Terkait Hengkangnya Shell dari Masela, Pemerintah Perlu Cari Terobosan
Faktor keekonomian tidak lagi menjadi faktor tunggal yang membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Blok Masela. Di sisi lain, ada aspek ketidakpastian kebijakan yang dilihat oleh investor.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum adanya pengganti Shell sebagai mitra Inpex Corporation dalam pengelolaan Blok Masela di Maluku disebut akibat kombinasi perihal keekonomian dan ketidakpastian kebijakan. Diperlukan strategi seperti mendekatkan industri ke sumber gas. Selain itu, karakter gas yang kompleks juga membuat pengembangan lambat.
Proyek hulu migas Blok Masela di laut lepas Maluku, yang kaya akan gas alam, berjalan lambat. Ditemukan tahun 2000 oleh Inpex Corporation (Jepang), kemudian masuk Shell (Belanda) pada 2011, yang membuat komposisi saham 65 persen untuk Inpex dan 35 persen milik Shell. Namun, pada 2020, Shell memutuskan hengkang dan hingga kini belum ada penggantinya. Hingga kini, gas Blok Masela belum juga diproduksikan.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro saat dihubungi, Senin (5/12/2022), di Jakarta, mengatakan, perihal keekonomian tidak lagi menjadi faktor tunggal yang membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Blok Masela. Di sisi lain, ada aspek ketidakpastian kebijakan yang dilihat oleh investor. Terlebih, menjelang tahun politik, ada kemungkinan investor menilai setelah 2024 situasi akan lebih pasti.
”Kuncinya tak hanya di pemerintah yang telah berupaya, misalnya, memberi insentif dan keringanan perpajakan. Investor juga memerlukan kepastian. Harapan utama ada di Pertamina. Sebagai BUMN, akan lebih mudah jika mereka masuk (menggantikan Shell). Namun, itu tidak sederhana karena Pertamina juga harus mengelola Blok Mahakam dan Blok Rokan,” ujar Komaidi.
Menurut Komaidi, upaya mencari calon investor di hulu ini kian kompleks karena cadangan energi di Masela berupa gas. Pasalnya, pasar gas di dalam negeri belum sekompetitif di luar negeri. Terlebih ada kebijakan harga 6 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU) untuk industri tertentu di dalam negeri.
Perlakuan khusus pada gas juga membuat situasi kompleks. Sebab, sebelum ada pembeli (gas), lapangan gas tak bisa segera diproduksikan. Apabila hal tersebut terjadi pada minyak, situasinya diyakini akan lebih sederhana. Oleh karena itu, lanjut Komaidi, paling tidak perlu ada strategi dari pemerintah.
”Misalnya, memindahkan atau membuat industri ke dekat sana (Masela). Kalau industri tetap ada di Jawa dan Sumatera, akan memakan biaya untuk membangun pipa ataupun dijadikan LNG (gas alam cair) yang ujung-ujunganya tak ekonomis,” ujar Komaidi.
Namun, kalaupun industrinya dipindah ke dekat Masela, perlu ada kalkulasi seperti apakah infrastrukturnya menunjang atau tidak. Juga tujuan pengiriman setelah diproduksi. Apabila pasarnya tetap Jawa dan Sumatera, akan ada biaya angkut yang bisa menjadi membebani atau dirasa memberatkan. Peran gas sendiri ganda dan strategis.
”Selain dukungan energi, juga bahan baku untuk industri kimia dan pupuk. Dua-duanya penggerak perekonomian kita. Di sisi lain, pada aspek energi, gas menjadi jembatan dalam transisi energi. Saat energi terbarukan belum siap, peningkatan porsi gas akan menurunkan emisi karbon secara signifikan. Kesadaran pemerintah akan dua sisi penting gas ini yang perlu ditingkatkan,” ujar Komaidi.
Fleksibilitas
Sebelumnya, di Jakarta, Jumat (2/12/2022), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, hingga kini belum ada pengganti Shell yang tiba-tiba hengkang karena hendak masuk ke bisnis energi terbarukan. Pihaknya pun telah roadshow untuk menawarkan pengelolaan Blok Masela, menjadi mitra Inpex.
”Terakhir ini, status dari dalam negeri, Pertamina sedang due diligence (penilaian lebih lanjut) dan (ada) minat Petronas untuk bisa partisipasi masuk. Diharapkan (pemerintah) jika semua pihak mau bekerja sama dan bahu-membahu. Harus ada fleksibilitas dan sejauh ini pemerintah terus mendukung penuh,” ujar Arifin.
Pihaknya pun nanti akan melihat revisi rencana pengembangan (plan of development/POD), yang salah satu di dalamnya ialah konten untuk menginjeksi CO2 dengan metode carbon capture. Dalam POD sebelumnya, hal tersebut tidak tertuang. Dengan adanya teknologi itu, akan ada konsekuensi pada biaya. Pihaknya pun akan melihat lebih jauh keekonomiannya.
Arifin tidak yakin jika penetapan pengganti Shell untuk Blok Masela akan dilakukan pada sisa waktu 2022. ”Diharapkan setidaknya semester I-2023. (Target produksi), kami masih memegang target yang 2027 (POD lama), tetapi kalau POD baru, mau di-propose kapan belum tahu. Belum bisa bicara,” ucap Arifin.
Momentum pembenahan
Sementara itu, pada Senin (5/12/2022), Arifin melantik kepala dan jajaran pimpinan Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) 2022-2026. Dwi Soetjipto, yang memimpin SKK Migas pada 2018-2022, kembali ditunjuk menjadi kepala lembaga itu. Adapun Wakil Ketua SKK Migas ialah Nanang Abdul Manaf.
Arifin menuturkan, SKK Migas diharapkan lebih dinamis serta cepat dalam pengambilan keputusan, terutama terkait pelayanan kepada para pemangku kepentingan. Juga, ada perbaikan proses bisnis serta semakin mengoptimalkan sumber daya yang ada. Saat ini pun menjadi momentum untuk transformasi, pembenahan, dan perbaikan tata kelola organisasi.
Ia juga menyoroti produksi dan lifting (produksi siap jual) migas, khususnya minyak, yang masih di bawah target APBN. ”Target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030 agar dilakukan percepatan untuk kurangi impor sehingga pemerintah memiliki ruang lebih luas untuk pembiayaan pengembangan energi terbarukan,” kata Arifin.
Dalam transisi energi, ujar Arifin, minyak bumi masih sebagai energi utama untuk transportasi sebelum digantikan kendaraan listrik. Sementara gas bumi dimanfaatkan sebelum tercapainya 100 persen energi terbarukan di sektor pembangkit.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dyah Roro Esti, yang hadir secara daring, mengatakan, pihaknya berharap kinerja SKK Migas ditingkatkan demi terealisasikannya target-target nasional. Ia juga mengingatkan agar dipantau bagaimana kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dapat menerapkan sistem pengembangan rendah karbon.