Negosiasi pemerintah dan Shell dinilai berlangsung positif dan ditargetkan selesai pada akhir Juni 2023. Pendamping terkuat Inpex di Blok Masela untuk menggantikan Shell adalah PT Pertamina dan Petronas.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negosiasi antara pemerintah dan Shell mulai mengarah pada mufakat. Konsorsium PT Pertamina (Persero) dan Petronas menjadi kandidat kuat untuk menggantikan Shell Upstream Overseas Services Ltd sebagai pemilik saham partisipasi 35 persen di Blok Masela.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, proses akuisisi hak partisipasi Shell sudah menemui titik temu. Kini, Shell sudah mau melepas saham miliknya dan eksekusi kesepakatan ditargetkan rampung pada akhir Juni 2023.
Kemajuan lobi dengan Shell juga sempat terlihat saat dia ditanya Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurahman dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (13/6/2023). ”Saya dengar PT Pertamina sudah shakehand, ya, Pak? Itu keberhasilan,” tanya Maman. Arifin tampak mengangguk.
Seperti diketahui, sejak Shell memutuskan mundur dari Blok Masela pada tahun 2020, pemerintah berupaya mencari penggantinya. Negosiasi pengganti Shell berlangsung alot dan tanpa ada kepastian.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, negosiasi antara pemerintah dan Shell berlangsung baik dan positif. Meskipun demikian, belum ada kesepakatan resmi terkait transisi hak partisipasi Blok Masela.
”(Maksud komunikasi positif itu) Mengarah pada deal. Negosiasinya dengan Shell diharapkan selesai akhir Juni 2023,” ujarnya.
Pertamina dan Petronas akan membangun konsorsium baru bersama Inpex Masela Ltd, perusahaan migas asal Jepang yang memiliki 65 persen hak partisipasi di Blok Masela. (Soetjipto)
PT Pertamina dan Petronas, perusahaan migas asal Malaysia, kata Soetjipto, akan menggantikan Shell di Blok Masela. Dua perusahaan itu akan membangun konsorsium baru bersama Inpex Masela Ltd, perusahaan migas asal Jepang yang memiliki 65 persen hak partisipasi di Blok Masela.
Meski demikian, dia enggan merinci biaya akuisisi yang dibutuhkan. Menurut Soetjipto, kesepakatan dibangun tidak hanya sebatas harga, melainkan juga ada sejumlah persyaratan lain yang perlu diperhatikan saat transisi hak partisipasi.
Diketahui, wilayah kerja Blok Masela terletak di Laut Arafura dengan luas mencapai 250.300 hektar. Kilang gas alam cair (liquid natural gas/LNG) terletak di Pulau Yamdena, Maluku, yang berkapasitas 9,5 juta ton per tahun (million ton per annum/MTPA) atau 1.600 juta kaki kubik per hari, dan dari gas pipa sebesar 150 juta kaki kubik per hari, serta kondensat sebesar 35.000 barel per hari. Total investasi belanja modal membutuhkan 19,8 miliar dollar AS atau Rp 294,43 triliun.
Kemajuan lain
Arifin menjelaskan, pengembangan Blok Masela telah mengantongi persetujuan program kerja dan anggaran atau work program and budget (WP&B) 2023 untuk implementasi proyek pengadaan lahan di areal nonhutan, kegiatan pemasaran, dan kajian analisis dampak lingkungan (amdal).
Pada 2023 akan dimulai lelang tender untuk front-end engineering design (FEED) offshore LNG; floating production storage and offloading (FPSO); subsea umbilicals, risers and flowlines (SURF); dan gas export pipeline (GEP). Statusnya kini menunggu keputusan Inpex terkait kejelasan rencana investasi dan pengembangan.
”SKK Migas dan Inpex juga telah sepakat untuk memasukkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) dalam lingkup revisi-dua rencana pengembangan (plan of development/POD),” kata Arifin.
Meski produksi proyek Blok Abadi Masela tergolong bagus, investor menilai biaya belanja modal yang dibutuhkan masih sangat besar, apalagi ditambah membangun fasilitas CCS. Lokasinya yang terpencil juga membutuhkan pipa gas sepanjang 180 kilometer dan perlu melewati palung sedalam 1,2-1,3 kilometer.