KPPU Temukan Praktik Monopoli dalam Penentuan Harga Karet di Sumsel
KPPU menyelidiki dugaan praktik monopoli dalam penetapan harga karet. Dalam penentuan harga acuan, asosiasi memasukkan ongkos produksi karet. Kondisi ini merugikan petani karena adanya selisih harga.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyelidiki dugaan praktik monopoli dalam penetapan harga karet yang melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dengan asosiasi. Dalam penentuan harga acuan, asosiasi memasukkan ongkos produksi karet. Kondisi ini dikhawatirkan akan merugikan petani karena mendapatkan harga yang lebih rendah dibandingkan harga pasar.
Kepala Kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah II Wahyu Bekti Anggoro, Senin (4/7/2022), menjelaskan, pihaknya sedang mengalanisis regulasi Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet. Menurut Wahyu, regulasi tersebut memberi ruang kepada asosiasi untuk memberikan informasi terkait harga acuan bahan olah karet (Bokar) yang diperdagangkan.
Padahal asosiasi yang merupakan gabungan dari pabrikan tidak boleh menentukan harga karena mereka juga berperan sebagai pembeli karet petani. Karena itu, KPPU menilai regulasi tersebut berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Wahyu menilai selain memberikan informasi harga acuan Bokar, pihak asosiasi juga ikut serta dalam memformulasikan komponen pembentuk harga yang akan diinformasikan kepada petani sebagai harga acuan dalam penjualan bokar. KPPU pun menduga adanya potongan harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha dalam formulasi harga acuan tersebut. Seharusnya ongkos produksi itu di luar dari harga acuan, dan itu merupakan kewajiban dari perusahaan, bukan dibebankan kepada petani.
Untuk itu, ujar Wahyu, seharusnya yang disampaikan oleh pemerintah dan asosiasi hanya harga karet internasional, tidak termasuk ongkos produksi. ”Akibat formulasi tersebut, petani dirugikan sekitar Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kilogram (kg),” ucapnya.
Saat ini, lanjut Wahyu, pihaknya tengah melakukan pendalaman lebih lanjut dari kasus ini untuk mengurai kemungkinan adanya praktik monopoli dalam penentuan harga karet di Sumatera Selatan. Dia pun berharap agar pemerintah melakukan revisi regulasi dengan tidak melibatkan asosiasi yang sebenarnya adalah pembeli karet petani.
Menanggapi hal ini, Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex Kurniawan Eddy menuturkan, tidak ada niat dari Gapkindo untuk melakukan monopoli harga karet di Sumatera Selatan. Sebaliknya, perkembangan harga karet di Sumatera Selatan disampaikan kepada petani dengan tujuan mereka tidak tertipu dengan tengkulak.
Dengan begitu, petani memiliki nilai tawar jika karetnya ditawar oleh pembeli. Dalam penerapan harga acuan, pihaknya tetap berbasis pada harga di Bursa Berjangka Singapura (Singapore Commodity Exchange/Sicom).
Harga ditentukan oleh kabar burung dan kabar dari pabrik.
Adapun terkait penyematan ongkos produksi, nilai tersebut disampaikan kepada petani sebagai bentuk kemampuan dari pembeli karet. ”Mengenai keputusan harga, ya semua tetap diserahkan kepada petani sepenuhnya,” ucapnya.
Apalagi, saat ini, petani karet di Sumatera Selatan sudah banyak yang bergabung di unit pengolahan dan pemasaran bokar (UPPB). Di dalam penjualan tersebut, petani memiliki nilai tawar yang lebih besar karena merupakan dari gabungan kelompok tani.
”Dalam proses jual beli karet di UPPB didasari pada sistem lelang, jadi harga tertinggilah yang akan diperoleh petani,” ucapnya.
Irwanto, Petani karet di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, mengatakan, di lapangan, petani tidak pernah melihat harga internasional. ”Harga ditentukan oleh kabar burung dan kabar dari pabrik,” ucapnya. Sistem jual beli seperti ini sudah berlangsung sejak dulu.
Menurut dia, petani akan tetap menerima harga kalau memang dinilai menguntungkan, tanpa harus tahu harga acuan. Berbeda halnya dengan petani yang menjual karetnya di UPPB. Mereka akan memberikan karet kepada pembeli tertinggi.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian menerangkan, diterbitkannya Pergub No 4/2019 adalah sebagai upaya melindungi petani dari risiko kerugian akibat dipermainkan oleh tengkulak, bukan untuk memonopoli. Selama ini, ketergantungan petani dengan para agen atau tengkulak/supplayer membuat harga jual karet menjadi rendah.
”Itu karena petani tidak mempunyai posisi tawar yang tinggi. Hanya pasrah dengan harga yang ditetapkan oleh agen atau tengkulak,” ucapnya.
Karena itu, kejelasan harga diperlukan agar petani tidak dipermainkan. Di lapangan, petani kerap kali mendapatkan harga yang sesuai karena banyak potongan. Alasan tengkulak adalah kurang berkualitasnya karet petani. ”Meskipun terkadang harganya bersaing, potongan timbangannya banyak lantaran adanya manipulasi timbangan,” ucapnya.
Karena itu, ujar Rudi, pasar lelang menjadi lembaga pemasaran karet yang memiliki peran cukup besar dalam meningkatkan harga jual karet petani. Adanya pasar lelang berasal dari hadirnya kelembagaan petani yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No 38/2008 berupa UPPB.
UPPB ini terus dikembangkan oleh dinas perkebunan dan jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya, berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan saat ini sudah terbentuk 320 UPPB yang tersebar di 14 kabupaten kota di Sumatera Selatan. Strategi pemasaran dengan sistem lelang yang dilakukan oleh para petani karet di Sumatera Selatan dapat meningkatkan pendapatan dan efeknya dapat memperbaiki tingkat perekonomian para petani karet.