Liberalisasi Penangkapan Ikan
Penangkapan ikan terukur berbasis kuota siap diterapkan. Sejumlah pekerjaan rumah menanti agar dibukanya keran pemodal asing di penangkapan ikan bisa diimbangi daya saing pelaku usaha dalam negeri.
Setelah dua tahun menuai polemik, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota akhirnya disahkan. Kebijakan pemerintah yang membuka pintu bagi investor asing untuk menangkap ikan di perairan Indonesia ini dipandang menandai dibukanya era persaingan bebas penangkapan ikan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur yang ditandatangani pada 6 Maret 2023 mengatur antara lain pemanfaatan sumber daya ikan secara optimal sesuai daya dukung. Penangkapan ikan terukur berbasis kuota merupakan bagian dari kebijakan ekonomi biru yang digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Wilayah penangkapan ikan dibagi atas enam zona tangkapan ikan pada 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), dengan pemberian kuota tangkapan bagi setiap kapal perikanan. Enam zona itu meliputi Zona 01 di WPPNRI 711 (perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara), Zona 02 meliputi WPPNRI 716 (perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), WPPNRI 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik), dan Laut Lepas Samudra Pasifik. Zona 03 meliputi WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), WPPNRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur), dan WPPNRI 7L4 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda).
Selain itu, Zona 04, meliputi WPPNRI 572 (perairan Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda), WPPNRI 573 (perairan Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat), dan Laut Lepas Samudra Hindia. Zona 05 meliputi WPPNRI 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman), serta Zona 06 meliputi WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa) dan WPPNRI 7l3 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali).
Baca Juga: Penangkapan Ikan Terukur Dijadwalkan pada 2023
Adapun pemberian kuota penangkapan ikan mencakup kuota untuk industri, kuota untuk nelayan Lokal, dan kuota kegiatan nonkomersial. Kuota industri antara lain memberi kesempatan kepada pemodal asing dalam bentuk perusahaan penanaman modal asing (PMA) untuk memperoleh kuota penangkapan ikan di Indonesia. Kuota industri untuk penangkapan ikan ditetapkan dan dievaluasi setiap tahun.
Berdasarkan PP No 11/2023, Pasal 8 Ayat (5), kuota industri yang dapat dimanfaatkan oleh PMA dan perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) meliputi Zona 01, Zona 02, Zona 03, dan Zona 04. Adapun Pasal 8 Ayat (6) menyebutkan, pemanfaatan Zona 05 dan Zona 06 ditujukan hanya untuk PMDN.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, pihaknya tengah menyiapkan peraturan turunan dari PP No 11/2023. Salah satunya, teknis kuota penangkapan ikan dan tata cara penghitungannya. ”Kami perlu mengumpulkan masukan dan dukungan dari para pemangku kepentingan terkait agar segera dapat memberikan dampak dan manfaat untuk masyarakat,” tuturnya, dalam keterangan pers, Senin (20/3/2023).
Sejurus dengan itu, pemerintah akan melakukan uji coba penangkapan ikan terukur pada Zona 03, dengan alokasi kuota tangkapan sebanyak 2,61 juta ton. Zona 03 dapat dimasuki kapal-kapal industri serta kapal-kapal buatan luar negeri milik pelaku usaha dalam negeri ataupun PMA. Terdapat tujuh pelabuhan utama yang disiapkan menjadi pelabuhan pangkalan pada Zona 03, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon, PPN Tual, Pelabuhan Perikanan (PP) Poumako, dan PPN Merauke. Selain itu, dua pelabuhan perikanan swasta, yakni PP Tual milik PT SIS dan PP Benjina milik PT Industri Perikanan Arafura.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Mohammad Abdi Suhufan menilai, beleid tentang Penangkapan Ikan Terukur menandai era baru keterbukaan dan persaingan bebas kegiatan penangkapan ikan di Indonesia oleh industri perikanan melalui PMDN dan PMA. Dari 11 WPPNRI, PMA memperoleh keistimewaan untuk penangkapan ikan di empat zona atau delapan WPPNRI. PMDN mendapat kesempatan serupa, tetapi mempertimbangkan faktor permodalan, teknologi penangkapan dan sumber daya manusia, muncul kekhawatiran PMDN bakal kalah bersaing.
Baca Juga: Penangkapan Ikan Terukur Dinilai Rugikan Nelayan Kecil di Pantura
Keistimewaan bagi pemodal asing dinilai ironis ketika sistem pencatatan produksi, kesiapan pelabuhan-pelabuhan perikanan, serta aspek pengawasan perikanan masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Sementara itu, tak ada jaminan WPPNRI 714 yang merupakan daerah pemijahan dan daerah bertelur ikan tuna bakal tidak dieksploitasi. Muncul kekhawatiran, laut dan perikanan Indonesia bakal didominasi asing.
