Pilihan kilang tebu di Lawang, Agam, Sumatera Barat, beralih dari diesel ke listrik, berdampak besar. Tidak hanya lebih efisien, juga menghadirkan manfaat-manfaat lain dibanding saat menggunakan diesel.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA, AGNES THEODORA,
·2 menit baca
Nagari Lawang di Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, telah lama dikenal sebagai sentra penghasil gula saka atau gula merah dari tebu di Sumatera Barat. Seiring perkembangan zaman, tempat penggilingan atau kilang tebu di sana bertransformasi. Dari semula menggunakan tenaga ternak lalu ke diesel, kini beralih ke energi listrik yang membuat gula saka Lawang semakin ”legit”.
”Kalau dulu, saat pakai diesel, berisik. Kalau ngobrol tidak akan terdengar. Selain itu, bapak saya (Syafrizal) pasti tidak akan sanggup menghidupkannya. Sekarang, beliau cukup menekan tombol di boks panel,” kata Desriyanto (28) saat dijumpai di Nagari Lawang, Rabu (14/6/2023).
Desriyanto adalah Ketua Kelompok Tani Inovatif, salah satu kelompok beranggotakan pemilik penggilingan tebu di Nagari Lawang. Nagari tersebut berada 22 kilometer barat daya Kota Bukittinggi atau 103 kilometer utara Padang, ibu kota Sumatera Barat.
Nagari Lawang terkenal sebagai sentra penghasil gula saka. Sebagian besar wilayah nagari berpenduduk sekitar 3.790 jiwa itu adalah perkebunan tebu yang diwariskan turun-temurun.
Tidak hanya menanam, mereka juga mengolahnya menjadi gula saka. Ada lebih dari 140 kilang tebu di wilayah tersebut. Seiring berkembangnya zaman, penggerak penggilingan berganti. Mulai dari yang sangat tradisional, yakni penggilingan kayu yang ditarik dengan kerbau, sampai penggilingan besi yang digerakkan dengan mesin diesel.
Belakangan, pemilik penggilingan di Nagari Lawang beralih ke penggerak listrik. Desriyanto bersama dua anggota kelompoknya, yakni Datuk Syafri Jamal (54) dan Syaiful Bahri (38), menjadi yang pertama beralih. Tepatnya, sejak Mei 2022, melalui program penggunaan listrik untuk perkebunan dan pertanian atau electrifying agriculture dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Keputusan menggunakan listrik untuk penggilingan tebu berbuah manis. Sebelumnya, untuk menggiling 1 ton bahan baku tebu menjadi 100 kilogram gula saka butuh biaya Rp 250.000 untuk membeli bahan bakar solar. Setelah berpindah ke listrik, biaya yang dikeluarkan cukup Rp 100.000 untuk membeli token. Dengan elektrifikasi, pengusaha penggilingan tebu juga tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk diesel, seperti rutin mengganti oli atau onderdil mesin.
Menurut Manajer Unit Layanan Pelanggan PLN Koto Tuo, Hilmy, saat ini, PLN sedang memproses 16 proposal dari kilang penggilingan tebu lain di Lawang untuk beralih ke listrik. Meski demikian, kali ini, skema bantuan akan sedikit berbeda. Agar bisa menambah jumlah penerima manfaat, PLN tidak lagi menanggung seluruh biaya pemasangan listrik.
Jika sebelumnya PLN menanggung seluruh biaya elektrifikasi, termasuk biaya penyambungan listrik, ke depan, PLN hanya akan menyediakan biaya untuk mesin elektro motor, panel listrik, dan dudukan motor. ”Untuk biaya penyambungan kami keluarkan dari komponen. Mereka tetap mendapat bantuan berbagai fasilitas itu, mesin peralatan tetap dikasih, tetapi khusus biaya penyambungannya dicicil tanpa bunga,” kata Hilmy.