”Shoppertainment” di Media Sosial Melejit, Perlindungan Konsumen Perlu Dijaga
Berdasarkan laporan riset ”Future of Commerce” 2022 yang dirilis oleh Tiktok dan Boston Consulting Group, nilai pasar ”shoppertainment” di Asia Pasifik diproyeksikan mencapai 1 triliun dollar AS pada 2025.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
Karakter konsumen saat ini dan dalam jangka panjang mendatang diperkirakan cenderung menginginkan konten jenama produk ataupun jasa yang otentik dan emosional. Situasi ini memengaruhi perkembangan cara berjualan interaktif, terutama di media sosial. Di balik fenomena itu, pemerintah perlu memastikan perlindungan konsumen tetap terjaga dan tidak ada diskriminasi kebijakan perdagangan daring.
Menurut Managing Director, Growth and Transformation Lead di Accenture Song, Mohammed Sirajuddeen, ada tipe karakter konsumen yang diperkirakan muncul dalam beberapa tahun mendatang. Tipe pertama adalah mirrored consumers. Ini merupakan tipe konsumen yang memiliki profil unik dan mau menunjukkan rasa suka/tidak suka terhadap barang atau layanan.
Kelompok konsumen kedua bertipe kurator. Mereka suka mengurasi produk/layanan sesuai pengalaman pribadi mereka. Adapun tipe ketiga adalah kolektif yang ditandai oleh konsumen yang suka membeli barang berdasarkan pertimbangan grup.
Selain ketiga tipe karakter konsumen tersebut, dia mengamati munculnya fenomena konsumen yang cenderung ingin dilibatkan. Ini bisa dilihat dari shoppertainmentyang marak digemari konsumen. Shoppertainment merupakan cara berjualan berbasis konten interaktif yang menghibur dan mengedukasi. Live shopping di Tiktok adalah salah satu contoh shoppertainment.
”Pembatasan sosial karena Covid-19 menyebabkan konsumen mengevaluasi ulang gaya hidup. Ditambah lagi, selama periode pembatasan sosial, penggunaan teknologi digital untuk kehidupan sehari-hari meningkat signifikan,” ujarnya, yang ditemui di sela-sela acara Tiktok Shoppertainment Summit 2023, Rabu (5/7/2023), di Jakarta.
Sebanyak 81 persen pengguna Tiktok di Asia Pasifik menyatakan bahwa konten video memengaruhi pembelian produk/layanan terbaru mereka.
Sesuai laporan riset Future of Commerce 2022 yang dirilis oleh Tiktok dan Boston Consulting Group (Agustus 2022), nilai pasar shoppertainment di Asia Pasifik diproyeksikan mencapai 1 triliun dollar AS pada tahun 2025. Nilai tersebut meningkat pesat dari 500 miliar dollar AS pada saat laporan dirilis.
Peluang ini didorong oleh perubahan sikap konsumen yang menginginkan konten jenama yang otentik dan emosional. Pasar pertumbuhan nilai pasar shoppertainment di Asia Pasifik yang tertinggi, yaitu Australia, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam.
Head of Global Business Solutions Tiktok untuk Asia Pasifik, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah Shant Oknayan menyampaikan, sesuai salah satu studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group, 81 persen pengguna Tiktok di Asia Pasifik menyatakan bahwa konten video memengaruhi pembelian produk/layanan terbaru mereka. Selama pandemi Covid-19, misalnya, fenomena #TikTokMadeMeBuyIt menghasilkan 60 miliar tayangan.
Shant mengklaim terdapat sejumlah jenama lokal ataupun global meraih kesuksesan seusai menggunakan Tiktok. Sebagai contoh, Klamby, merek mode asal Indonesia. Klamby rutin melakukan live shopping di Tiktok, setidaknya 6 jam sehari, dan menggunakan Tiktok Ads. Sekarang, Klamby mencatatkan kenaikan penjualan sekitar 6 kali lipat dan pendapatan bulanan naik 4 kali lipat.
Regulasi
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, di balik kemunculan fenomena shoppertainment, yang di antaranya menggunakan media sosial, sebenarnya terdapat sejumlah isu. Salah satunya adalah algoritma yang diimplementasikan oleh pemilik platform berpotensi disalahgunakan untuk mengakomodasi penjualan barang impor atau penjual tertentu.
Masyarakat dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang tingkat literasi digitalnya relatif tidak tinggi tetap mampu berjualan dengan memanfaatkan platform digital sederhana.
Bhima berharap pemerintah benar-benar mendukung tidak adanya diskriminasi kebijakan antara platform media sosial yang dipakai untuk transaksi e-dagang dan lokapasar. Sejauh ini sudah ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Ada pula, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) I Nyoman Adhiarna menyampaikan, e-dagang melalui platform media sosial memang berkembang sangat pesat. Masyarakat dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang tingkat literasi digitalnya relatif tidak tinggi tetap mampu berjualan dengan memanfaatkan platform digital sederhana, misalnya, Tiktok. Sebentar lagi juga ada Whatapps Bisnis.
Karena Kemenkominfo menjalankan peran sebagai regulator yang bersifat umum, dia mengatakan, sebenarnya tidak banyak regulasi yang ditabrak dengan maraknya fenomena e-dagang melalui media sosial. Kemenkominfo bertanggung jawab menegakkan aturan, seperti tata kelola, perlindungan data pribadi, dan pencegahan konten-konten negatif.
”Penyelenggara platform media sosial juga wajib menjaga kerahasiaan jenama/warga yang berjualan ataupun membeli. Kami di Kemenkominfo pun harus memastikan platform media sosial, seperti Tiktok, sebagai penyelenggara sistem elektronik wajib daftar di Kemenkominfo,” ujar Adhiarna.