Perikanan Ilegal Berpotensi Meningkat
Ancaman penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur berpotensi meningkat. Sinergi pengawasan diperlukan untuk mengantisipasi pelanggaran di wilayah perairan.
JAKARTA, KOMPAS — Praktik penangkapan ikan ilegal tercatat masih mendominasi kasus pelanggaran di laut Indonesia. Ancaman perikanan ilegal diprediksi bakal meningkat seiring berlakunya kebijakan penangkapan ikan terukur. Pemerintah meningkatkan sinergi patroli pengawasan keamanan laut mulai tahun ini.
Dari data Badan Keamanan Laut, pada 2022 kasus penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing) menempati peringkat tertinggi dalam pelanggaran keamanan laut di Indonesia, disusul oleh kasus penyelundupan.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, pemerintah perlu meningkatkan peran pengawasan usaha perikanan. Penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur mulai tahun ini dinilai berpotensi meningkatkan pelanggaran, terutama penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing).
Ia menambahkan, pemerintah telah resmi membuka keran investasi bagi pemodal-pemodal asing pada usaha kapal penangkapan ikan. Terkait hal tersebut, instrumen dan operasional pengawasan perlu ditingkatkan, serta memperkuat mekanisme pelaporan hasil tangkapan, baik bagi kapal milik penanaman modal asing maupun kapal dalam negeri.
”Perlu diantisipasi unreported fishing (penangkapan ikan yang tidak dilaporkan). Pemerintah mesti memperkuat mekanisme agar pelaporan hasil tangkapan bisa disiplin,” ujar Abdi saat dihubungi, Selasa (18/4/2023).
Ia menambahkan, pelanggaran juga berpotensi marak untuk kapal ikan Indonesia (KII) dengan ukuran di bawah 30 gros ton (GT). Kapal-kapal itu berpotensi beroperasi tanpa dokumen dan izin pemerintah provinsi. Pergerakan kapal-kapal ini akan sulit dideteksi karena tidak dilengkapi sistem monitoring kapal (VMS) dan sistem identifikasi otomatis (AIS). Sementara itu, pemerintah provinsi tidak memiliki kecukupan sarana, prasarana dan anggaran untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran zona tangkapan kapal.
”Titik rawan pelanggaran kapal ikan berukuran dibawah 30 GT, yakni melanggar wilayah tangkapan hingga di atas zona 12 mil laut. Peran dan tanggung jawab provinsi dalam melakukan pengawasan seharusnya lebih besar,” kata Abdi.
Baca Juga: Kapal Ikan Ilegal Masih Mengancam Perairan Indonesia
Deputi Operasi dan Latihan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, Laksamana Muda Bakamla Bambang Irawan, mengemukakan, praktik IUU Fishing masih menjadi fenomena tertinggi dari 11 jenis pelanggaran yang mengancam keamanan dan keselamatan laut Indonesia. Dicontohkan, selama tahun 2019-2022, sebanyak 136 kapal ikan asing ilegal berbendera Vietnam ditangkap oleh Bakamla, TNI AL, Kepolisian RI, dan aparat pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Selain penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur tersebut, jenis pelanggaran keamanan laut lainnya adalah penyelundupan narkoba dan minuman keras, senjata, bahan bakar minyak, barang muatan kapal tenggelam (BMKT) dan hewan. Selain itu, pelanggaran wilayah, penebangan liar, pertambangan ilegal, perdagangan manusia, perilaku anomali, perampokan, dan kapal tanpa dokumen.
Pada tahun 2023, ancaman keamanan laut diproyeksikan masih sama, antara lain IUU Fishing, penyelundupan narkoba dan senjata, pelanggaran wilayah, pencemaran laut, dan perilaku anomali yang akan menjadi prioritas perhatian.
Praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing) di Laut Arafura berpotensi meningkat seiring dibukanya kegiatan penangkapan ikan terukur. ”Terdapat potensi peningkatan IUU Fishing terutama di Laut Arafura yang akan dibuka untuk penangkapan ikan terukur. Kami akan lakukan patroli bersama di Laut Arafura untuk mengantisipasi (pelanggaran) sedini mungkin,” ujar Bambang, dalam dalam Diskusi ”Ancaman Keamanan Laut di Wilayah Perairan dan Yurisdiksi Indonesia periode Januari-Maret 2023, yang diselenggarakan Indonesia Ocean Justice Initiative, secara daring, Senin (17/4/2023).
