Jika neraca komoditas menjadi pertimbangan untuk mengizinkan Bulog mengekspor beras, Ombudsman RI menilai, pemerintah semestinya memilih mengurangi jumlah impor dibandingkan membuka keran ekspor beras.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
Buruh membongkar beras impor dari Thailand yang baru tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dengan menggunakan Kapal Vimc Unity, Senin (29/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan melarang ekspor beras non-organik dengan tingkat kepecahan di atas 25 persen. Di sisi lain, Perum Bulog masih bisa mengekspor beras non-organik dengan mempertimbangkan neraca komoditas. Kebijakan itu dinilai kontradiktif lantaran Indonesia masih mengimpor beras untuk kebutuhan dalam negeri.
Ketentuan itu diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor serta Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Dua aturan itu ditetapkan pada 10 Juli 2023 dan berlaku tujuh hari setelahnya.
Permendag No 22/2023 mencabut Permendag No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Salah satu perbedaannya ialah beras dimasukkan dalam daftar barang dilarang ekspor pada Permendag No 22/2023. Beras yang dilarang berkode HS 1006.30.99 dengan rincian diproduksi tidak melalui sistem pertanian organik dengan tingkat kepecahan di atas 25 persen.
Adapun Permendag No 23/2023 mencabut Permendag No 19/2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Lampiran Permendag No 23/2023 menyebut, Bulog dapat mengekspor beras nonorganik dengan tingkat kepecahan 5-25 persen. Kode HS beras yang boleh diekspor sama dengan ketentuan yang justru dilarang pada Permendag No 22/2023, yakni 1006.30.99. Bulog dapat memperoleh persetujuan ekspor itu berdasarkan neraca komoditas yang ditetapkan melalui rapat koordinasi di tingkat menteri koordinator bidang perekonomian.
Selain Bulog, pihak lain seperti swasta, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik negara dapat mengekspor beras dengan kode HS 1006.30.99 asalkan dikelola secara organik atau secara nonorganik dengan tingkat kepecahan maksimal 5 persen. Neraca komoditas juga menjadi pertimbangan.
Bertolak belakang
Menurut anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, kebijakan itu kontradiktif dengan realitas di lapangan. ”Ekspor beras merupakan dampak jika secara faktual terdapat surplus di lapangan. Namun, saat ini, Indonesia mengimpor beras setiap tahun,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/7/2023).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sepanjang semester I-2023, total impor beras dari 11 kode HS mencapai 1,067 juta ton atau meningkat hampir 10 kali lipat dari jumlah pada periode sama tahun lalu senilai 126.483,13 ton. Impor beras sepanjang semester I-2023 didominansi oleh kode HS 1006.30.99 yang sebanyak 938.973,73 ton.
Jika neraca komoditas menjadi pertimbangan untuk mengizinkan Bulog mengekspor beras, Yeka menilai, pemerintah semestinya memilih mengurangi jumlah impor dibandingkan membuka keran ekspor. Menurut dia, ketentuan beras yang boleh diekspor Bulog mirip dengan kualitas beras medium yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.
Kriteria kualitas cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola di gudang Bulog diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 6 Tahun 2023 tentang Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras. Regulasi itu menyebutkan, derajat sosoh beras minimal 95 persen, kadar air maksimal 14 persen, butir patah maksimal 20 persen, dan butir menir maksimal 2 persen.
Senada dengan Yeka, Dosen/Pengajar Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Esther Sri Astuti berpendapat, ekspor beras semestinya tidak diperbolehkan karena Indonesia masih mengimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. ”Stok (beras) mesti diutamakan untuk dalam negeri lalu untuk ekspor,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/7/2023).
Menurut dia, pemerintah dapat membuka keran ekspor beras ketika terdapat surplus yang stabil setiap tahun. Apabila surplus masih terjadi di tahun pertama kemudian tahun berikutnya impor, Indonesia belum dapat mengekspor beras.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso dan Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Farid Amir sudah dihubungi untuk memberikan keterangan secara spesifik mengenai regulasi ekspor beras tersebut. Namun, hingga berita ini diterbitkan, keduanya tidak memberikan tanggapan.
Secara umum, Kementerian Perdagangan sudah menyosialisasikan kedua aturan tersebut. ”Kami harap, melalui sosialisasi ini para pelaku usaha terkait dapat memahami dan mengimplementasikan aturan-aturan tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga proses berusaha dapat berjalan dengan baik dan lancar,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Mardyana Listyowati melalui siaran pers yang diterima, Kamis (20/7/2023) malam.
Beras organik
Beras yang dikelola dengan sistem pertanian organik tidak masuk dalam daftar barang dilarang ekspor pada Permendag No 22/2023. Permendag No 23/2023 memerinci, beras organik yang dapat diekspor berjenis hom mali, basmati, malys, dan beras beraroma lainnya. Pada variasi tersebut, pemerintah juga memperbolehkan mengekspor beras nonorganik dengan tingkat kepecahan di atas 25 persen.
Yeka menilai, ekspor beras organik dapat menjadi insentif bagi petani maupun pelaku usaha skala kecil yang mampu memproduksi beras berkualitas. Biasanya, harga beras organik tersebut berada di atas rata-rata angka pasar.