Penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal asing tak terbendung di Laut Natuna Utara pada akhir 2022. Aparat tak mampu menggelar patroli lantaran anggaran operasi tak mencukupi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Laut Natuna Utara, Selasa (27/12/2022) pukul 09.04. Haryanto (34) dan seorang rekannya sedang memancing ikan tongkol di perairan yang berjarak 34,07 kilometer dari Pulau Laut, Natuna, Kepulauan Riau.
Kapal kayu mereka yang berukuran 2 gros ton bergoyang hebat ke segala arah diterpa ombak. Namun, keduanya terus berlayar di tengah ganasnya cuaca musim angin utara. Mereka terus memburu tongkol seekor demi seekor dengan pancing tonda (trolling line).
Dua nelayan tradisional itu baru berhenti memancing saat melihat sepasang bayangan kapal jumbo muncul dari kejauhan. Itu adalah kapal ikan Vietnam yang berukuran 80-100 GT. Mereka beroperasi secara berpasangan untuk mengeruk ikan dengan pukat harimau (trawl).
Haryanto lalu meraih ponsel dan mulai menyalakan rekaman video. Ia menyuruh rekannya membawa kapal kayu kecil mereka menuju utara. Mereka kemudian sadar, ternyata bukan hanya sepasang kapal pukat, melainkan ada tiga pasang kapal Vietnam di sana.
”Ini keterlaluan namanya. Mereka berani menangkap ikan (secara ilegal) di perairan yang sekali dengan Pulau Laut,” kata Haryanto saat dihubungi dari Batam, Jumat (30/12/2022).
Satu minggu sebelumnya, Haryanto juga bertemu kapal pukat Vietnam di lokasi yang sama. Itu sebabnya, ia merekam kejadian tersebut kemudian menyebarkannya ke grup Aliansi Nelayan Natuna.
”Biar orang Jakarta tahu, sudah parah sekali (penangkapan ikan secara illegal) di Natuna ini. Pemerintah di mana? Aparat di mana? Mengapa kok kapal asing dibiarkan mengambil ikan di laut kami,” ujar Haryanto.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri menambahkan, maraknya intrusi kapal ikan asing membuat hasil tangkap nelayan lokal menurun. Pukat harimau yang digunakan kapal asing merupakan alat tangkap yang tidak selektif.
Ikan pelagis atau ikan di permukaan yang berukuran besar dan kecil habis dikeruk pukat harimau. Selain itu, penggunaan pukat juga merusak terumbu karang yang menjadi habitat ikan demersal atau ikan dasar.
”Intrusi kapal asing tidak hanya berdampak kepada kehidupan nelayan saat ini. Namun, dampak kerusakaan ekosistem laut akibat penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan itu juga bakal dirasakan oleh generasi mendatang,” ujar Hendri.
Terjadi sepanjang tahun
Kajian yang dilakukan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menunjukkan intrusi kapal asing di Laut Natuna Utara terjadi sepanjang tahun. Sepanjang 2022, IOJI menemukan setidaknya ada 438 kapal ikan Vietnam yang diduga kuat melakukan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated/IUU Fishing) di Laut Natuna Utara.
Intrusi kapal ikan asing yang tertinggi terjadi pada bulan Mei dengan 67 kapal ikan asing. Adapun lokasi pelanggaran yang paling dekat terjadi di perairan yang berjarak 34,07 km dari Pulau Laut pada 27 Desember lalu sesuai yang dilaporkan Haryanto.
Menanggapi hal itu, peneliti IOJI, Imam Prakoso, mengatakan, sinyal perangkat identifikasi otomatis (automatic identification system/AIS) kapal ikan Vietnam terpantau di sekitar perairan Pulau Laut pada 25 Desember. Namun, sinyal AIS itu hilang pada hari berikutnya.
Menurut imam, kapal-kapal yang melakukan IUU Fishing biasanya mematikan AIS di waktu tertentu untuk mengelabuhi pihak-pihak yang memantau pergerakan mereka. Kapal-kapal ikan yang mematikan AIS itu sering disebut sebagai dark vessels.
Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Pung Nugroho Saksono, Rabu (28/12/2022), mengatakan, kapal pengawas perikanan baru bisa digerakkan ke Laut Natuna Utara pada awal Januari 2023.
Menurut dia, anggaran PSDKP untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) sudah habis pada Desember 2022. ”Awal Januari kami baru ada BBM. (Nanti) Langsung kami sikat,” ujarnya lewat pesan tertulis.
Anggaran PSDKP untuk membeli bahan bakar minyak sudah habis pada Desember 2022.
Persoalan anggaran itu sebenarnya telah diungkap Pung sejak April 2022. Saat itu, ia mengatakan, PSDKP mengalami kendala untuk menggelar patroli laut secara optimal di tengah harga BBM melambung. PSDKP hanya diberi anggaran untuk membeli BBM dengan harga Rp 11.500 per liter.
Padahal, kini PSDKP harus membeli BBM jenis Pertamina Dex dengan harga Rp 21.500 per liter. Harga itu adalah harga dasar Pertamina Dex ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
Kepala Bagian Humas dan Protokol Badan Keamanan Laut (Bakamla) Kolonel Wisnu Pramandita mengatakan, anggaran operasi Bakamla juga habis. Oleh karena itu, untuk sementara kapal patroli Bakamla yang biasa bersiaga di Natuna saat ini berlabuh di Batam.
Anggaran operasi Bakamla lebih kurang Rp 370 miliar pada 2022. Menurut Wisnu, nilai itu jauh dari ideal karena sebenarnya Bakamla butuh anggaran operasi sekitar Rp 1 triliun per tahun.
Anggota Komisi I DPR, Muhammad Farhan, menambahkan, persoalan anggaran untuk patroli Bakamla masih akan terjadi pada 2023. Bahkan, menurut dia, anggaran untuk Bakamla di APBN 2023 hanya cukup untuk menggelar patroli selama 40 hari dalam satu tahun.
Farhan mengatakan, Komisi I DPR telah mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran Bakamla. ”Pemerintah harus segera berpikir apa kebijakan afirmatif yang bisa diambil agar Bakamla bisa melakukan penegakan hukum secara tegas dan berkelanjutan di LNU (Laut Natuna Utara),” ujarnya.
Meski demikian, Farhan juga menyoroti pengadaan proyek Backbone Coastal Surveillance System di Bakamla yang tidak dijalankan sesuai prosedur pada 2016. Korupsi yang pernah terjadi di Bakamla tersebut dinilai bakal membuat pemerintah lebih berhati-hati saat akan memberikan anggaran dalam jumlah besar untuk Bakamla.