Bakamla telah mengevaluasi dan membuat indeks keamanan laut Indonesia pada tahun 2022, dengan nilai indeks 53 atau kategori cukup. Diperlukan terobosan agar keamanan dan keselamatan laut bisa terus meningkat. Upaya peningkatan keamanan dan keselamatan laut sangat dipengaruhi faktor kuantitas waktu dalam patroli, jumlah kapal dan jangkauan. Hingga kini, jumlah stasiun dan jangkauan pengamatan perairan laut masih terbatas. Bakamla berencana membangun tambahan 35 stasiun pengamatan pada tahun ini.
Patroli Bersama
Bambang menambahkan, terbitnya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia diharapkan mendorong patroli nasional yang melibatkan seluruh kementerian dan lembaga yang terkait pengawasan dan penegakan hukum, serta berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara, dan Badan Intelijen Strategis. Selain itu, dilakukan pula integrasi sistem informasi pada 11 kementerian/lembaga terkait.
Patroli nasional keamanan laut ditopang kekuatan armada patroli masing-masing institusi pengawasan dan penegakan hukum. Rencana sebaran kekuatan armada itu meliputi TNI AL dengan tiga kapal KRI, Bakamla 7 unit kapal, Kementerian Kelautan dan Perikanan 2 unit kapal, Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) 2 unit kapal, Bea Cukai 2 unit kapal, dan Kepolisian Air 2 unit kapal.
Keterbatasan anggaran membuat patroli bersama pada tahun 2023 masih terbatas, yakni berjumlah 60 hari dari yang awalnya direncanakan 90 hari. Tahun 2024, jumlah hari patroli bersama, menurut rencana, ditingkatkan menjadi 120 hari. Wilayah sasaran patroli bersama tahun ini 2023 meliputi Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna Utara, perairan Kalimantan Utara, Selat Makassar dan Laut Arafura.
Baca Juga: Indonesia Perlu Kombinasi Patroli dan Pengawasan Maritim
Panglima Komando Armada (Pangkoarmada) I TNI AL, Laksamana Muda Erwin S. Aldedharma, mengemukakan, pihaknya terus berupaya menjaga keamanan perairan terhadap kegiatan ilegal, seperti kekerasan, perompakan, pembajakan, pencurian, dan pencemaran. Namun, upaya menjaga keamanan laut belum ditunjang kecukupan sarana dan prasarana, seperti bahan pangan, bahan bakar, dan peralatan untuk mendukung operasional.
”Dukungan yang kami terima saat ini bisa dikatakan belum ideal dalam melaksanakan kegiatan (operasional). Bahan bakar kami terbatas untuk memaksimalkan pelaksanaan patroli di Laut Natuna Utara. Sarana, prasarana dan fasilitas lain untuk mengatasi pencemaran di wilayah laut juga masih sangat terbatas,” ujarnya.
Sejak 2023, sudah ada kebijakan baru operasi gabungan terpadu bersama di perairan Natuna Utara, serta di wilayah-wilayah rawan lain yang menjadi perhatian TNI dan pemerintah. Pihaknya siap menjalankan tugas pengawasan dan penjagaan keamanan maritim, sesuai dengan sarana prasarana yang dimiliki.
Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Halid Yusuf, mengemukakan, kapal pengawas perikanan selama Januari-Maret 2023 telah melakukan pemeriksaan 878 unit kapal, meliputi kapal ikan Indonesia 873 unit dan kapal ikan asing 5 unit. Dari jumlah itu, kapal yang ditangkap karena terdeteksi melakukan IUU Fishing meliputi 25 kapal ikan Indonesia, dua kapal ikan berbendera Malaysia dan 1 kapal berbendera Vietnam.
Halid menambahkan, pihaknya menerapkan dua strategi pengawasan untuk mengantisipasi perikanan ilegal tersebut, yakni pengawasan terpadu lintas kementerian dan lembaga, serta pengawasan mandiri dari kapal pengawas perikanan. KKP saat ini memiliki 30 kapal pengawas, dan akan ditambah 13 kapal pengawasan yang akan mulai beroperasi akhir tahun ini.