Ikan untuk Siapa?
Perppu Cipta Kerja yang menggantikan UU Cipta Kerja terus menuai polemik. Di sektor kelautan dan perikanan, regulasi itu dinilai mendorong liberalisasi pemanfaatan sumber daya.
Meski kemunculannya menuai polemik, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja diyakini pemerintah akan mendorong investasi. Dorongan investasi, antara lain, tecermin di sektor kelautan dan perikanan dengan peluang bagi pemodal asing ataupun usaha asing untuk memanfaatkan sumber daya ikan di perairan Indonesia dan pulau-pulau kecil.
Salah satu substansi Perppu Cipta Kerja yang dinilai melonggarkan perizinan dan investasi adalah perubahan substansi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (jo) UU Nomor 45 Tahun 2009. Revisi itu, antara lain, menghapus ketentuan izin usaha perikanan (SIUP), izin penangkapan ikan (SIPI), dan izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Sebagai gantinya, Perppu Cipta Kerja mewajibkan pelaku usaha perikanan untuk memenuhi perizinan berusaha.
Penguatan akses penangkapan ikan oleh pemodal asing terlihat dengan dipertahankannya ketentuan yang membolehkan kapal ikan asing untuk menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI). Sementara, Pasal 35A Ayat (2) dalam UU Perikanan dihapuskan, yakni kewajiban kapal ikan asing yang menangkap ikan di ZEEI untuk mempekerjakan paling sedikit 70 persen anak buah kapal (ABK) Indonesia.
Adapun pemberian sanksi administratif lebih ditekankan untuk penanganan pelanggaran usaha di sektor kelautan dan perikanan. Sanksi administratif itu berupa peringatan, denda administratif, pembekuan, hingga pencabutan izin. Upaya mengedepankan sanksi administratif sempat menuai polemik di masyarakat sewaktu UU Cipta Kerja digulirkan.
”Secara substansial, Perppu Cipta Kerja hampir sama dengan UU Cipta Kerja No 11/2020. Ini memberikan peluang besar bagi perusahaan besar dan pemodal asing untuk masuk dan memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia,” kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch, Mohammad Abdi Suhufan, saat dihubungi, Jumat (27/1/2023).
Sejalan dengan Perppu Cipta Kerja, pada tahun 2023 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memulai penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Kebijakan itu membuka kesempatan bagi pelaku usaha dalam negeri dan investor asing dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) untuk mengembangkan usaha penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (WPP RI). Selain itu, kapal ikan asing juga diizinkan untuk menangkap ikan di ZEEI.
Penangkapan ikan terukur berbasis kuota membagi perairan Indonesia atas beberapa zona, yakni zona industri, zona nelayan lokal, dan zona penangkapan terbatas. Zona industri perikanan meliputi empat zona di tujuh WPP RI, yakni WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan WPP 717 (Teluk Cenderawasih dan Samudra Pasifik).
Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera) dan WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur), serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).
Sebagai bagian dari kebijakan penangkapan ikan terukur, pemerintah mengalihkan penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dari pra produksi menjadi pascaproduksi. Dengan kesatuan pengelolaan itu, pemerintah menargetkan PNBP sektor perikanan tangkap mencapai Rp 12 triliun pada tahun 2024. Pada tahun 2022, capaian PNBP perikanan tangkap tercatat Rp 1,2 triliun.
Abdi menilai, WPP RI selama ini menjadi andalan wilayah tangkapan ikan bagi kapal-kapal perikanan milik pelaku usaha dalam negeri. Dibukanya akses kapal-kapal milik pemodal asing dengan berbalut badan hukum Indonesia dikhawatirkan akan berbenturan dan meminggirkan kapal-kapal ikan dalam negeri yang beroperasi di WPP RI. Di sisi lain, kapal berbendera asing yang beroperasi di ZEEI tidak lagi diwajibkan untuk mempekerjakan ABK Indonesia sehingga menutup kesempatan kerja bagi ABK Indonesia.