”Pelaku usaha dalam negeri dipastikan kalah bersaing dengan PMA yang lebih unggul dari segi modal, teknologi penangkapan ikan dan sumber daya manusia. Menjadi kekhawatiran bersama jika laut dan perikanan Indonesia akan dikuasai oleh dominasi asing dengan segala bentuk dan takaran yang berbeda-beda,” tutur Abdi saat dihubungi, beberapa waktu lalu.
Abdi menambahkan, salah satu sorotan publik selama ini adalah ketidaksiapan pelabuhan perikanan pemerintah. Ketidaksiapan itu dijawab dengan mengakomodasi pelabuhan umum dan pelabuhan perikanan swasta untuk pelaksanaan penangkapan ikan terukur. Namun, rekam jejak beberapa pelabuhan swasta terindikasi menjadi tempat praktik ilegal dan penangkapan ikan tidak dilaporkan (unreported fishing).
Pada 2015, pemerintah mencabut izin 15 perusahaan perikanan yang tergabung dalam empat perusahaan besar, yakni Pusaka Benjina Group di Maluku, Dwikarya Group di Merauke (Papua), Mabiru Group (Maluku), dan Maritim Timur Jaya Group di Tual (Maluku) terkait perikanan ilegal (Kompas, 23/6/2015).
Selain itu, Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 Susi Pudjiastuti mencabut izin usaha perikanan PT Pusaka Benjina Resources, anak perusahaan Pusaka Benjina Group, menyusul terungkapnya kasus perbudakan dan perikanan ilegal. Indikasi perbudakan terhadap ABK asing pada kapal-kapal yang dioperasikan PT Pusaka Benjina Resources awalnya diberitakan kantor berita Associated Press. Ada ABK yang diperlakukan tidak manusiawi, antara lain dipaksa bekerja 20-22 jam per hari, dikurung, disiksa, dan tidak diupah.
Abdi mengemukakan, pengawasan terhadap penangkapan ikan terukur, termasuk sistem pelaporan mandiri hasil tangkapan oleh pelaku usaha perikanan lewat e-PIT, berpotensi memicu pelanggaran jika tidak diimbangi sistem pengawasan intensif. Pelabuhan perikanan membutuhkan kesiapan prosedur standar operasional, sistem pendataan dan pengawas. Pengawasan perairan juga membutuhkan sistem operasi laut dan pengawasan berbiaya tinggi.
Minat investasi
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi saat dihubungi, Rabu (8/3), mengemukakan, sudah ada pelaku-pelaku usaha asing asal China dan Thailand yang serius berinvestasi pada industri penangkapan ikan di Indonesia. Pemerintah RI akan meneken perjanjian kerja sama (PKS) dengan Pemerintah China dan Thailand guna menjamin kepastian usaha, selain itu memastikan kapal-kapal milik PMA yang masuk ke Indonesia wajib berbendera Indonesia dan tunduk pada peraturan di Indonesia.
Perjanjian itu membuka kerja sama bagi usaha penangkapan ikan antara perusahaan dalam negeri dan pemodal asing sesuai dengan aturan yang diterbitkan Pemerintah Indonesia. Kepemilikan saham untuk perusahaan patungan dalam negeri dan asing itu berbanding 51:49 persen. Perusahaan akan mendapatkan kuota tangkapan yang dievaluasi setiap tahun.
Baca Juga: Penangkapan Ikan Terukur Butuh Pengawasan Ketat
”Ada beberapa negara. Untuk memastikan investasi mereka terlindungi, mereka minta perjanjian kerja sama. Mereka tidak mau mengizinkan kapalnya masuk (Indonesia) kalau tidak ada PKS karena takut seperti sebelumnya, tiba-tiba (usaha) di tengah jalan tutup karena aturan berubah,” ucapnya.
Zaini menambahkan, perusahaan PMA dengan kapal penangkapan ikan berukuran di atas 100 gros ton (GT) ataupun kapal-kapal buatan luar negeri dibatasi zona tangkapannya, yakni pada zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) 12-200 mil. ZEEI tercatat hanya pada WPPNRI 711, 572, 573, 716, 717, dan 718.
Sebaliknya, kapal-kapal di bawah 100 GT, kapal nelayan lokal dan pelaku usaha dalam negeri dapat beroperasi pada perairan pedalaman di bawah 12 mil serta laut lepas. Perairan pedalaman merupakan perairan pada sisi darat (dalam) garis pangkal laut teritorial. Dicontohkan, WPPNRI 715 hanya boleh dimasuki kapal di bawah 100 GT.
