Terpuruknya industri dianggap sebagai bukti penganaktirian komoditas karet oleh pemerintah. Sebagai negara penghasil karet terbesar nomor dua di dunia, ekosistem hulu-hilir karet perlu diperbaiki.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komoditas karet Indonesia sedang dalam kondisi memprihatinkan dan dianggap sebagai ”anak tiri” sektor perkebunan. Hal itu lantaran tutupnya pabrik-pabrik pengolahan hingga murahnya harga karet yang memicu petani beralih ke kelapa sawit. Untuk mengatasinya, sejumlah upaya kini tengah ditempuh pemerintah dan optimistis industri karet akan segera membaik.
Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Azis Pane mengatakan, Indonesia merupakan negara penghasil karet terbesar nomor dua di dunia setelah Thailand. Selain itu, karet juga menempati posisi dua produksi terbanyak nasional setelah kelapa sawit. Namun, perhatian pemerintah seolah tak terlihat pada komoditas karet.
”Karet menjadi ’anak tiri’ ketimbang komoditas perkebunan lainnya. Rentetan masalah yang menerpa perkebunan hingga industri karet tak kunjung selesai apabila pemerintah tidak memberi perhatian serius,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (9/7/2023).
Perlakuan yang berbeda antara sawit dan karet, menurut Aziz, terletak pada subsidi, penelitian, inovasi, dan kebijakan. Sawit berperan besar karena diberi ruang besar dalam perekonomian, misalnya pengembangan bahan bakar biodiesel danco-firing pembangkit listrik.
Sementara itu, komoditas karet masih terdapat banyak ruang untuk eksplorasi pemanfaatannya. Misalnya, batang tanaman karet dimanfaatkan untuk bahan bakar, daunnya memiliki kandungan anti-aging atau menunda penuaan bagi sektor kecantikan, dan pengembangan karet sintetis.
”Pemanfaatan tanaman karet harus dimaksimalkan. Jika tidak, Indonesia bisa ketinggalan dari negara lain. Padahal, potensi karet di pasar saat ini sangat besar,” ucapnya.
Industri karet harus kembali bangkit dengan tingkat produktivitas tanaman, setidaknya menyamai petani karet di Vietnam dan Thailand yang berkisar 1,5-2 ton per hektar per tahun.
Dengan demikian, lanjut Aziz, produk karet akan semakin kompetitif, khususnya pengembangan karet sintetis skala masif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi karet alam nasional mencapai 3,14 juta ton pada 2022, sebanyak 97 persen di antaranya berupa karet remah dan 3 persen lainnya berupa karet lembaran asap bergaris (ribbed smoked sheet/RSS) dan lateks pekat. Artinya, potensi karet sintetis masih besar.
Semakin kompetitif produk yang dihasilkan, maka harga karet yang saat ini merosot dapat merangkak naik. Harga karet di tingkat petani saat ini sekitar Rp 8.000 per kilogram (kg). Kenaikan harga akan mendorong para petani untuk kembali mengembangkan perkebunan karet.
”Saat para petani kembali berkebun karet, ketersediaan dan produksi karet juga akan meningkat. Hal ini diharapkan mampu menyuplai kebutuhan bahan baku karet untuk industri yang saat ini sedang terpuruk,” ujarnya.
Di sisi lain, tambah Aziz, pemerintah juga perlu menyelesaikan masalah rendahnya produktivitas perkebunan karet nasional akibat usia tanaman yang sudah tua, berkisar 20-30 tahun. Data Statistik Perkebunan Unggulan mencatat, produktivitas karet pada 2023 rata-rata 1.046 kg per hektar. Jumlah itu lebih rendah ketimbang produktivitas karet pada 2017 yang mencapai rata-rata 1.205 kg per hektar.
Negara penghasil karet lainnya, seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan Pantai Gading, tingkat produktivitas perkebunan karetnya bisa mencapai 1,9 ton per hektar. Melihat hal tersebut, menurut dia, Indonesia bisa tertinggal dari negara lain yang kini gencar melakukan ekspansi kebun karet.
Sejumlah upaya
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alam Syah menyampaikan, pihaknya prihatin terhadap nasib industri karet saat ini. Alih fungsi lahan perkebunan karet menjadi sawit tak bisa terbendung. Hal tersebut dipicu oleh rendahnya produktivitas, harga pupuk yang meningkat, sedangkan harga jual menurun.
”Stabilitas harga menjadi tolok ukur petani dalam memperjuangkan komoditas karet. Karena itu, perlu sinergitas berbagai pihak, baik pemerintah, perusahaan, maupun stakeholder lainnya, guna mendorong peningkatan harga karet, termasuk transparansi harga oleh pabrik dalam pembelian karet rakyat,” ujarnya.
Permasalahan lain yang kini dihadapi komoditas karet yaitu banyaknya tanaman yang tak produktif sehingga perlu ditanami ulang. Kondisi ini, ucap Andi, diperparah oleh serangan penyakit gugur daun yang bisa mengurangi produksi hingga 30 persen. Sejak 2019 hingga sekarang belum ditemukan solusi. Kini, pihaknya tengah mencari klon toleran, pengendalian biologi dan kimiawi, serta penginderaan jauh berbasis kecerdasan buatan dalam mengidentifikasi sebaran penyakit.
Dalam kurun waktu 2018-2022, Direktorat Jenderal Perkebunan baru meremajakan tanaman karet pada lahan seluas 17.585 hektar. Idealnya, peremajaan dilakukan secara bertahap dengan sasaran lahan seluas 198.674 hektar–terdiri dari tanaman tidak menghasilkan (TTM) dan tanaman tua rusak (TTR).
”Upaya yang telah dilakukan membuat saya semakin optimistis fenomena terpuruknya industri karet akan berbalik. Industri karet harus kembali bangkit dengan tingkat produktivitas tanaman, setidaknya menyamai petani karet di Vietnam dan Thailand yang berkisar 1,5-2 ton per hektar per tahun,” kata Andi.
Keruntuhan industri karet mulai berlangsung sejak 2017, merujuk catatan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), sebanyak 45 pabrik berkapasitas total 1,4 juta ton per tahun tutup. Dari 152 pabrik karet pada 2017 menjadi 107 pabrik pada 2022.
Direktur Eksekutif Gapkindo Erwin Tunas mengutarakan, penyebab utama tutupnya pabrik karet tersebut berkaitan dengan penurunan pasokan bahan baku. Penurunan pasokan dipicu oleh petani karet yang beralih menanam sawit akibat harga karet yang tak kunjung membaik. Apabila kondisi ini terus berlanjut, jumlah pabrik karet yang tutup terancam bertambah.