Petani karet di Sumatera Selatan diminta tidak gegabah mengganti kebun karetnya dengan komoditas kelapa sawit. Hal itu dikhawatirkan dapat menyebabkan gejolak ekonomi di daerah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Petani karet di Sumatera Selatan diminta tidak gegabah mengganti kebun karetnya dengan komoditas kelapa sawit karena produktivitas lahan yang turun. Hal itu dikhawatirkan dapat menyebabkan gejolak ekonomi di daerah. Peremajaan kebun karet dan hilirisasi industri dinilai menjadi solusi dari permasalahan ini.
Analis Madya Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian, Rabu (5/7/2023), mengatakan, harga karet dan produktivitas lahan karet yang terus merosot membuat banyak petani mengalihfungsikan lahan menjadi kebun sawit. Harga minyak kelapa sawit yang cenderung stabil menjadi pendorong hal itu.
”Sejak tahun 2017 diperkirakan ada 400.000 hektar lahan karet di Sumsel yang sudah beralih ke kelapa sawit,” ujarnya.
Kalau produktivitas karet terus turun, bukan tidak mungkin alih fungsi lahan kian marak. Meski melakukan alih fungsi lahan, kebanyakan petani masih menyisakan kebun karetnya.
Rudi pun sudah mengingatkan sejumlah petani untuk tetap bertahan karena kebutuhan karet dunia akan tetap tinggi. Tinggal bagaimana petani bisa menghasilkan karet yang bermutu agar mampu bersaing dengan negara penghasil karet lain, terutama Thailand dan Malaysia.
Kondisi ini terlihat dari beberapa pabrik karet yang telah mengimpor bahan olah karet (bokar) dari negara tetangga, seperti Thailand dan Vietnam. ”Ini karena bahan baku karet di Indonesia tidak mencukupi kapasitas pabrik,” ucap Rudi.
Di sinilah peran Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) untuk mengedukasi anggotanya untuk menghasilkan produk berkualitas. Menurut dia, jika banyak yang menanam komoditas monokultur, harga komoditas itu pasti akan turun. Karena itu, memilih untuk bertahan di karet menjadi solusi terbaik.
Kalaupun terpaksa melakukan alih fungsi, Rudi menyarankan agar lebih menanam komoditas lain secara tumpang sari. Ini, misalnya, tanaman hortikultura atau memadukannya dengan peternakan.
”Istilahnya, kalaupun harus menebang pohon karet, hanya beberapa blok saja, kemudian dimanfaatkan untuk komoditas yang lain,” ujar Rudi. Dengan skema ini, petani karet bisa memperoleh pendapatan sampingan dari komoditas lain.
Di sisi lain, ia meminta agar pemerintah pusat memberikan bantuan, terutama untuk peremajaan dan perawatan kebun karet. Kredit usaha rakyat diharapkan menjadi solusi permodalan untuk melakukan peremajaan.
Sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang, karet masih menjadi sandaran hidup masyarakat Sumsel.
Asisten II Bidang Ekonomi Keuangan dan Pembangunan Pemprov Sumsel Darma Budhi menuturkan, hilirisasi menjadi solusi dari permasalahan yang terjadi. Saat ini, pemerintah terus mengundang para investor untuk menanamkan modalnya di Sumsel, terutama yang berkaitan dengan komoditas unggulan, termasuk karet.
Ini, misalnya, pabrik ban atau karet untuk ban kursi roda atau untuk sejumlah alat kesehatan. Menurut dia, itu masih lebih memungkinkan dibandingkan menjadikan karet sebagai bahan pembuat aspal. ”Karena, memang komposisi getah karet pada pembuatan aspal karet masih sangat kecil,” ucapnya.
Dia berharap tidak banyak petani karet di Sumsel yang mengalihfungsikan lahannya. Jika itu terjadi, kondisi perekonomian di daerah akan bergejolak. ”Sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang, karet masih menjadi sandaran hidup masyarakat Sumsel. Jangan sampai alih fungsi lahan membuat gejolak ekonomi di daerah,” ucapnya.
Apalagi, untuk kelapa sawit, petani karet tidak bisa serta-merta masuk ke industri ini. Untuk memasok pabrik minyak kelapa sawit, petani harus bermitra dengan perusahaan terlebih dahulu dengan skema plasma.
Irwan (40), petani karet di Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, menuturkan, belum mau mengalihfungsikan lahannya karena masih membutuhkan dana untuk kebutuhan sehari-hari. ”Membuka lahan baru membutuhkan modal yang tidak sedikit,” ucapnya.
Selain itu, sebagian besar petani di daerahnya belum terbiasa menanam sawit. Masih banyak petani yang bingung harus memulai dari mana untuk beralih ke komoditas tersebut.
Sutikto (62), petani karet di Kecamatan Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, juga memutuskan tetap bertahan di karet karena lahan tempat ia menanam adalah kawasan perhutanan sosial yang tidak bisa digunakan untuk kelapa sawit. ”Memang hasil dari getah karet tidak begitu banyak, tetapi untuk memenuhi kebutuhan, saya juga bertani padi,” ucapnya.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex Kurniawan Edy berharap ada tindak lanjut dari pemerintah pusat untuk menangani permasalahan ini. ”Karena masalah ini juga berkaitan dengan nasib petani dan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya,” ujarnya.
Salah satunya adalah memberikan kemudahan bagi para petani untuk melakukan peremajaan pada kebunnya, termasuk memberikan bibit unggul agar kebun karet tidak mudah terkena penyakit. ”Memang dibutuhkan keberpihakan dari semua pihak agar industri karet kembali bergeliat,” ujarnya.