”Dengan mayoritas nelayan Indonesia belum sejahtera, kapal-kapal penangkapan ikan milik pemodal asing seharusnya tidak boleh masuk ke perairan teritorial. Masuknya PMA perlu dibatasi, yakni untuk kapal besar dengan wilayah tangkap hanya di ZEEI,” kata Abdi.
Abdi menambahkan, masuknya PMA untuk usaha perikanan tangkap harus diimbangi persyaratan dan kriteria yang ketat serta pengawasan yang optimal. Selain itu, konsistensi dalam penegakan sanksi terhadap pelanggaran. ”Kerap terjadi, penetapan kriteria investor asing yang tidak jelas membuka celah negosiasi antara pemerintah dan pemilik modal,” katanya.
Baca juga: Kapal Ikan Asing Kian Tak Terbendung di Natuna
Di sisi lain, penghapusan SIPI, SIUP, dan SIKPI dikhawatirkan dapat menyebabkan tingkat kepatuhan pelaku usaha akan sulit ditentukan secara spesifik. Selama ini, kepemilikan SIPI dan SIKPI dijadikan instrumen kepatuhan pelaku usaha, di antaranya terkait pemenuhan kewajiban alat tangkap dan wilayah penangkapan ikan. Skema perizinan berusaha dinilai terlalu umum untuk bisa mengukur kepatuhan pelaku usaha perikanan.
Estimasi stok ikan berdasarkan potensi lestari pada tahun 2022 sebesar 12,01 juta ton per tahun. Dari stok ikan lestari itu, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 8,6 juta ton. Data stok itu belum termasuk potensi kelompok jenis tuna dan cakalang yang diperkirakan 1,26 juta ton per tahun.
Dari riset Litbang Kompas, potensi ekonomi kelautan Indonesia yang kaya belum berbuah kesejahteraan bagi nelayan yang bermukim di sekitarnya. Pesisir justru menjadi kantong kemiskinan ekstrem serta kerentanan sosial dan ekonomi warga di kawasan tersebut. (Kompas 26/1/2023).
KKP mendata, hingga pertengahan Desember 2022, kapal yang mengantongi izin penangkapan ikan dari pemerintah pusat sekitar 6.000 kapal. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini menegaskan, pemberian kuota tangkapan ikan diprioritaskan bagi kapal-kapal ikan dalam negeri. Adapun sisa kuota baru akan ditawarkan ke investor. Itu pun masih akan menyisakan alokasi kuota.
”Hasil produksi perikanan saat ini masih jauh di bawah jumlah tangkapan yang dibolehkan. Produksi perikanan tangkap yang dilaporkan hanya 6-7 juta ton per tahun,” kata Zaini, pada pertengahan Desember 2022.
Jejak kelam
Kebijakan mengundang investasi asing dan kapal ikan asing guna mendorong PNBP perikanan bukan hal baru di Indonesia. Dalam catatan Kompas, pemerintah membuka-tutup keran investor asing dan kapal asing dalam beberapa periode. Dengan alasan keterbatasan modal dan teknologi, pemerintah membuka izin kapal perikanan berbendera asing di perairan Indonesia pada tahun 1985-1990, lalu berganti menjadi izin sewa kapal asing untuk perikanan periode 1990-1999.
Tahun 2003-2006, pemerintah membuka lagi izin kapal ikan asing beroperasi di Indonesia. Pada tahun 2006-2013, pemerintah kembali melarang kapal asing, tetapi membuka jalur PMA untuk investasi kapal penangkapan ikan. Pada 2014, pemerintah menerbitkan moratorium (penghentian sementara) izin kapal-kapal ikan buatan luar negeri.
Sementara itu, selama tahun 2000-2014, saat WPP RI dipadati oleh kapal asing dan modal asing, angka realisasi PNBP di KKP rata-rata hanya di bawah Rp 300 miliar per tahun. Realisasi PNBP baru meningkat sejak tahun 2017 setelah pemerintah memberlakukan penghentian sepenuhnya izin kapal-kapal buatan luar negeri. Pada 2017, PNBP menembus Rp 350 miliar, tahun 2019 Rp 521 miliar, tahun 2020 sebesar Rp 600 miliar, dan tahun 2021 Rp 1 triliun.
