
Kepala Center of Trade Investment and Industry Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, Kamis (20/7/2023) menilai, angka kemiskinan yang tinggi di sentra pengolahan nikel itu berkaitan dengan dampak penciptaan lapangan kerja dari hilirisasi tambang yang tidak inklusif.
Hal itu membuat efek multiplier (pengganda) dari hilirisasi belum terlalu terasa bagi masyarakat sekitar, meskipun dampak makronya bagi pertumbuhan produk domestik regional bruto dan pertumbuhan ekonomi nasional signifikan. Hasilnya, angka pengangguran di wilayah-wilayah sentra nikel masih tinggi dan kemiskinan meningkat.
”Proses pelibatan masyarakatnya tidak kuat. Dari segi tenaga kerja yang terserap, hilirisasi baru melibatkan sedikit saja tenaga kerja lokal yang memang berasal dari daerah tersebut. Ini masih jadi pekerjaan rumah, karena kita harapkan munculnya industri pengolahan baru seperti ini bisa menggerakkan ekonomi masyarakat juga,” kata Andry.
Baca juga: Investasi Bukan Soal Angka Belaka
Ia juga menyoroti dampak eksternalitas negatif dari hilirisasi tambang yang berimbas pada pekerjaan tradisional warga setempat. Misalnya, dampak lingkungan dari pertambangan yang membuat nelayan sulit mendapat ikan.
”Ini mengganggu mata pencarian utama masyarakat, yang ujung-ujungnya mengganggu income, daya beli, dan menjadi sumber kemiskinan. Sering kali, hilirisasi ini memunculkan basis produksi baru, tetapi menghilangkan basis produksi lain,” ujarnya.
Di sisi lain, dampak multiplier dari hilirisasi juga dinilai tidak bisa secepat kilat. Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, investasi hilirisasi membutuhkan waktu lebih panjang untuk melihat dampak nilai tambah yang dihasilkan.
”Kita butuh waktu untuk melihat efek multipliernya. Begitu investasi masuk, perlu dipetakan seperti apa potensi hilirisasinya, karena produk hilirisasi punya tingkatan. Namun, memang harapannya produk yang dihasilkan dari hilirisasi punya nilai tambah yang lebih besar bagi kesejahteraan warga setempat,” katanya.
Pekerjaan rumah
Andry menilai, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikejar. Misalnya, menarik investasi hilirisasi yang lebih inklusif, seperti komitmen investor untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal serta meningkatkan transfer ilmu antara pekerja asing dan lokal.
Sering kali, hilirisasi ini memunculkan basis produksi baru, tetapi menghilangkan basis produksi lain.
Upaya membangun kualitas sumber daya manusia (SDM) lokal yang sesuai dengan kebutuhan industri hilirisasi juga perlu terus dilakukan. Selain itu, memastikan masuknya investasi hilirisasi tidak merusak lingkungan dan ”menghilangkan” pekerjaan tradisional yang menjadi tumpuan mata pencarian warga.
”Jadi kuncinya adalah bagaimana kita memperhatikan risiko-risiko lingkungan sosial, dan tata kelola (ESG) agar hilirisasi kita bisa berkelanjutan dan inklusif,” kata Andry.
Staf Ahli Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Vivi Yulaswati membenarkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah untuk memaksimalkan efek pengganda dari hilirisasi dan menekan efek negatifnya.
Ia menilai, naiknya angka kemiskinan di daerah sentra penghasil nikel salah satunya disebabkan oleh efek negatif dari kegiatan pertambangan masif yang mulai terlihat.
”Kesehatan jadi tidak memadai bagi masyarakat di sekitar lokasi tambang karena tingkat pesakitan masyarakat yang meningkat. Ada pula faktor rusaknya lingkungan sehingga produk ikan dan pertanian terganggu serta kualitas udara menjadi buruk,” katanya.
