Konsorsium Dinilai Bakal Lebih Kuat Kelola Blok Masela
Kementerian ESDM menyebut Pertamina merupakan calon terdepan pengganti Shell yang hengkang dari Blok Masela. Namun, sejumlah pengamat menilai konsorsium bisa jadi solusi atas kebutuhan mengelola lapangan migas tersebut.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengamat menilai konsorsium bisa menjadi jawaban dari kebutuhan investasi pengelolaan Blok Masela di laut lepas Maluku yang sudah puluhan tahun tidak tergarap optimal. Sebelum pembentukan konsorsium itu, PT Pertamina (Persero) dapat mengawalinya dengan mencaplok 35 persen saham milik Shell Upstream Overseas Ltd.
Pemerintah saat ini tengah mencari pengganti Shell—pemilik 35 persen saham di Blok Masela (65 persen lainnya milik Inpex Corporation)—yang memutuskan hengkang pada tahun 2020. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sejumlah perusahaan tertarik untuk masuk ke Blok Masela untuk menggantikan Shell, termasuk Pertamina yang saat ini berada di posisi terdepan.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, dihubungi dari Jakarta, Minggu (8/1/2023), mengatakan, Blok Masela memiliki potensi gas alam yang besar. Namun, selama ini selalu dirundung masalah sehingga pelaksanaannya terus mundur.
Ia menambahkan, dengan diawali Pertamina, nantinya bisa dibentuk konsorsium dengan menarik lebih banyak investor. ”Dari segi kelayakan dan produksi akan dihasilkan, prospek Masela bagus. Namun, ada tantangan perihal kemampuan (teknologi dan finansial). Sebelumnya, Inpex dan Shell kan terguncang. Apabila nantinya dibentuk konsorsium, bisa lebih kuat,” ujar Fahmy.
Untuk itu, kata Fahmy, ke depan dukungan dari pemerintah akan sangat diperlukan. Dukungan itu, misalnya, berupa kemudahan atau pemberian insentif fiskal. Dengan begitu, akan lebih banyak investor tertarik untuk ikut berpartisipasi di Blok Masela.
Selama ini, proyek abadi Blok Masela, yang kaya akan gas alam, berjalan lambat. Awalnya, 100 persen saham proyek tersebut dimiliki oleh Inpex, yang berkontrak sejak 1998. Shell kemudian masuk pada 2011, yang membuat komposisi saham 65 persen untuk Inpex dan 35 persen milik Shell. Namun, pada 2020, Shell mendadak memutuskan hengkang.
Ahli teknik perminyakan yang juga Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) periode 2005-2008, Kardaya Warnika, berpendapat, dari sisi hukum, berdasarkan Undang-Undang yang berlaku (UU No 22/2021 tentang Migas), kontrak di Masela seharusnya sudah terputus otomatis (automatically terminated).
”PoD (perencanaan pengembangan) pertama itu pada 2010 dan lima tahun sejak diberi persetujuan harus sudah dimulai. Kalau ada alasan tidak ekonomis, tidak ada urusan. Itu sudah menjadi risiko. Seandainya UU itu diterapkan, maka (Masela) kembali ke negara,” ujar Kardaya, yang juga anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Gerindra.
Di sisi lain, menurut dia, perusahaan yang memiliki teknologi yang mendukung pengelolaan dengan kapasitas sebesar di Blok Masela ialah Shell. Sementara Pertamina, kemampuan teknologi dan finansialnya belum memungkinkan jika sendirian menggantikan Shell. Ia pun lebih mendorong Pertamina mencari wilayah kerja yang lebih memungkinkan untuk dikerjakan.
Terdepan
Sebelumnya, di Jakarta, Jumat (6/1/2023), Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, Pertamina hampir pasti menggantikan Shell. Pertamina menjadi perusahaan pertama yang masuk, meminta data room, dan perkembangannya paling maju.
”Jadi yang baru masuk minta buka data room dan kemudian sudah agak jelas angkanya ya Pertamina. (Transaksi dengan Shell) Kalau sudah deal, ya langsung. Itu kan masalah legal. (Kami) Maunya cepat supaya ada kepastian. Namun, paling tidak, kini Inpex sudah mulai jalan dengan program-program yang sebelumnya tertahan,” katanya.
Arifin mengaku tidak tahu pasti nilai akhir kesepakatan antara Pertamina dan Shell karena biasanya masih akan ada negosiasi lagi. ”(Kisarannya) Plus minus 1 billion (1 miliar) dollar AS,” ujarnya.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, di Kementerian ESDM, Kamis (5/1/2023), menuturkan, proses pembicaraan Shell dengan Pertamina terkait Blok Masela positif. ”Lanjut ke binding offer bulan-bulan ini. Prosesnya berlanjut. (Nilainya) Rahasia, tetapi lanjut artinya ada kata sepakat untuk dilanjutkan proses lebih jauh,” kata Tutuka.
Binding offer (penawaran mengikat) menjadi tahapan setelah proses non-binding offer. Adapun keputusan finalnya, kata Tutuka, menunggu kesepakatan. Apabila binding offer selesai dan berlanjut, baru akan mendekati pengambilalihan 35 persen saham.
Blok Masela sejak lama dirundung masalah. Pada 2015, misalnya, muncul perdebatan apakah kilang LNG terapung atau kilang LNG di darat. Namun, Presiden Joko Widodo kemudian memutuskan kilang dibangun di darat dan Inpex diminta mengajukan kembali revisi pengembangannya sesuai dengan keputusan presiden tersebut.
Dikutip dari laman Kementerian ESDM, PoD pertama telah ditandatangani tahun 2010. Pada tahun 2014, diajukan revisi PoD pertama di mana kapasitas produksi diusulkan menjadi 7,5 juta ton per tahun (MTPA) secara terapung dari sebelumnya 2,5 juta MTPA. Itu setelah diidentifikasi cadangan di Blok Masela jauh lebih besar, mencapai 10,37 triliun kaki kubik (TCF).