”Perlu digarisbawahi, kapal-kapal di atas 100 GT atau kapal-kapal buatan luar negeri hanya boleh beroperasi di ZEEI. Kami tetap melindungi nelayan lokal dan nelayan PMDN, bahwa perairan pedalaman gak bisa dimasuki kapal buatan luar negeri. Kalau (kapal) yang besar masuk, kapal kecil bisa habis,” tutur Zaini.
Di sisi lain, masih ada celah pelanggaran kapal-kapal milik PMA atau kapal-kapal buatan luar negeri di ZEEI untuk masuk diam-diam ke perairan pedalaman. Selain merugikan, pelanggaran itu berpotensi memicu konflik dengan nelayan lokal. Namun, sanksi administratif akan dikenakan untuk memberikan efek jera.
“Yang agak susah, kalau dia (kapal milik pemodal asing) di ZEEI, nyolong sedikit masuk ke perairan pedalaman di malam hari. Ini yang nakal. Tetapi, dari tracking (penelusuran) bisa ketahuan dan akan kena sanksi administratif agar jera,” katanya.
Ketua I Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus mengemukakan, kapal-kapal nasional selama ini mampu mengeksplorasi laut sendiri hingga ke perairan ZEEI. Kebijakan penangkapan ikan terukur dinilai akan mendorong persaingan sangat ketat antara kapal milik pelaku usaha dalam negeri dan kapal milik PMA. Dicontohkan, kapal-kapal rawai (longline) tuna dalam negeri yang beroperasi di ZEEI rata-rata berukuran di bawah 30 GT. Kapal-kapal itu akan berhadapan langsung dengan kapal-kapal milik PMA.
Dwi Agus menambahkan, suka atau tidak suka, pelaku usaha perikanan Indonesia kini wajib mengerti perilaku liberalisasi usaha perikanan. Namun, ia meminta pemerintah menerapkan batasan waktu tangkapan ikan dan membatasi jumlah kapal penangkapan ikan pada semua jenis kapal tangkap, berikut alat tangkapnya.
”Kalau tidak (dibatasi), babak belur usaha perikanan tangkap kita,” ucapnya.
Kebijakan mengundang investasi asing dan kapal ikan asing guna mendorong PNBP perikanan bukan hal baru di Indonesia. Dalam catatan Kompas, pemerintah membuka-tutup keran investor asing dan kapal asing dalam beberapa periode. Dengan alasan keterbatasan modal dan teknologi, pemerintah membuka izin kapal perikanan berbendera asing di perairan Indonesia pada 1985-1990, lalu berganti menjadi izin sewa kapal asing untuk perikanan periode 1990-1999.
Tahun 2003-2006, pemerintah membuka lagi izin kapal ikan asing beroperasi di Indonesia. Pada 2006-2013, pemerintah kembali melarang kapal asing, tetapi membuka jalur PMA untuk investasi kapal penangkapan ikan. Pada 2014, pemerintah menerbitkan moratorium (penghentian sementara) izin kapal-kapal ikan buatan luar negeri. Selama 2000-2014, saat WPPNRI dipadati oleh kapal asing dan modal asing, angka realisasi PNBP di KKP rata-rata hanya di bawah Rp 300 miliar per tahun.
Sekretaris Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Jakarta Muhammad Bilahmar mengemukakan, perusahaan PMA masih berpeluang menggunakan kapal-kapal kayu buatan dalam negeri dengan ukuran di bawah 100 GT. Ia menyoroti, selama periode 2000-2014, saat WPPNRI dipadati oleh kapal asing dan modal asing, kapal-kapal milik PMA banyak berukuran di bawah 30 GT sehingga masuk hingga ke perairan pedalaman. Hal itu menuai konflik dan berbenturan dengan nelayan lokal, selain eksploitasi sumber daya ikan. Ia mengingatkan, pencapaian terbesar PNBP di KKP justru didapatkan dari kapal-kapal ikan nasional ketika kapal asing dan modal asing dilarang.
Baca Juga: Sistem Kontrak Penangkapan Ikan Terbuka untuk Investor Domestik dan Asing
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana berpendapat, penangkapan ikan terukur berbasis kuota akan lebih banyak dinikmati pemodal besar kapal perikanan dengan alat tangkap yang modern dan maju. Sebaliknya, nelayan kecil serba terbatas dengan permodalan dan alat tangkap. Langkah pemerintah untuk membangun 10 kampung nelayan maju terintegrasi dinilai tidak sebanding dengan kebijakan pemerintah yang membuka investasi untuk pemodal besar.