”Capaian PNBP perikanan tangkap terbesar dalam sejarah berasal dari kapal-kapal ikan nasional. Saat kapal asing dan modal asing dilarang, kapal-kapal ikan Indonesia justru bisa menyumbang PNBP perikanan terbesar,” kata Muhammad Bilahmar, Sekretaris Asosiasi Tuna Indonesia DKI Jakarta, Jumat.
Bilahmar mengingatkan, kebijakan pemerintah untuk membuka kembali investasi asing di kapal perikanan berbendera Indonesia dikhawatirkan mengulang kembali jejak kelam industri perikanan dalam negeri. WPP RI yang menjadi sandaran penghidupan nelayan rawan kembali dikuasai oleh kapal-kapal milik asing. Investor asing akan memodali kapal-kapal nelayan lokal ataupun kapal berukuran lebih kecil demi memperoleh izin penangkapan di perairan teritorial.
Ia menambahkan, pembukaan akses penangkapan ikan bagi pemodal asing di WPP RI dan kapal asing di ZEEI dapat memperburuk stok ikan di WPP RI. Kelemahan utama kebijakan perikanan tangkap selama ini terletak pada pengawasan sehingga memicu eksploitasi ikan berlebih. Penangkapan berlebih akan bertolak belakang dengan target pemerintah untuk mendorong pemanfaatan ikan yang menyejahterakan nelayan dalam negeri.
”Dengan dibukanya keran investasi asing dan kapal bendera asing, (pemanfaatan) ikan kita untuk siapa? Rakyat mana yang akan disejahterakan,” ujar Bilahmar.
Pulau kecil
Selain di sektor perikanan, lebih terbukanya akses pemodal asing atau usaha milik asing juga terlihat untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil. Perppu Cipta Kerja menghapus kewajiban mengutamakan kepentingan nasional dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 26A Ayat (2) UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (jo) UU No 1/2014.
Baca juga: Pemodal Asing Minati Pulau-pulau Kecil
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengemukakan, Perppu Cipta Kerja, terutama yang terkait tata kuasa dan tata kelola sumber daya alam di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil hanya merupakan copy paste dari UU Cipta Kerja. Regulasi itu dipandang meliberalisasi pemanfaatan sumber daya di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Lebih jauh, Perppu Cipta Kerja juga menghapus Pasal 26A Ayat (4) tentang sejumlah persyaratan bagi PMA dalam pemanfaatan pulau kecil dan terluar, yakni badan hukum yang berbentuk perseroan, menjamin akses publik, tidak berpenduduk, dan belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal. Selain itu, bekerja sama dengan peserta Indonesia, melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia, melakukan alih teknologi, serta memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
Menurut Parid, pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh pemodal asing sudah diatur secara ketat dan sangat hati-hati dalam UU No 1 Tahun 2014. Ketika ketentuan itu dihapuskan dalam Perppu Cipta Kerja, maka undang-undang tersebut tidak lagi memperhatikan aspek kehati-hatian dan mitigasi bencana dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil. Padahal, pulau kecil dan perairan sekitarnya memiliki daya tampung terbatas dan kerentanan tinggi akibat percepatan kenaikan permukaan air laut dan dampak krisis iklim.
Perppu Cipta Kerja yang menghilangkan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil terkesan melegalisasi percepatan kerusakan ekologi hingga tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Dalam Jurnal Geologi Kelautan ”Threats Drowning of NKRI’s Outermost Small Islands” yang ditulis oleh Harkins Hendro Prabowo dan Muhamad Salahudin pada tahun 2016, tercatat 83 pulau kecil terluar terancam tenggelam dan 55 potensi terancam dampak gempa bumi.
”Kalau Perppu Cipta Kerja tidak memperhatikan kehati-hatian dan kerentanan pulau-pulau kecil terluar, ini sama halnya pemerintah melegalisasi bencana,” kata Parid.