Investasi Bukan soal ”Angka” Belaka
Tolok ukur keberhasilan kinerja investasi bukan hanya soal besarnya ”angka” proyek semata, melainkan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat.
Kita boleh senang melihat tingginya angka realisasi investasi akhir-akhir ini. Capaian itu sekilas menjadi pelipur lara di saat dunia sedang dilanda ketakutan di ambang resesi. Seolah membenarkan berbagai ”ramalan” bahwa ekonomi Indonesia masih resilien meski ketidakpastian ekonomi global semakin menjadi-jadi.
Perekonomian Indonesia memang disokong oleh dua faktor utama, yaitu perputaran uang dari aktivitas konsumsi masyarakatnya serta laju investasi yang menunjukkan geliat roda produksi dan aktivitas usaha dalam negeri.
Itu pula yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi masih ”cerah” ketika banyak negara lain yang bertumpu pada perdagangan internasional atau kinerja ekspor mulai terpukul oleh gejolak ekonomi global saat ini.
Baca juga: Realisasi Investasi Naik, Kualitas Perlu Jadi Perhatian
Per triwulan III-2022, capaian kinerja investasi yang baru saja diumumkan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal pada Senin (24/10/2022) menunjukkan, laju realisasi investasi masih sejalan dengan target yang dipatok pemerintah untuk tahun 2022.
Dari target Rp 1.200 triliun, realisasi investasi mencapai 74,4 persennya atau senilai Rp 892,4 triliun. Capaian itu tumbuh 35,3 persen secara tahunan (year on year/yoy), terdiri dari realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 138,9 triliun (tumbuh 22,5 persen yoy) dan penanaman modal asing (PMA) Rp 168,9 triliun (tumbuh 63,6 persen yoy). Besarnya investasi asing yang masuk itu bahkan diklaim sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah.
Pemerintah juga berkali-kali membanggakan kinerja investasi yang tersebar semakin merata ke daerah lain di luar Jawa. Sampai September 2022, investasi di luar Jawa semakin mendominasi dengan nilai Rp 166,3 triliun atau 54 persen terhadap total investasi. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, investasi di luar Jawa mencapai 51 persen atau senilai Rp 112,5 triliun.
”Biasanya, Jawa menyumbang 60 persen dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sekarang, persentasenya di bawah 60 persen. Ini terjadi karena penetrasi investasi di luar Jawa. Kalau investasinya merata, pertumbuhan ekonominya juga merata,” kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers, Senin.
Namun, tolok ukur keberhasilan kinerja investasi bukan hanya soal besarnya ”angka” proyek semata, melainkan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat. Investasi seharusnya bisa menciptakan efek ganda (multiplier effect) dalam bentuk penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak dan layak, serta penurunan angka kemiskinan.
Belum sebanding
Di tengah nilai investasi yang tinggi, sejumlah provinsi yang menjadi destinasi utama investor dalam lima tahun terakhir ini masih mencatat angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi.
Tolok ukur keberhasilan kinerja investasi bukan hanya soal besarnya ’angka’ proyek semata, melainkan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat.
Sebagai contoh, Sulawesi Tengah yang menjadi destinasi utama investor asing selama empat tahun terakhir ini dan sering dijadikan contoh dari keberhasilan pemerintah menggeser pertumbuhan investasi di luar Jawa. Pertumbuhan investasi di provinsi tersebut selalu berada di atas 6 persen secara tahunan, bahkan pada Januari-September 2022 mencapai 15,4 persen.
Meski demikian, masyarakat setempat belum ikut menikmati manisnya pertumbuhan investasi itu. Mengutip data Badan Pusat Statistik, angka pengangguran di Sulteng hanya menurun 0,06 persen poin dari 3,73 persen pada Februari 2021 menjadi 3,67 persen pada Februari 2022.
Meski pengangguran menurun, berdasarkan Laporan Perekonomian Provinsi Sulteng yang dikeluarkan Bank Indonesia pada Mei 2022, penyerapan tenaga kerja di sana ternyata masih didominasi oleh sektor informal yang mencapai 66,59 persen dari total tenaga kerja. Masyarakat Sulteng yang bekerja pada kegiatan informal ada 1,01 juta orang, sedangkan yang terserap ke lapangan kerja formal hanya 510.360 orang.
Laporan itu menyoroti, peningkatan sektor informal salah satunya terjadi karena ada ketidaksesuaian antara spesifikasi dan keahlian tenaga kerja lokal dengan lapangan pekerjaan yang tersedia dari sederet proyek investasi yang masuk. Mayoritas masyarakat setempat terpaksa berusaha sendiri, menjadi pekerja bebas, atau menjadi pekerja keluarga/tidak dibayar.
