Praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur tidak hanya dilakukan kapal asing. Pelanggaran itu juga banyak dilakukan kapal Indonesia.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur masih mendominasi pelanggaran keamanan laut di Indonesia. Bahkan, praktik tersebut kerap diikuti dengan penyelundupan dan perbudakan. Pengawasan di perairan yang tergolong rawan dinilai kian krusial.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI mencatat, kasus penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) menempati puncak pelanggaran keamanan laut selama tiga tahun berturut-turut (2020-2022). Selain itu, ada pula kasus penyelundupan barang dan perdagangan manusia.
Indeks Keamanan Laut Indonesia pada 2022 hanya 53 atau kategori cukup. Indeks tersebut lahir dari hasil evaluasi Bakamla terkait kapasitas patroli dan pemantauan, serta kemampuan pengendalian kejahatan, pelanggaran, pencemaran, hingga kecelakaan di laut.
Deputi Operasi dan Latihan Bakamla RI Bambang Irawan mengatakan, pelanggaran IUU Fishing kerap diiringi dengan kejahatan laut lainnya. Sebab, kapal ikan terkadang tidak murni untuk menangkap ikan, melainkan juga dimanfaatkan sebagai alat penyelundupan, perbudakan, hingga perdagangan manusia.
”Selain itu, IUU Fishing juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan transnasional karena melibatkan lebih dari satu negara,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Tackling Challenges of IUU Fishing”, di Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Acara itu diselenggarakan Pusat Kebudayaan AS @america bekerja sama dengan lembaga riset pertahanan Indonesia Strategic & Defence Studies (ISDS). Selain Bambang, turut hadir sebagai pembicara Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Anastasia Kuswardani; pengajar mitra Hubungan Internasional di Binus University, Dinna Prapto Raharja; dan wartawan harian Kompas Lukita Grahadyarini.
Dengan kemampuan ini (32 kapal), kami tahu belum cukup untuk menangani kejahatan laut yang kemungkinan terjadi. Karena itu, strategi perlu dirumuskan untuk memperkuat pengawasan perairan.
Dalam hal ini, Bambang mencontohkan kasus dua kapal asal China yang membawa jenazah warga negara Indonesia. Kapal ikan tersebut beroperasi di perairan negara lain dan bisa membawa berbagai muatan ilegal. Awak kapal ikan juga dapat berasal dari beragam negara yang dapat berpotensi menjadi penyelundupan hingga perbudakan.
Untuk mengawasi perairan, Bakamla hanya memiliki 32 kapal yang terdiri dari satu kapal negara (KN) dengan panjang 110 meter, tiga KN sepanjang 80 meter, enam KN sepanjang 48 meter, dan 22 kapal patroli kecil (high-speed craft/HSC). Pengawasan juga dibantu oleh stasiun pantai dan instrumen lainnya.
”Dengan kemampuan ini (32 kapal), kami tahu belum cukup untuk menangani kejahatan laut yang kemungkinan terjadi. Karena itu, strategi perlu dirumuskan untuk memperkuat pengawasan perairan,” kata Bambang.
Strategi tersebut dapat berupa sinergitas antarenam lembaga, yakni Bakamla, TNI Angkatan Laut, Polri, KKP, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perhubungan. Keenamnya dapat merumuskan kebijakan seperti patroli bersama untuk menutupi kekurangan satu sama lain.
Anastasia Kuswardani mengatakan, pelanggaran IUU Fishing yang dilakukan kapal asing rawan terjadi di perairan utara Indonesia. Wilayah tersebut, antara lain, perairan Natuna, Sulawesi Utara, Maluku, dan Laut Arafura.
Merujuk data KKP, kapal-kapal yang ditangkap melakukan pelanggaran IUU Fishing, selama lima tahun dari 2018-2022, paling banyak merupakan kapal Indonesia. Jumlahnya 346 dari 570 pelanggaran atau setara dengan 60 persen dari total pelanggaran IUU Fishing.
Dengan demikian, pelanggaran IUU Fishing tidak hanya sebatas yang dilakukan kapal asing. Kapal-kapal Indonesia yang beroperasi juga perlu diawasi dari sebelum penangkapan, saat penangkapan, pendaratan, dan setelah pendaratan ikan.
Mengutip data KKP, ada 936.249 unit armada perikanan laut nasional. Jumlah tersebut terdiri dari 427.309 unit perahu motor tempel, 192.653 unit perahu tanpa motor, dan 316.249 kapal motor.
Dinna Prapto Raharja menyebutkan, pengawasan yang lemah di pelabuhan dan laut serta kerentanan masyarakat pesisir, seperti terlibat jerat utang dan model bisnis berbiaya tinggi, semakin mendorong maraknya pelanggaran IUU Fishing.
”Kapal-kapal Indonesia lebih memilih menjual ikan yang ditangkap ke pelabuhan di Singapura, misalnya. Sebab, hal itu dianggap lebih murah dan menguntungkan untuk mereka,” tuturnya.