Ketika bisnis malnya jatuh akibat pandemi Covid-19, Karman Karim beralih menjadi pengusaha tambak udang intensif. Hasilnya berlimpah berkat kehadiran jaringan listrik.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Setelah dua mal miliknya di Palu dan Poso, Sulawesi Tengah, harus tutup akibat pandemi Covid-19, Karman Karim (65) memutar otak untuk merintis usaha baru. Lahan seluas 8 hektar miliknya di Parigi Moutong, di tepian Teluk Tomini, disulap menjadi tambak udang. Keberuntungan kini kembali berpihak kepadanya.
”Rasanya ingin menjadi pengusaha tambak udang,” ucap Karman mengulang kembali tulisan yang ia unggah di akun Facebook miliknya saat dijumpai Kompas di Desa Buranga, Parigi Moutong, Kamis (22/6/2023). Tak disangka, unggahan yang, menurut dia, hanya iseng belaka itu menuai respons. Banyak konsultan yang menawarkan jasa, tak terkecuali sejumlah mitra produsen pakan udang yang menawarkan pinjaman hingga ratusan ton.
Karman bertekad bulat memulai bisnis budidaya udang. Berbekal denah senilai Rp 20 juta dari konsultan, ia membuka delapan kolam tambak udang vaname dengan sistem budidaya intensif di lahan tersebut. Padahal, sudah begitu banyak pengusaha tambak udang di sepanjang pesisir Parigi Moutong.
Tak disangka, unggahan yang, menurut dia, hanya iseng belaka itu menuai respons. Banyak konsultan yang menawarkan jasa, tak terkecuali sejumlah mitra produsen pakan udang yang menawarkan pinjaman hingga ratusan ton.
Tiga tahun berselang, kini ia mengelola 14 kolam bundar berdiameter 30-33 meter serta 10 kolam persegi dengan ukuran 1.600 meter persegi dan 2.500 meter persegi. Jika diakumulasi, luas kolam keseluruhan kira-kira 3 hektar.
Dengan sistem budidaya intensif, berarti Karman menggunakan peralatan elektronik di tambaknya. Yang pertama dan terutama adalah pompa untuk mengisap air laut dan mengalirkannya ke dua kolam tandon. Setelah diolah dan disterilkan, air didistribusikan melalui pipa ke kolam-kolam udang sebelum akhirnya dikembalikan ke laut.
Di setiap kolam, terdapat dua kincir yang berputar tanpa henti di permukaan. Fungsinya menciptakan gelembung udara bermuatan oksigen yang dibutuhkan udang untuk tetap hidup di dalam air. Ada pula pipa-pipa yang membentang di dasar kolam untuk menyalurkan oksigen tambahan.
Dengan sistem ini, Karman bisa menebar sedikitnya 2 juta benur udang vaname di setiap hektar kolam. Artinya, populasi udang di kolam seluas 3 hektar miliknya dapat mencapai 6 juta ekor selama satu siklus budidaya, yakni empat bulan.
Jika tiada hambatan, kata Karman, volume panen di akhir siklus tergolong fantastis, sekitar 40 ton udang per hektar. ”Biasanya ada panen parsial 2-3 kali sebelum panen besar. Harga jualnya naik turun di kisaran Rp 40.000-Rp 100.000 per kilogram (kg). Begitu dirata-rata, main di posisi Rp 60.000 per kg,” ujarnya.
Dengan total panen 120 ton, pendapatan bruto Karman di setiap pengujung siklus bisa mencapai Rp 7,2 miliar. Kebanyakan pelanggannya adalah pengepul yang menjualnya lagi ke pabrik-pabrik eksportir udang di Sulawesi Selatan dan Gorontalo.
Dengan usahanya itu, Karman mampu membuka lapangan kerja bagi 30 karyawan yang semuanya adalah warga Desa Buranga dan sekitarnya. Pada masa panen, ia mendatangkan 30-40 orang tambahan dari kontraktor panen.
Besarnya potensi itu tak lantas membuat Karman terlena. Pasalnya, bisnis apa pun tak ubahnya pasang surut ombak di Teluk Tomini. Namun, ia yakin bisnis tambak udang intensifnya akan berumur panjang. ”Ini bisnis seumur hidup. Selama orang masih makan, masih mau sehat, enggak usah ragu. Mal dan hotel boleh tutup, tetapi (bisnis) pangan enggak boleh tutup,” ujarnya.