Demikian pula, dari sisi tingkat kemiskinan, Sulteng masih termasuk dalam 10 besar provinsi dengan kemiskinan tertinggi. Angka kemiskinan Sulteng masih 12,33 persen pada Maret 2022, meningkat dari 12,18 persen pada September 2021. Secara spasial, kemiskinan di Sulteng juga lebih tinggi dari rata-rata lima provinsi di Pulau Sulawesi sebesar 11,18 persen.
Belum signifikannya dampak investasi juga terlihat di Jawa Barat, yang lima tahun terakhir ini selalu menjadi daerah dengan capaian investasi tertinggi nasional. Pada Februari 2022, mengutip data BPS, Jabar masih menjadi daerah dengan tingkat pengangguran kedua tertinggi nasional, yakni 8,35 persen. Angka kemiskinan di Jabar juga hanya turun 0,34 persen dari posisi 8,5 persen pada Maret 2021 menjadi 8,06 persen pada Maret 2022.
Baca juga: Investasi Belum Maksimal Ciptakan Lapangan Kerja
Pekerjaan rumah
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, mendorong kualitas investasi menjadi pekerjaan rumah besar yang harus dihadapi pemerintah di tengah kondisi ekonomi yang semakin tidak pasti.
Di satu sisi, tidak bisa dinafikan, ikhtiar untuk mengejar kualitas investasi itu diperberat oleh pandemi serta krisis ekonomi yang menyebabkan kenaikan inflasi belakangan ini. Namun, di sisi lain, ia menilai pemerintah masih berkutat puas pada capaian nilai investasi, indikator output makro, tetapi luput menindaklanjuti dampak riil-nya bagi kesejahteraan masyarakat.
”Pekerjaan rumah kita tidak hanya selesai ketika kita membuka pintu selebar-lebarnya untuk investor melalui berbagai langkah deregulasi. Perlu ada intervensi lanjutan. Apakah investasi yang masuk itu sudah benar-benar bersentuhan langsung dengan masyarakat?” ujarnya.
Kepala Departemen Ekonomi Center of Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan mengatakan, dampak investasi terhadap kemiskinan dan pengangguran memang tidak bisa dilihat secara instan. Idealnya, dampaknya terasa pada kurun waktu 2-5 tahun. Ketika hal itu tidak tercapai, patut dipertanyakan arah kebijakan investasi yang dijalankan pemerintah.
”Perlu ditelaah memang dari bentuk investasinya, apakah padat karya atau padat modal. Lima tahun terakhir ini, perlu kita akui bahwa ada pergeseran yang berorientasi pada sektor jasa, padat modal, dan padat teknologi,” katanya.
Pekerjaan rumah kita tidak hanya selesai ketika kita membuka pintu selebar-lebarnya untuk investor melalui berbagai langkah deregulasi. Perlu ada intervensi lanjutan.
Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk mendorong pengembangan kapasitas tenaga kerja setempat agar lebih sejalan dengan investasi yang masuk. Jika tidak, seperti halnya di Sulteng, masyarakat akan lebih banyak lari ke sektor informal karena tidak bisa terserap di lapangan kerja formal yang diciptakan oleh proyek investasi yang masuk.
Sejauh ini, ia melihat belum ada terobosan prioritas kebijakan yang masif dan strategis untuk memastikan pengembangan kapasitas tenaga kerja di daerah.
”Kita juga berhadapan dengan ’raja-raja kecil’ di daerah yang terkadang hanya melihat yang kasatmata, tetapi lupa arti pembangunan ekonomi yang sebenarnya. Jangan hanya karena jargon pemerataan pembangunan, non-Jawa sentris, akhirnya pemerintah mengorbankan manfaat dan tujuan sebenarnya dari investasi itu,” kata Fajar.
Selain peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal, menurut Armand, pemerintah daerah juga seharusnya lebih tegas dan berani mengambil kebijakan tidak populer terhadap investor untuk mendorong penyerapan tenaga kerja lokal.
Kajian KPPOD pada tahun 2017 menunjukkan, ketika pemerintah di Pontianak, Kalimantan Barat, dan Padang, Sumatera Barat, memberikan insentif fiskal, seperti memotong retribusi dan pajak bagi perusahaan yang mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal pada 2009-2016, pendapatan asli daerah (PAD) memang berkurang untuk 1-2 tahun pertama.
”Namun, jangka panjangnya, 3-4 tahun ke depan, itu justru berhasil menarik investasi lebih banyak dan meningkatkan lagi pemasukan dari pajak dan retribusi daerah. Regulasi untuk ini sebenarnya sudah ada, tetapi sekali lagi, pekerjaan rumahnya adalah menumbuhkan keberanian pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan itu,” katanya.
Baca juga: Andalkan Hilirisasi, Kinerja Investasi Diyakini Melaju meski Dibayangi Resesi