Walau harga karet di Sumatera Selatan membaik, produksi petani menurun. Petani butuh bantuan untuk meremajakan tanaman karet mereka agar produktivitas kembali tinggi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Walau harga karet di Sumatera Selatan membaik, produksi petani menurun. Akibatnya, pendapatan yang diperoleh petani anjlok. Petani butuh bantuan untuk meremajakan tanaman karet mereka agar produktivitas kembali tinggi.
Khairul Awam, petani karet di Sumbawa, Kabupaten Banyuasin, mengatakan, sejak tahun 2018, produksi karet di kebunnya terus turun. Sampai saat ini, produksinya hanya sekitar 40 kilogram (kg) per hektar per minggu. Jumlah ini sangat jauh jika dibandingkan dengan sebelum tahun 2018 yang bisa mencapai 100 kg per hektar per minggu.
Khairul menyatakan, turunnya produksi karet di kebunnya disebabkan penyakit yang menyerang tanaman karet, yakni penyakit gugur daun (Corynespora cassiicola) dan jamur akar putih (Rigidoporus lignosus). Belum lagi faktor kondisi cuaca yang tidak menentu. ”Sekarang banyak petani yang tidak menyadap karena hujan terus turun hampir sepanjang tahun,” ucapnya.
Menurut dia, penyebab munculnya penyakit pada tanaman tidak lepas dari larangan membuka lahan dengan cara membakar. ”Dulu ketika melakukan penanaman kembali, petani membakar lahan. Selain untuk membakar akar yang masih tertambat di tanah. sistem bakar juga akan mengurangi potensi tanah berjamur,” ujarnya.
Padahal, sejak November 2022, harga karet membaik. Saat ini harga karet di Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) Rp 9.200 per kg, naik dibanding bulan lalu yang sekitar Rp 8.700 per kg. Namun, angka ini, menurut Khairul, belum ideal. Seharusnya, harga karet sama dengan harga beras. ”Saat ini harga beras sekitar Rp 11.000 per kg,” ucapnya.
Akibat rendahnya produksi, kata Khairul, banyak buruh sadap yang mencari pekerjaan sampingan. Mereka beralih menjadi buruh bangunan atau pekerjaan lain yang lebih mapan dibanding menyadap karet. ”Kondisi ini membuat banyak karet tidak tersadap, produksi karet pun menurun,” ucap Khairul yang juga menjabat Sekretaris UPPB Sumsel itu.
Karena itu, dia berharap pemerintah melakukan intervensi atau setidaknya membantu petani untuk melakukan peremajaan kebun. ”Kalau seperti ini terus, produksi karet di Sumsel bisa anjlok terus,” ujarnya.
Pembina petani karet di Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Fetra Ardiansyah, berpendapat, turunnya produksi karet juga disebabkan banyak petani yang beralih menanam kelapa sawit. ”Menurut petani, harga sawit jauh lebih stabil dibandingkan karet," ujarnya.
Untuk itu, ujar Fetra, pihaknya terus menyosialisasikan mengenai pentingnya menghasilkan getah karet yang berkualitas agar harga karet bisa tinggi. ”Jika kualitas karet meningkat, harga karet pasti akan mengikuti,” ucapnya.
Kondisi ini terlihat saat UPPB di kawasan Sungai Lilin mulai diminati petani karena harganya yang jauh lebih baik dibanding menjualnya kepada tengkulak. ”Selisih harganya bisa Rp 3.000 per kg,” ujarnya.
Kondisi ini diperparah dengan ancaman resesi yang membuat perekonomian di pasar global pun lesu.
Akibatnya, banyak tengkulak yang terpaksa mengikuti harga di UPPB karena mereka juga membutuhkan karet dari petani. ”Mereka (tengkulak) harus memenuhi kebutuhan kontrak sehingga untuk mendapatkan karet, mereka harus melakukan penyesuaian harga,” ujar Fetra.
Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex K Eddy mengatakan, saat ini industri karet dihadapkan dengan berbagai masalah, mulai dari hulu hingga hilir. Di sisi hulu, produktivitas petani menurun signifikan akibat penyakit tanaman dan alih fungsi lahan.
Adapun di sektor hilir, ketergantungan industri karet alam pada ekspor masih tinggi. ”Kondisi ini diperparah dengan ancaman resesi yang membuat perekonomian di pasar global pun lesu,” ujarnya.
Secara total, produktivitas karet alam di Indonesia terus turun dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2017, ujar Alex, produksi karet alam Indonesia sempat mencapai 3,2 juta ton, sementara pada tahun 2021 anjlok menjadi 2,4 juta ton. ”Tahun ini, kami menargetkan hanya 1 juta ton karena produksi karet di Sumsel memang menurun,” ucapnya.
Harga karet yang terus anjlok membuat petani tidak lagi menanam karet dan menggantinya dengan komoditas perkebunan lain. Akibat penurunan produktivitas karet ini, banyak pabrik kesulitan memperoleh bahan baku. Setidaknya 28 pabrik karet di Indonesia berhenti beroperasi.
Untuk di Sumsel, setidaknya ada empat pabrik karet yang berhenti beroperasi dalam empat tahun terakhir. ”Jumlah pabrik karet di Sumsel menurun dari 31 sekarang tinggal 27 pabrik. Itu karena jumlah pasokan tidak sesuai dengan jumlah kapasitas terpasang,” ujar Alex.