Satu syarat
Kendati demikian, ada satu syarat untuk mencapai ”keabadian” itu, yakni listrik. Ia pernah punya tambak udang tradisional (tidak menggunakan tenaga listrik) seluas 10 hektar, tetapi hasil panen per hektarnya hanya 400 kg, sangat jauh dari 40.000 kg per hektar di tambak intensif. Itu karena ada listrik yang menghidupkan pompa penyedot air, memutar kincir, dan menyalurkan oksigen. ”Semua gerakan yang ada di tambak ini tanpa listrik enggak bisa,” ujarnya.
Dengan kebutuhan listrik yang tak boleh terputus selama satu siklus, tagihan listrik tambak Karman bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Namun, itu sangat jauh dari kata mahal jika dibandingkan omzet yang mencapai miliaran rupiah.
Kendati demikian, yang lebih penting dari biaya adalah keandalan layanan listrik. Memang, listrik sesekali padam akibat masalah jaringan, tetapi tak pernah lebih dari 2 jam. “Terkadang kalau malam saat beban puncak, sedikit turun tegangannya. Tapi, tidak jadi masalah,” kata Karman yang mendapatkan juara 1 dalam Penghargaan Wirausaha Tangguh kategori wirausaha bahari dari PLN pada Desember 2021.
Dengan kebutuhan listrik yang tak boleh terputus selama satu siklus, tagihan listrik tambak Karman bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Namun, itu sangat jauh dari kata mahal jika dibandingkan omzet yang mencapai miliaran rupiah.
Kini, Karman termasuk satu dari tujuh pelanggan layanan premium PLN di Sulteng dengan total daya 5 megavolt ampere (MVA). Mereka adalah pengusaha-pengusaha yang terjangkau oleh program PLN bernama Electrifying Agriculture atau Elektrifikasi Pangan.
Manajer PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Palu Yanuar menambahkan, program ini dicetuskan di awal pandemi Covid-19. Tujuannya adalah membantu para pengusaha mengefisienkan bisnis dengan menekan biaya tetap serta menjaga produktivitas ketika perekonomian melambat.
Dari segi tarif, biaya tarif listrik layanan premium hanya lebih mahal Rp 30 rupiah ketimbang tarif listrik reguler yang kini Rp 1.699 per kilowatt jam (kWh). Namun, para pelanggan di program ini mendapatkan berbagai keunggulan, seperti penyesuaian daya sambungan dengan kebutuhan, keandalan layanan, hingga estetika dalam penataan kabel.
“Secara keseluruhan, adanya langganan premium itu bukan untuk mencari keuntungan semata. Premium memang artinya eksklusif, tapi kami lebih mengutamakan keandalan dan estetika. Jadi, kami menyediakan listrik sebagai kebutuhan usaha yang penting dengan harga yang lebih kompetitif daripada sumber milik pribadi, seperti genset,” kata Yanuar.
Kendala
Potensi tambak udang di Parigi Moutong, yang daerahnya membentang 472 kilometer di sepanjang pesisir Teluk Tomini, memang sangat besar. Saat ini ada enam pelaku usaha, termasuk Karman Karim, yang mengelola lahan seluas 157 hektar dari total 337 hektar. Jika seluruh lahan digunakan, produksi bisa mencapai 8.722 ton per tahun, tetapi kini baru mencapai 1.844,14 ton per tahun.
Sementara itu, ada 6.100 keluarga petambak yang mengelola tambak tradisional seluas 5.089 hektar dengan produksi sebesar 2.906,36 ton pada 2022. Angka itu pun masih jauh dari potensi produksi sebesar 10.178 ton per tahun.
Untuk mencapai potensi tertinggi tambak udang, Bupati Parigi Moutong Samsurizal Tombolotutu mengatakan, dirinya mengundang para investor untuk terjun ke bisnis tambak udang, terutama dari luar kabupaten. Hanya saja, akses jaringan listrik masih menjadi kendala. ”Area kami potensinya sangat besar untuk tambak udang. Investor sudah siap, tetapi selalu listrik yang dipermasalahkan. Mudah-mudahan ini jadi perhatian PLN,” ucapnya.
Pada saat yang sama, Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong berusaha mendorong para petambak tradisional untuk beralih ke sistem budidaya intensif. Sayangnya, menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Parigi Moutong M Sakti, para petambak kecil kesulitan mewujudkannya karena akses permodalan.
“Ini termasuk untuk listrik yang menjadi faktor produksi utama. Ini (tarifnya) sangat berat bagi para pelaku tambak tradisional. Makanya, kami mencoba berkomunikasi dengan lembaga perkreditan dan permodalan yang melekat di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan, agar modal dengan bunga kecil tanpa agunan bisa sampai ke mereka,” kata dia.