Baca juga: Andalkan Hilirisasi, Kinerja Investasi Diyakini Melaju Meski Dibayangi Resesi
Hal lainnya adalah sifat hilirisasi nikel yang lebih padat modal dan teknologi ketimbang padat karya sehingga tidak bisa menyerap banyak tenaga kerja. Peningkatan kualitas SDM pun menjadi pekerjaan rumah ke depan.
”Setahu saya belum banyak universitas yang punya program studi metalurgi dan material science yang sangat diperlukan untuk hilirisasi nikel. Infrastruktur pendidikan untuk pekerja nikel juga masih sangat terbatas di daerah kita yang kaya akan cadangan nikel,” kata Vivi.
Beralih
Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Sultra Yuni Nurmalawati mengaku belum mendapatkan rilis BPS tersebut. Ia meminta waktu untuk menjawab pertanyaan terkait kondisi kemiskinan yang terjadi di daerah ini. ”Besok saja di kantor,” jawabnya.
Sementara itu, Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Sultra Suharno yang dihubungi juga tidak menjawab panggilan. Pertanyaan yang dikirimkan juga tidak direspons. Gubernur Sultra Ali Mazi dan beberapa pejabat daerah diketahui sedang melakukan kunjungan ke beberapa negara di Eropa dan Amerika.
Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo Sultra Syamsir menjabarkan, angka kemiskinan dan ketimpangan yang meningkat menunjukkan timpangnya pembangunan dan aktivitas ekonomi di wilayah ini. Meski pertumbuhan ekonomi stabil dan cenderung meningkat, angka kemiskinan justru bertambah.
”Kue ekonomi yang berputar di Sultra itu hanya dinikmati sebagian kalangan, utamanya yang memiliki modal. Sementara sebagian besar masyarakat bawah tidak memiliki akses dan kesempatan,” kata Syamsir.
Hal itu terjadi akibat semakin melentingnya pertambangan dan industri pengolahan nikel selama beberapa tahun terakhir. Wilayah yang kaya akan nikel ini diolah dan terus mengalami perubahan baik secara ekonomi, hingga lanskap wilayah. Daerah yang dulunya merupakan lumbung pertanian dan kelautan, perlahan bergantung pada pertambangan dan industri pengolahan skala besar.
Berubahnya fokus ekonomi membuat wilayah perdesaan semakin terdesak. Pembukaan lahan, dan tidak begeliatnya pertanian dan kelautan membuat daya dorong pedesaan semakin tinggi. Daya tarik kota juga semakin gemerlap dengan aktivitas industri dan sektor pertambangan.
Di satu sisi, sektor pertambangan dan industri pengolahan merupakan sektor padat modal di mana tidak semua orang bisa mengaksesnya. Para pekerja di sektor ini juga mensyaratkan keterampilan khusus. Warga yang awalnya berharap bisa terlibat, hanya sebagian kecil yang terserap.
”Sultra itu tulang punggung ekonominya adalah pertanian dan kelautan. Puluhan tahun sektor ini menopang, tetapi dalam sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan skala besar dan mulai digantikan sektor pertambangan dan pengolahan,” jabarnya.
Menurut Syamsir, pemerintah harus mengambil langkah intervensi dengan program prioritas pada pertanian dan kelautan. Pengembangan pertanian, juga perikanan, dilakukan dengan fokus pada teknologi, dan menjaga alih fungsi lahan. Di sisi lain, hilirisasi terus digenjot hingga bisa pada tahap produk turunan dan tidak hanya pada produk menengah yang kemudian diekspor. Hilirisasi pada tahap akhir bisa menciptakan berbagai lapangan kerja baru dan pengembangan sektor lainnya.
”Jika tidak ada intervensi kembali pemerintah pada sektor utamanya, saya khawatir ini akan menjadi masalah besar di kemudian hari. Sekarang baru peringatan dan ini harus menjadi perhatian bersama,” tambahnya.